KPK
dan Program Raskin
M Husein Sawit ; Senior
Advisor Perum Bulog 2003-2010;
Tim Ahli Kepala Bulog 1996-2002;
Pendiri House of Rice
|
KOMPAS, 09 Januari
2017
Komisi
Pemberantasan Korupsi meminta pemerintah mendesain ulang program beras untuk
masyarakat miskin atau raskin agar tepat sasaran, meninjau ulang perhitungan
subsidi, memperkuat sistem pengawasan/ pengendalian sehingga tercapai tujuan
dan efektivitas program.
Itulah
rekomendasi yang disampaikan KPK pada pertemuan pembahasan hasil kajian
dengan sejumlah menteri/kepala lembaga di kantor KPK pada 3 April 2014.Para
menteri/kepala lembaga dan penjabat eselon I mengikuti serius paparan hasil
kajian KPK sejak dari pembukaan hingga penutupan.
Amat
jarang hasil suatu penelitian disimak serius oleh para penjabat tinggi. Hasil
kajian KPK tersebut digunakan pemerintahan Jokowi-JK untuk membenahi program
raskin, yang dimulai pada 2017. Perlu dicatat bahwa tidak ada rekomendasi KPK
agar program raskin dihapus.
Temuan
KPK bukanlah hal yang baru, sudah banyak diketahui dari berbagai hasil
penelitian dalam kurun 10 tahun terakhir, tetapi tidak ditanggapi pemerintah.
Pada saat KPK mengaitkannya dengan sistem pengelolaan administrasi program
yang berpotensi korupsi, apabila tidak diindahkan, KPK ”mengancam”
melaporkannya kepada presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pengadaan raskin
Untuk
menilai kinerja program raskin, pada umumnya digunakan enam tepat, yaitu
tepatrumah tangga sasaran, waktu, harga dan jumlah beras,tepat administrasi serta
kualitas beras.
Empat
tepat pertama menjadi tanggung renteng sejumlah lembaga: BPS, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Kesejahteraan
Rakyat, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang berdampak
pada implementasi program.
Dua
tepat terakhir, sepenuhnya di bawah kendali Bulog. Bulog lebih berhasil dalam
mengendalikan tepat administrasi, sebaliknya tepat kualitas beras.
Mengapa itu terjadi?
Volume
pengadaan beras dalam negeri Bulog sangat terkait dengan target
politik.Pemerintah menargetkan pengadaan dalam negeri tinggi untuk memperkuat
cadangan beras pemerintah (CBP) dan stok Bulog guna meredam gejolak harga
beras, tanpa impor.
Pengadaan
dalam negeri juga menjadi rapor dalam mempertahankan jabatan, di tingkat
direksi hingga pejabat di lapangan. Pada awal 2015, misalnya, gara- gara
seretnya pengadaan gabah/beras dalam negeri, dirut dan direktur pelayanan
publik Bulog dicopot, padahal baru menjabat sekitar enam bulan.
Hasil
riset menyimpulkan bahwa pengadaan dalam negeri ditentukan oleh tiga variabel
utama yang saling terkait, yaitu pertumbuhan produksi gabah, harga
gabah/beras di pasar, dan harga pembelian pemerintah (HPP). Apabila
pertumbuhan produksi tinggi (lebih dari 5 persen per tahun), apalagi
berlangsung berurutan tahunnya, pasti produksi berlimpah dan harga rendah.
Kalau
harga gabah/beras telah berada di bawah ketentuan HPP, terbuka insentif buat
petani atau pelaku usaha menjual gabah/ beras kepada Bulog.Dengan pengadaan
gabah/beras Bulog, surplus produksi musiman terserap, petani terlindungi dari
kejatuhan harga.
HPP
dirancang untuk melindungi pendapatan petani dan memperkecil risiko
berusaha-tani padi, dan tidak dirancang untuk pengadaan Bulog. Bulog
menjadikannya pedoman dalam membeli gabah/beras, baik kualitas maupun
harganya.
Masyarakat
awam, sebagian besar politisi, kerap keliru dalam menafsir tentang pasar
gabah/ beras dan HPP. Bila harga gabah/beras telah berada di atas HPP dan
pasar gabah/beras telah berfungsi kembali, seharusnya Bulog berhenti
melakukan pengadaan tanpa harus mempersoalkan volume pengadaan Bulog masih
rendah, karena petani telah terlindungi. Itulah konsep dasarnya.
Namun,
tekanan politik ”memaksa” Bulog menambahpengadaan pada situasi harga pasar
telah berada jauh di atas HPP. Konsekuensinya, salah urus dalam
implementasinya tinggi.Pelaksana di lapangan ”terpaksa” membeli gabah/beras
di bawahstandar kualitas HPP, misalnya lebih banyak butir patah/butir menir,
atau derajat sosoh lebih rendah daripada ketentuan.
Tanpa
”toleransi kualitas”, hampir tidak mungkin Bulog memperoleh pengadaannya.
Dalam situasi demikian, semakin ”dipaksakan pengadaan harus tinggi”, semakin
menambah buruk kualitas beras raskin, dan akhirnya keluhan meluas.Hal itulah
yang dilaporkan masyarakat ke KPK, dan itu juga yang ditemukan KPK di
lapangan.
Instrumen kebijakan baru
Pemerintah
diperkirakan tetap menargetkan pengadaan gabah/beras dalam negeri Bulog
tinggi (lebih dari 3 juta ton setara beras) dan HPP dipertahankan. Untuk
mencapai target dan penyaluran beras tidak mengorbankan kualitasnya, sejumlah
instrumen baru perlu diperkenalkan.
Pertama,
pengadaan dalam negeri tak hanya bertumpu pada insentif HPP, karena HPP beras
medium pada saat ini telah lebih tinggi 70 persen di atas harga internasional,
pengadaan dalam negeri hanya mampu diserap di bawah 9 persen dari total
produksi.Pengalaman negara lain, misalnya Tiongkok dan India, pengadaan dalam
negerinya mencapai lebih dari 20 persen tanpa banyak mengotak-atik harga
dasar sehingga kebijakan HPP tak menggerogoti daya saing. Salah satu caranya,
mewajibkan penggilingan padi besar menyetor beras (misalnya 5 persen)dengan
sejumlah insentif tentunya guna keperluan penguatan CBP.
Kedua,
penerapan HPP dwi-kualitas beras (medium dan premium) dengan harga yang
berbeda. Beras kualitas medium diperuntukkan buat program raskin baru (yang
telah ditata ulang, termasuk target dan wilayah yang dilayani) dan volumenya
tidak lebih dari 1 juta ton,sehingga tepat kualitas lebih mudah diwujudkan.
Selebihnya beras kualitas premium untuk mengisi CBP yang penyalurannya harus
diperluas, termasuk apabila stok berlebih.
Ketiga,
program raskin agar diprioritaskan pada wilayah-wilayah tinggi risiko rawan
kekurangan energi dan protein, serta beras sebagai makanan pokok masyarakat,
seperti Bengkulu dan Banten. Hentikan penyaluran raskin pada bulan-bulan
panen raya Maret-Mei, karena masyarakat dapat menjangkau beras yang harganya
relatif lebih rendah, dan tak kontra produktif dengan kebijakan HPP. Hentikan
penyaluran raskin pada provinsi dengan APBD tinggi, karena pemda mampu
mengatasi masalah gizi masyarakatnya, tak perlu bantuan pusat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar