Pidato Sebagai Diplomasi Publik
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder dan Director, Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 30 September 2015
Adalah hal yang dianggap wajar di
Jepang jika seorang pejabat publik dengan pangkat tinggi mengundurkan diri
karena mengakui dirinya tidak mampu menjalankan amanat tugas. Di Indonesia
juga pernah ada pejabat publik yang mengundurkan diri karena gelombang demonstrasi
besar. Di Australia publik dapat memaklumi bahwa sistem politik di sana
memungkinkan rekan satu partai berubah menjadi lawan politik dan mengambil
alih jabatan karena si lawan dianggap lebih potensial. Namun, di Amerika
Serikat (AS) ini hal baru. Belum pernah terjadi sebelumnya bahwa seorang
pejabat publik tinggi mundur tanpa alasan politis.
Pejabat itu bernama John Boehner.
Dia adalah ketua DPR (House of
Representatives) AS yang berasal dari Partai Republikan, setara dengan
jabatan Ketua DPR Setya Novanto saat ini. Sebagai ketua DPR yang mayoritas
kursinya dikuasai oleh oposisi dari Partai Republikan, ia menjadi ujung
tombak partainya untuk mempromosikan kebijakan konservatif dan menggagalkan
kebijakan-kebijakan pemerintahan Obama yang berasal dari Partai Demokrat.
Salah satu langkah politik yang
tidak bisa dilupakan adalah ”government shutdown” yang terjadi pada Agustus
2013. Parlemen menolak APBN yang diajukan pemerintahan Obama dan tidak ada
otorisasi untuk menggunakan alokasi sementara. Akibatnya, pemerintah harus
melakukan efisiensi, dari mengurangi jumlah hari sekolah, mengurangi jam
kerja, hingga penutupan beberapa jenis layanan masyarakat. Masyarakat Amerika
mengutuk Partai Republikan dan Partai Demokrat yang tidak mampu mencapai
kesepakatan untuk menghindari peristiwa tersebut.
Walaupun kedua partai sama-sama
dihujat, Partai Republikan lebih mendapat citra negatif ketimbang Partai
Demokrat menurut survei yang dilakukan oleh MSNBC tahun lalu.
Boehner semestinya akan memimpin
lagi kubu oposisi dan menentukan pada hari ini apakah APBN yang diusulkan
pemerintah akan disetujui atau tidak. Apabila mayoritas anggota parlemen
menolak proposal pemerintahan Obama, maka government
shutdown yang terjadi pada 2013 akan terulang lagi tahun ini.
Namun, banyak analis mengatakan
bahwa hal itu mungkin tidak akan terjadi karena Boehner telah mengumumkan
akan mengundurkan diri dari jabatannya per Oktober nanti.
Pengunduran diri Boehner sangat
mengejutkan karena terjadi tiba-tiba. Deputinya sendiri baru tahu Boehner
akan mengundurkan diri pada saat konferensi pers terjadi. Peristiwa ini
mengejutkan dan diduga terkait pertemuan empat mata yang diikuti oleh pidato
Paus Fransiskus sehari sebelumnya di Kongres AS.
Apabila Anda menyaksikan pidato
Paus Fransiskus di Kongres dan melihat bagaimana Boehner tidak dapat menahan
air mata dan ekspresi emosinya, maka sulit untuk dimungkiri bahwa keputusan
Boehner untuk mengundurkan diri di bulan Oktober nanti memang terkait dengan
kehadiran dan pidato Paus Fransiskus di Kongres.
Peristiwa pengunduran diri Boehner
dan pidato politik Paus membuktikan bahwa pemimpin atau kepala negara yang
kredibel dan ditunjang oleh integritas pribadi serta infrastruktur diplomasi
publik yang maksimal akan menghasilkan dampak yang konkret.
Sejauh yang saya alami dalam
sejarah politik Amerika, dan mungkin sejarah dunia, tidak pernah ada pidato
yang memiliki dampak demikian besar dan instan seperti yang dilakukan Paus
Fransiskus yang berpidato di depan Kongres AS pekan lalu. Dalam kunjungan
lima hari di AS, jantungnya kapitalisme, yang juga dikenal berkecenderungan
sangat sekuler di mana kebijakan ekonomi yang neoliberal berurat-berakar,
Paus Fransiskus berbicara tentang perubahan iklim, imigrasi, tragedi
pelecehan seksual yang dilakukan oleh hierarki Gereja, juga tentang keluarga
dan cinta.
Paus berbicara tentang ide-ide
yang kontroversial dan bertentangan dengan persepsi masyarakat AS. Pidatonya
mengkritik politik AS tidak dengan cara pandangnya sendiri, tetapi melalui
kata yang diucapkan oleh Abraham Lincoln, Martin Luther King, Dorothy Day,
dan Thomas Merton. Contohnya ketika berbicara tentang pentingnya menghargai
dan melindungi para imigran yang datang ke AS, Paus menegaskan setiap orang
di Amerika dulunya juga pernah menjadi imigran.
Paus juga berbicara tentang
perubahan iklim yang sebagian besar dianggap oleh politisi, khususnya Partai
Republikan, sebagai sebuah mitos dan agenda terselubung negara-negara
tertentu untuk menekan pertumbuhan ekonomi AS.
Jika biasanya pidato kepala negara
cenderung menghindari hal-hal yang diramalkan akan membuat kontroversi atau
membuat suasana tidak nyaman dalam kunjungan, Paus justru berlaku sebaliknya.
Bandingkan misalnya dengan pidato
Presiden China Xi Jinping yang dalam waktu bersamaan juga mengunjungi AS dan
berpidato di depan publik AS.
Xi Jinping menjabarkan tentang apa
yang telah dilakukan China terkait dengan AS dan dunia seperti komitmen untuk
melakukan reformasi politik dan membuka pintu ekonomi lebih luas.
Xi juga mengatakan pertumbuhan
ekonomi China jangan dianggap sebagai ancaman, tetapi harus dipandang sebagai
peluang sehingga semua pihak, termasuk AS, bisa mendapatkan keuntungan atau
winwin solution sesuai dengan apa yang ia ucapkan. Xi juga mengatakan akan
menyelesaikan ketegangan dua negara tentang cyberspionage yang sudah memanas dalam sebulan terakhir.
Beberapa analis dan editor
menganggap pidato itu normatif. Washington Post misalnya mengatakan bahwa
kunjungan Obama dua tahun lalu ke China juga bicara soal cyberspionage. Tetapi China tidak banyak bertindak untuk
memperbaiki masalah itu dan justru kasusnya semakin meningkat. Akibatnya,
banyak publik AS yang tidak percaya terhadap China dan terus menerus
mencurigai maksud di balik semua kebijakan China baik ekonomi maupun politik.
Dari kunjungan dua kepala negara
di waktu yang bersamaan kita dapat menyimpulkan bahwa pidato yang baik dapat
diterima dengan ikhlas bila terkait dengan substansi sebuah kebijakan.
Pembicara harus menyinggung, baik langsung atau tidak langsung, kebijakan
yang didukung atau dikritiknya. Seorang kepala negara yang berpidato di
panggung politik internasional juga harus menyadari bahwa pidatonya bukan
hanya untuk konsumsi negara tertentu, tetapi juga konsumsi dunia. Sering kali
pidato di panggung internasional tidak tentang kita, tetapi juga tentang
negara lain atau kebijakan lain.
Karena itu, isi pidato sewajarnya
mencerminkan visi negara jauh ke depan tanpa meninggalkan atau mempromosikan
apa yang saat ini telah dilakukan. Pidato kepala negara sesungguhnya adalah
juga bagian dari diplomasi publik. Kredibilitas dari pidato tersebut perlu
didukung dengan kepercayaan publik akan kredibilitas si pembicara, apakah
janji yang disampaikan sekadar janji di bibir atau berakar pada integritas
pribadi si pembicara.
Selain itu, kekuatan diplomasi
publik perlu didukung oleh instrumen diplomasi yang mapan, yang menjangkau
publik di negara yang dituju (bahkan yang menonton di layar kaca) sehingga
keseluruhan rangkaian acara kunjungan dapat dirasakan efeknya, bahkan oleh
masyarakat awam sekalipun.
Paus Fransiskus bukanlah paus
pertama yang melakukan pidato di PBB atau di AS, tetapi yang membuatnya
berbeda karena kredibilitasnya sebagai paus yang rendah hati telah membuatnya
lebih menonjol dan menarik perhatian dibandingkan dengan para paus sebelumnya.
Tidak mungkin seorang kepala negara yang melanggar HAM akan didengarkan
pendapatnya ketika dia bicara tentang keadilan dan kemanusiaan. Dia bahkan
dapat menjadi target kritik.
Terakhir, indikator keberhasilan
pidato politik di panggung internasional adalah bila lawan bicaranya
menyetujui atau minimal tidak menentang apa yang disampaikannya. Persetujuan
itu tidak harus semua apa yang disampaikan, tetapi minimal ada satu atau dua
topik penting yang dapat menjadi titik tolak untuk meningkatkan kerja sama.
Pada Oktober 2015 giliran Presiden
Joko Widodo yang berkunjung ke AS. Segenap mata dunia menanti-nanti apa yang
akan disampaikannya. Tentu kita boleh berharap bahwa pidatonya dipersiapkan
juga dengan baik untuk khalayak yang seluas-luasnya dan tidak menduplikasi
gaya kepala negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar