Dampak
Insiden di Swanborne
René L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 09 Januari
2017
Akibat
perilaku melecehkan tentara khusus Australia (SAS) terhadap seorang letnan
yang bertugas mengajar bahasa Indonesia di sana, kerja sama militer antara
TNI dan Angkatan Bersenjata Australia secara sepihak dihentikan Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo.
Insiden
di Swanborne (markas SAS dekat kota Perth), sesuai jalur komandonya,
dilaporkan letnan pengajar bahasa Indonesia kepada Atase Pertahanan (Athan)
RI di Canberra pada 11 November 2016. Yang dilaporkan terkait pertanyaan
siswa SAS pada bahan bacaan "Lesson 9-03C Vocabulary Army
Reinforcement" tentang biografi mantan Komandan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo ketika penugasannya menumpas
komunis pada 1965 dan menjabat Pangdam XVII di Irian Barat pada 1967.
Dalam
laporannya, Athan RI di Canberra menilai, bahan materi pelajaran bahasa di
Swanborne tersebut bisa menimbulkan sikap dan interpretasi yang bertolak
belakang dengan keadaan TNI. Dan, secara keseluruhan, para siswa SAS dinilai
memberikan penilaian negatif terhadap TNI, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Pancasila secara keseluruhan.
Keberatan
atas materi pelajaran ini sudah disampaikan kepada Resimen SAS Australia dan
mereka telah mengajukan permohonan maaf dan berjanji menghilangkan materi
yang menjadi keberatan tersebut. Namun, ketika terungkap ada bahan pelajaran
tentang ideologi Pancasila yang tertulis "Pancagila", Athan RI merasa
perlu klarifikasi resmi kepada pihak Angkatan Bersenjata Australia
(Australian Defence Force/ADF).
Entah
bagaimana, persoalan penghentian sementara kerja sama militer RI-Australia
ini menjadi isu hangat di jejaring media sosial. Padahal, korespondensi para
petinggi militer kedua negara dilakukan, termasuk surat kepada Panglima ADF
Marsekal Mark Binskin kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Pihak
ADF menyatakan penyesalan atas insiden yang disaksikan letnan pengajar bahasa
Indonesia ini. Namun, Asisten Pengamanan Kasad TNI yang membalas surat Kepala
Staf AD Australia yang juga menyatakan penyesalan mendalam menyatakan protes
atas insiden. Selain itu, juga dinyatakan, apabila insiden seperti itu tidak
diperbaiki, TNI AD akan menghentikan semua kerja sama militer kedua negara.
Pertanyaan
Menilik
korespondensi kedua belah petinggi angkatan darat ini, terlihat sederhana.
Pertanyaannya, apakah insiden itu dirancang sebagai tolok ukur seberapa
sensitif TNI AD atas masalah-masalah ini atau memang persoalan tersebut murni
insiden dalam kelas pelajaran bahasa? Sulit menentukan.
Menariknya,
persoalan ini baru mencuat ke publik sekitar satu bulan setelah kejadian.
Insiden itu juga harus membuat Presiden RI Joko Widodo, Menko Polhukam
Wiranto, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menteri Pertahanan Ryamizard
Ryacudu mengeluarkan pernyataan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Betul,
Australia sebagai negara tetangga banyak membuat masalah dan terkesan onar
dalam mengembangkan hubungan bilateral dengan Indonesia. Kita masih ingat
kasus penyadapan telepon para petinggi Indonesia. Belum lagi pelanggaran lain
yang merugikan Indonesia, seperti kapal pengungsi tujuan Australia yang oleh
aparat negara itu diminta memasuki perairan Indonesia dan insiden pesawat
nirawak (drone) yang menerobos wilayah RI.
Terlepas
dari hal itu, ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam kerja sama militer
seperti antara Indonesia dan Australia. Pertama, kerja sama pasukan khusus RI
dan Australia sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Dalam kurun waktu itu,
masing-masing pihak tentunya memahami mana persoalan sensitif dan yang tidak.
Kedua, hubungan militer adalah bagian dari diplomasi. Oleh karena itu, ketika
para perwira militer bisa berbicara satu sama lain, hal itu berarti
perdamaian bisa diperpanjang dan perang bisa ditunda. Ketiga, sistem hierarki
militer sangat ketat pada masa perang atau bukan.
Belum
pernah Panglima TNI dalam sejarah militer Indonesia memberikan komentar
terbuka tentang visi strategis dengan menyebut negara tertentu, termasuk kemungkinan
perang proksi. Kalau ini yang terjadi, ada kesalahan doktrin dan latihan yang
perlu dikaji ulang atau ada agenda terselubung dalam konteks domestik yang
didorong ke ranah diplomasi internasional.
Militer
di mana pun di dunia harus melindungi martabat dan kewibawaan atasannya,
terutama panglima tertinggi, apalagi ketika dijadikan bahan cemooh negara
lain. Ini berarti semua orang tutup mulut menyelesaikan persoalannya dengan
benar dalam tata krama internasional atau persiapkan diri terlibat dalam
konflik luas seperti latihan-latihan yang selama ini dilakukan. Tanpa
kesadaran ini, di tengah digitalisasi pemberitaan dan meluasnya partisipasi
warga negara, insiden itu akan menjadi konflik meluas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar