Kamis, 01 Oktober 2015

Ada Apa dengan JK?

Ada Apa dengan JK?

Tjipta Lesmana ;   Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
                                                KORAN SINDO, 30 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang mengatur tugas dan kewenangan wakil presiden. Konstitusi kita hanya mengatakan, ”Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden” (UUD 1945 Pasal 4 ayat 2).

Berbeda dengan jabatan wakil presiden, konstitusi kita memberikan begitu banyak kewenangan kepada presiden, mulai dari kewenangan eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Dalam penjelasan resmi UUD 1945 yang asli, juga tidak ada penjelasan apa dan sejauh mana fungsi dan kewenangan wakil presiden.

Pada era Orde Baru, wakil presiden sungguh seperti ”ban serep”: dipakai tidaknya wakil presiden bergantung presiden semata. Bahkan pernah terjadi, Presiden Soeharto nyaris lama tidak berkomunikasi dengan wapresnya karena ia tidak suka dengan proses penetapan wapres itu. Tradisi ”ban serep” wakil presiden berubah era reformasi. Jusuf Kalla-lah yang mendobrak tradisi itu.

Ketika berkampanye dalam pemilihan presiden 2004, JK dan Susilo Bambang Yudhoyono diam-diam membuat kesepakatan tentang pembagian tugas. Kesepakatan itu dituangkan dalam catatan tertulis. Intinya, Jusuf Kalla sebagai wakil presiden lebih konsentrasi pada bidang ekonomi dan keuangan; sedangkan SBY sebagai presiden lebih berkonsentrasi pada masalah-masalah dalam negeri, politik, keamanan, dan luar negeri.

Dalam praktik, rupanya JK telah bertindak terlalu jauh, melampaui koridor ”perekonomian dan keuangan” sehingga JK ketika itu (pemerintahan SBY jilid I) mendapat predikat ”The Real President”. Diam-diam orang-orang dekat SBY tidak senang dengan perilaku JK ini.

Pertengahan September ini Presiden Jokowi menegaskan bahwa tugas pokok presiden membuat kebijakan (policy). Kebijakan dilaksanakan oleh para menteri, termasuk menteri koordinator. Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pemerintah ada di pundak wakil presiden. Jadi, tugas pokok Wakil Presiden Jusuf Kalla, menurut persepsi dan pemahaman Presiden Jokowi, ialah mengawasi implementasi setiap kebijakan yang sudah diputuskan Presiden.

Namun, pengalaman JK yang suka over-stepped presidennya (karena semboyan ”lebih cepat lebih baik”) sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh banyak kalangan ketika mereka berpasangan dalam pemilihan presiden tahun lalu. Wapres yang overstepped Presiden sudah semakin tampak meski usia pemerintahan belum mencapai setahun.

Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Rabu pekan lalu tentang impor beras, tampaknya, misterius dan dari aspek komunikasi politik tergolong ”bermasalah”. Ketika transit di Bandara Dubai dalam perjalanan ke New York, Rabu, 23 September lalu, JK mengatakan pemerintah akan mengimpor beras 1,5 juta ton dengan alasan ”El Nino yang terjadi justru menghantam fondasi pertanian itu sendiri yaitu kebutuhan air. Mau tidak mau, kalau kita tidak mau krisis pangan, kita harus impor beras!”  

Sidang kabinet pekan sebelumnya pernah membahas rencana impor beras, apalagi menyetujui impor beras. Bukankah pernyataan Wapres mengindikasikan RI-2 sudah over-stepped Presiden?

Sidang kabinet terakhir yang membahas masalah beras terjadi pada minggu kedua Agustus 2015. Ketika itu pemerintah memutuskan belum ada rencana mengimpor beras karena stok beras aman. Bahkan Jusuf Kalla sendiri yang dengan tegas mengatakan, ”Pemerintah jamin stok beras aman meski ada fenomena El Nino. ..... Pemerintah juga terus memperkuat cadangan beras Bulog melalui penyerapan produksi dari petani. [Maka] Sementara kebijakan impor beras belum diambil.”

Sekali lagi, ini ucapan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 8 Agustus 2015. Hanya dalam tempo 1,5 bulan, JK mengeluarkan pernyataan yang berbeda drastis. Indonesia harus segera impor beras jika tidak ingin kekurangan pangan akibat musim kering berkepanjangan. ”Kita tidak boleh berspekulasi dengan stok beras. Tidak cukup stok beras raskin yang ada sekarang ini!”

Sekali lagi, bagi saya, pernyataan JK sungguh aneh dan penuh misteri. Atas dasar analisis siapa JK berani mengatakan situasi beras kita menghadapi ancaman serius kalau tidak segera impor beras?

Bulan lalu JK mengkritik Rizal Ramli bahwa seorang menteri harus pelajari masalah dulu, baru berbicara. Pertanyaan kita: Sudahkah JK mempelajari masalah beras secara saksama sebelum berbicara kepada publik, apalagi berbicara melalui mimbar di Dunai?

Dan, jangan lupa, Wakil Presiden bukan policy maker menurut konstitusi kita! Pengambil kebijakan tetap RI-1, sedang RI-2 ”hanya” mengawasi implementasi kebijakan; sedangkan menteri teknis pelaksana kebijakan RI-1. Bukankah yang paling tahu soal perberasan itu Menteri Pertanian Amran Sulaiman? Dan, Menteri Pertanian masih pada pendapatnya bahwa Indonesia sampai detik ini belum perlu impor beras mengingat stok yang masih besar? Dua hari berselang, Jumat, 25 September, Presiden Jokowi menegaskan pemerintah belum ada rencana impor beras.

Maka itu, kebingungan kita seputar pernyataan JK soal beras mencapai klimaksnya! Melalui Kepala Staf Kantor Kepresidenan Teten Masduki, Presiden mengatakan, ”Sampai sekarang stok pangan di Bulog masih aman. Jadi, apakah perlu impor atau tidak nanti, dilihat dari stok pangan kita.” Pernyataan dua pemimpin nasional kita soal beras begitu bertolak belakang!

Kalau tempo hari Sofyan Wanandi berkilah investor jadi bingung dan bertanya-tanya: Mana yang harus didengarkan, pendapat Wakil Presiden atau menteri terkait polemik antara Wapres dan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya soal rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt; sekarang pun investor asing mungkin juga akan tertanya: Mana yang harus kami dengar, Presiden atau Wakil Presiden!

Pernyataan JK yang terkesan sangat prematur bisa menimbulkan berbagai interpretasi miring. Pertama, JK mungkin kurang mendukung atau kurang happy dengan politik swasembada beras; padahal Jokowi sejak kampanye pilpres awal tahun lalu sudah canangkan tekadnya untuk menghentikan impor beras. Kedua, pernyataan JK mungkin untuk menohok Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang sejauh ini bersama jajarannya berjuang keras melawan ”rezim impor pangan”.

Ketiga, JK atau lingkarannya mungkin mendapat ”bisikan jahat” dari kalangan importir beras yang memang selalu berupaya keras untuk mendobrak politik swasembada pangan RI. Jangan lupa, mafia beras sudah lama beroperasi di Indonesia. Anda masih ingat ketika Menteri Perdagangan Gita Wirywan pada 2013 kebingungan kenapa beras Vietnam ilegal bisa masuk ke Indonesia?

Keempat, seperti pada pemerintahan SBY Jilid I, JK ingin menunjukkan ”He is the Real President” yang mengatur segalanya di Republik ini, sedang Presiden tinggal mengekor.

Silang pendapat antara RI-2 dan RI-1 soal beras tidak perlu terjadi manakala semua pihak mendengar paparan Menteri Pertanian dan memperdebatkannya di sidang kabinet tertutup. Sekali lagi, kalau soal pangan, khususnya beras, Menteri Pertanian paling tahu dan paling kompeten untuk berbicara. Tidak kurang tujuh produk pangan kita, termasuk beras, dan bawang merah hingga September 2015 menunjukkan angka impor nol. Jagung bahkan mulai diekspor meski masih ada sedikit impor. Prestasi ini mestinya menggembirakan semua pihak yang cinta Indonesia dan antimafia pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar