Pecahnya
Diri-integratif Kita
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS, 11 Januari
2017
Dalam
sebuah acara Debat Kebudayaan Capres dengan para cendekiawan yang saya
selenggarakan pada 2009, cawapres Boediono yang saat itu mendampingi capres Susilo
Bambang Yudhoyono meminta kepada saya-di balik panggung-untuk tidak ikut
dalam dialog tersebut.
"Kenapa?"
tanya saya. "Saya tidak tahu harus bicara apa mengenai kebudayaan karena
saya, kan, ekonom." "Apa Anda tidak tahu betapa vitalnya hubungan
kebudayaan dengan perilaku ekonomi?" sergah saya. Dengan kerendahatian
seorang guru besar, murid terkasih pencetus ekonomi Pancasila, Prof Mubyarto,
itu meminta saya memberinya "kuliah" lima menit mengenai hal
tersebut.
Tentu
saja saya tidak memberinya kuliah. Saya sekadar menjelaskan pandangan saya
tentang orang Indonesia yang menganggap sebuah tindakan ekonomi tidak bisa
dipisahkan dari tindak-tindak kemanusiaan lainnya, termasuk tindakan
spiritual hingga kultural. Menanam padi, misalnya, tidak bisa dipisahkan dari
kesadaran spiritualnya tentang rezeki yang kemudian diekspresikan dalam
pelbagai bentuk pemujaan dan rasa terima kasih yang sangat artistik. Itu
terjadi di seluruh negeri ini. Bahkan di sebuah suku di Flores, upacara mulai
tanam hingga panen itu terjadi tidak kurang dari 28 kali dalam setahun.
Apa
yang saya coba lukiskan, dan syukur berhasil membawa sang cawapres di atas
naik panggung, tidak lain adalah semacam eksposisi tersingkat-yang pernah
saya lakukan-untuk melukiskan "apa, siapa, dan bagaimana" manusia
Indonesia. Manusia yang dalam realitas naturalnya, sekurangnya secara
geografis, menciptakan dan membiakkan peradaban bahari dengan basis rezeki
alam yang melimpah, yang tidak dimiliki lebih dari 75 persen penduduk dunia
lainnya.
Dalam
adab itu berkembang kesadaran betapa kekayaan tersebut wajib dipelihara
melalui cara hidup harmonis, di mana setiap elemen kehidupan memiliki tingkat
ketergantungan yang sama tinggi antara satu dan yang lain. Harmoni
interdenpendensial inilah yang melahirkan ikatan saling mendukung,
memperkuat, dan menciptakan nilai khas negeri ini. Kita menyebutnya kemudian:
gotong royong.
Busana kebudayaan
Integrasi
manusia, yang dalam bentuk empiriknya bernama (diwakili oleh) kebudayaan ini,
memosisikan produk-produk kebudayaan lainnya, seperti politik, ekonomi,
hukum, hingga agama dan ilmu pengetahuan hanyalah sebagai instrumen selain
untuk survive juga untuk memperkaya atau memuliakan diri dan kehidupannya.
Sebagai instrumen, tentu saja ia bersifat fakultatif dan temporer: tidak
abadi. Inilah yang disebut "pakaian" atau kelamben, di mana posisi
kultural produk-produk kebudayaan itu hanya sebagai adendum atau komplemen
dari diri-integratif.
Dalam
makna lain, semua instrumen itu bisa berubah kapan dan di mana saja. Namun,
yang pasti ia selalu diserap secara difusif atau diintegrasikan secara tidak
permanen dengan kesejatian diri di atas. Sekilas ia seperti identitas, tetapi
identitas dalam masyarakat bahari tidak (akan) pernah final-lantaran posisi
instrumentalnya tadi-sebagaimana, misalnya, terjadi dalam definisi-definisi
identitas (berbasis ras, agama, suku bangsa, dll) yang terjadi dalam adab
kontinental.
Kenyataan
itulah yang dibuktikan oleh sejarah, bagaimana misalnya instrumen akal
seperti filsafat hingga sains, dalam bentuk teosufi pada akhir abad ke-19
hingga karya-karya Sosrokartono dan Suryomentaram bahkan Sukarno dan pemikir
modern lainnya berhenti pada bahasa atau retorika karena ia tidak mengubah
apa pun substansi (kesejatian) dari manusianya. Sama sekali bukan hal menggelikan
bila Sosrokartono, salah satu genius (intelektual) terbesar Indonesia abad
ke-20, menghabiskan masa akhir hidupnya sebagai penyembuh (healer) dengan
kekuatan mistik. Juga munculnya profesor ternama yang begitu percaya pada
kesaktian seorang pelawak yang mampu menciptakan uang dari ketiaknya, hampir
semua presiden yang kita miliki bermain dengan "jimat", atau
seorang menteri memercayai khasiat batu akik atau "harta" Gunung
Padang.
Itulah
realitas kita: dulu hingga kini. Bagaimana membantahnya? Skizofrenik secara
kultural.
Dalam
agama, apa pun agama itu, ia terdifusi secara osmosik dalam kesejatian di
atas menjadi bagian dari tradisi atau semacam identitas temporer, seperti
proses pribumisasi dalam bahasa modernnya. Juga dalam ekonomi. Kenyataan modern
orang Indonesia yang-konon-mempraktikkan secara konsisten apa yang disebut
"ekonomi pasar" (bebas, bahkan) tidaklah ditandai oleh berjaya dan
bertahannya kesejahteraan negara oleh kekuatan kapital dan industri gigantik
(kecuali sebagai perampok harta publik dan sumber daya alam), tetapi oleh 110
juta pekerja yang survive dan berkembang dalam sektor UKM, di mana perilaku
atau cara berbisnis tradisional menjadi ciri utamanya.
Bagaimana
Anda menjelaskan perilaku manipulatif, kolutif, despot, dan koruptif dari
para politisi hingga organisasi-organisasi politik di masa kini, bisa dengan
mudah dilakukan dengan dasar argumen di atas. Sebuah kenyataan yang memberi
kita kemafhuman betapa banyak orang, pengamat hingga akademisi, yang berlatar
kesadaran berpikir instrumental kontinental mengalami kekeliruan fundamental
dalam memahami Indonesia dan manusia yang ada di dalamnya.
Pemahaman keliru
Cukup
banyak buku, monograf, atau analisis telah dihasilkan para peneliti yang
mencoba memahami manusia Indonesia, termasuk Mochtar Lubis, tentu saja,
berbasis pada satu adab yang melakukan (justru) disintegrasi akal (logos)
dari kesadaran-kesadaran manusia lainnya. Berjayalah logos-sentrisme yang
positif-progresif-materialistik. Yang dalam puncaknya, logos menapis, bahkan
membuang dengan hampir rasa jijik hal-hal normatif hingga kebenaran-kebenaran
dogmatis yang diproduksi agama dan tradisi. Sejak Kant hingga Nietzsche dan
dipuncaki oleh murid terbaiknya, Foucault, logos atau akal mendapat kuasa
penuh untuk menemukan dan menentukan kebenaran walau ketiganya sendiri ragu
karena semua (kebenaran) itu masih berada dalam keremangan kenyataan.
Pembacaan
manusia Indonesia, katakanlah yang dilakukan oleh C Geertz dalam
tripolarisasi orang Jawa, "masyarakat terbayangkan" Ben Anderson"
hingga gerak "menerima dan mengingkari" Lombard, menjadi lancung
karena keliru membaca sejak penggunaan metode hingga epistemologi dalam
pengertian filsafat pengetahuan ataupun episteme dalam definisi Foucault.
Dalam realitas diri-integratif manusia Indonesia tidak mungkin terjadi
pemilahan seperti yang dilakukan Geertz karena baik santri, abangan, maupun
priayi adalah manusia Jawa yang sempurna sama, hanya cara memosisikan atau
memperlakukan instrumen kultural (baca; busana)-nya saja yang beda.
Begitupun
Anderson, dengan penjelasan canggihnya secara retoris, saya kira terlalu
simplifikatif untuk mengatakan sebuah "bangsa" dibentuk dalam satu
"bayangan terbatas" secara kolektif yang secara signifikan
ditentukan oleh massifikasi bahasa (Melayu) melalui teknologi percetakan.
Argumen itu tidak bisa menjelaskan bagaimana bahasa yang sama di Aceh, Timor
Timur, dan Papua membuat sebagian dari masyarakat dari daerah-daerah itu sama
sekali tidak merasa satu bangsa dengan orang Bali, Jawa, atau Minahasa. Ia tidak
mampu menjelaskan pula bagaimana diri-integratif manusia Indonesia melihat
orang lain adalah bagian organik tak terpisahkan dari kesemestaan.
Saya
kira juga dengan Lombard, dengan empatinya yang luar biasa pada orang Jawa,
gagal memahami dunia "dalam" (kesejatian) dan dunia
"luar" (kelamben) yang integratif itu sebagai gerak sentrifugal dan
sentripetal manusia Jawa dalam menghadapi lalu lintas budaya di persilangan
sejarah hidupnya. Kegagalan-kegagalan dan kekeliruan yang terjadi di atas,
juga di banyak kasus akademis lainnya, akan senantiasa terjadi selama mereka
berusaha memahami manusia Indonesia dengan sebuah cara atau alat yang
mendisintegrasi diri kita dalam instrumen-instrumen yang bebas berbuat atau
menyatakan dirinya. Logos atau akal, misalnya. Padahal kebebasan
(mistikal-saintifik) itu justru sebenarnya membuat instrumen itu limbung dan
linglung, sebagaimana adab kontinental kini mengalami semacam kekosongan
batin atau tubuh yang teralienasi karena terdominasi rezim akal.
"Eksemplar"
pembangunan
Sesungguhnya
apa yang terjadi pada negara dan bangsa kita (dan jadi masalah terbesar kita)
di masa kini tak lain terbangun atau terwujudnya eksemplar peradaban yang
dominatif dan alienatif di atas. Sejak proklamasi kemerdekaan, sebenarnya
juga sejak banyak dekade sebelumnya, Indonesia menegakkan sebuah rezim yang
secara sengaja juga sebagian tak-tersadari telah melakukan super-dominasi
(bahkan mirip kolonialisme dalam bentuk samar) dan alienasi atas realitas
peradaban manusia dan bangsa Indonesia yang integratif di atas.
Proyek-proyek
politik dengan demokrasi (liberal), ekonomi dengan kapitalisme (pasar bebas),
hukum dengan kodeks yang Anglo-Saxon (plus kontinental), pendidikan yang
westernized, pendek kata rezim yang kita sebut "pembangunan"
sebenarnya adalah proyek yang secara keras-juga koersif-berupaya
mendisintegrasi kesatuan organik dari eksistensi manusia/bangsa bahari. Apa
yang instrumental diposisikan begitu sentral dan desisif ketimbang
substansial.
Lembaga-lembaga
negara (demokratis), organisasi massa, komunitas profesional, LSM, institusi
akademik, majelis-majelis agama, industri-perdagangan, hingga media massa
dibentuk dan dikembangkan untuk memperkuat dominasi dan alienasi itu,
menggunakan hukum dan senjata (polisi dan militer) sebagai alat koersi yang
ampuh dan legal! Walau sesungguhnya pertahanan budaya di tiap (suku)-bangsa
negeri ini ampuh dan terbukti bertahan lama, tetap saja penggerusan
eksistensial dan kultural ini memakan korban karena intensitasnya yang tinggi
selama sekurangnya satu setengah abad belakangan.
Banyak
tradisi yang sekarat bahkan mampus karenanya. Adat hilang, bahasa binasa.
Yang tertinggal adalah adat dan adab dari tradisi/suku-bangsa besar yang
mungkin tinggal puluhan dari ribuan yang pernah ada. Apa yang tertinggal itu
pun kini mengalami masa sakaratul atau sandhyakala ketika di tiga dekade
terakhir terjadi serangan yang begitu masif dan terorganisasi hampir
sempurna, menggunakan kecanggihan teknologi komputasi, informasi dan
telekomunikasi.
Inilah
tantangan kita sebenarnya. Sebagai manusia ataupun bangsa. Tantangan terbesar
dan tak ada presedennya. Mengatasi keterbelahan diri akibat sebuah tindakan
yang kita lakukan sendiri. Saya tak melihat jalan lain, dalam arti
menciptakan semacam adab tandingan, kecuali kita kembali menyibak jalan
setapak menuju kesejatian kita yang mula, yang kini entah di mana karena
sudah tertutup total oleh semak belukar, bahkan hutan gelap dengan banyak
genderuwo di dalamnya. Tapi mutiara khatulistiwa ada di situ, kekuatan
(budaya) sesungguhnya yang mampu memberi kita solusi terbaik bagi persoalan
terbesar di atas.
Perlu
keberanian luar biasa untuk membuka setapak itu. Siapa punya keberanian?
Secara kolektif, mari kita frustrasi. Namun, secara pribadi, mungkin dari
situ semua bisa diawali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar