Ada Apa dengan JK?
Tjipta Lesmana ; Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
|
KORAN
SINDO, 30 September 2015
Dalam UUD 1945 tidak ada satu
pasal pun yang mengatur tugas dan kewenangan wakil presiden. Konstitusi kita
hanya mengatakan, ”Dalam melakukan
kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden” (UUD 1945
Pasal 4 ayat 2).
Berbeda dengan jabatan wakil
presiden, konstitusi kita memberikan begitu banyak kewenangan kepada
presiden, mulai dari kewenangan eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.
Dalam penjelasan resmi UUD 1945 yang asli, juga tidak ada penjelasan apa dan
sejauh mana fungsi dan kewenangan wakil presiden.
Pada era Orde Baru, wakil presiden
sungguh seperti ”ban serep”: dipakai tidaknya wakil presiden bergantung
presiden semata. Bahkan pernah terjadi, Presiden Soeharto nyaris lama tidak
berkomunikasi dengan wapresnya karena ia tidak suka dengan proses penetapan
wapres itu. Tradisi ”ban serep” wakil presiden berubah era reformasi. Jusuf
Kalla-lah yang mendobrak tradisi itu.
Ketika berkampanye dalam pemilihan
presiden 2004, JK dan Susilo Bambang Yudhoyono diam-diam membuat kesepakatan
tentang pembagian tugas. Kesepakatan itu dituangkan dalam catatan tertulis.
Intinya, Jusuf Kalla sebagai wakil presiden lebih konsentrasi pada bidang
ekonomi dan keuangan; sedangkan SBY sebagai presiden lebih berkonsentrasi
pada masalah-masalah dalam negeri, politik, keamanan, dan luar negeri.
Dalam praktik, rupanya JK telah
bertindak terlalu jauh, melampaui koridor ”perekonomian dan keuangan”
sehingga JK ketika itu (pemerintahan SBY jilid I) mendapat predikat ”The Real President”. Diam-diam
orang-orang dekat SBY tidak senang dengan perilaku JK ini.
Pertengahan September ini Presiden
Jokowi menegaskan bahwa tugas pokok presiden membuat kebijakan (policy). Kebijakan dilaksanakan oleh
para menteri, termasuk menteri koordinator. Pengawasan atas pelaksanaan
kebijakan pemerintah ada di pundak wakil presiden. Jadi, tugas pokok Wakil
Presiden Jusuf Kalla, menurut persepsi dan pemahaman Presiden Jokowi, ialah
mengawasi implementasi setiap kebijakan yang sudah diputuskan Presiden.
Namun, pengalaman JK yang suka over-stepped presidennya (karena
semboyan ”lebih cepat lebih baik”) sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh banyak
kalangan ketika mereka berpasangan dalam pemilihan presiden tahun lalu.
Wapres yang overstepped Presiden
sudah semakin tampak meski usia pemerintahan belum mencapai setahun.
Pernyataan Wakil Presiden Jusuf
Kalla pada Rabu pekan lalu tentang impor beras, tampaknya, misterius dan dari
aspek komunikasi politik tergolong ”bermasalah”. Ketika transit di Bandara
Dubai dalam perjalanan ke New York, Rabu, 23 September lalu, JK mengatakan
pemerintah akan mengimpor beras 1,5 juta ton dengan alasan ”El Nino yang terjadi justru menghantam
fondasi pertanian itu sendiri yaitu kebutuhan air. Mau tidak mau, kalau kita
tidak mau krisis pangan, kita harus impor beras!”
Sidang kabinet pekan
sebelumnya pernah membahas rencana
impor beras, apalagi menyetujui impor beras. Bukankah pernyataan Wapres mengindikasikan RI-2 sudah over-stepped Presiden?
Sidang kabinet terakhir yang
membahas masalah beras terjadi pada minggu kedua Agustus 2015. Ketika itu
pemerintah memutuskan belum ada rencana mengimpor beras karena stok beras
aman. Bahkan Jusuf Kalla sendiri yang dengan tegas mengatakan, ”Pemerintah jamin stok beras aman meski
ada fenomena El Nino. ..... Pemerintah juga terus memperkuat cadangan beras
Bulog melalui penyerapan produksi dari petani. [Maka] Sementara kebijakan
impor beras belum diambil.”
Sekali lagi, ini ucapan Wakil
Presiden Jusuf Kalla pada 8 Agustus 2015. Hanya dalam tempo 1,5 bulan, JK
mengeluarkan pernyataan yang berbeda drastis. Indonesia harus segera impor
beras jika tidak ingin kekurangan pangan akibat musim kering berkepanjangan. ”Kita tidak boleh berspekulasi dengan stok
beras. Tidak cukup stok beras raskin yang ada sekarang ini!”
Sekali lagi, bagi saya, pernyataan
JK sungguh aneh dan penuh misteri. Atas dasar analisis siapa JK berani
mengatakan situasi beras kita menghadapi ancaman serius kalau tidak segera
impor beras?
Bulan lalu JK mengkritik Rizal
Ramli bahwa seorang menteri harus pelajari masalah dulu, baru berbicara.
Pertanyaan kita: Sudahkah JK mempelajari masalah beras secara saksama sebelum
berbicara kepada publik, apalagi berbicara melalui mimbar di Dunai?
Dan, jangan lupa, Wakil Presiden bukan
policy maker menurut konstitusi
kita! Pengambil kebijakan tetap RI-1, sedang RI-2 ”hanya” mengawasi
implementasi kebijakan; sedangkan menteri teknis pelaksana kebijakan RI-1.
Bukankah yang paling tahu soal perberasan itu Menteri Pertanian Amran
Sulaiman? Dan, Menteri Pertanian masih pada pendapatnya bahwa Indonesia
sampai detik ini belum perlu impor beras mengingat stok yang masih besar? Dua hari berselang, Jumat, 25 September,
Presiden Jokowi menegaskan pemerintah belum ada rencana impor beras.
Maka itu, kebingungan kita seputar
pernyataan JK soal beras mencapai klimaksnya! Melalui Kepala Staf Kantor
Kepresidenan Teten Masduki, Presiden mengatakan, ”Sampai sekarang stok pangan di Bulog masih aman. Jadi, apakah perlu
impor atau tidak nanti, dilihat dari stok pangan kita.” Pernyataan dua
pemimpin nasional kita soal beras begitu bertolak belakang!
Kalau tempo hari Sofyan Wanandi
berkilah investor jadi bingung dan bertanya-tanya: Mana yang harus
didengarkan, pendapat Wakil Presiden atau menteri terkait polemik antara
Wapres dan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya soal rencana
pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt; sekarang pun investor asing
mungkin juga akan tertanya: Mana yang harus kami dengar, Presiden atau Wakil
Presiden!
Pernyataan JK yang terkesan sangat
prematur bisa menimbulkan berbagai interpretasi miring. Pertama, JK mungkin
kurang mendukung atau kurang happy
dengan politik swasembada beras; padahal Jokowi sejak kampanye pilpres awal
tahun lalu sudah canangkan tekadnya untuk menghentikan impor beras. Kedua,
pernyataan JK mungkin untuk menohok Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang
sejauh ini bersama jajarannya berjuang keras melawan ”rezim impor pangan”.
Ketiga, JK atau lingkarannya
mungkin mendapat ”bisikan jahat” dari kalangan importir beras yang memang
selalu berupaya keras untuk mendobrak politik swasembada pangan RI. Jangan
lupa, mafia beras sudah lama beroperasi di Indonesia. Anda masih ingat ketika
Menteri Perdagangan Gita Wirywan pada 2013
kebingungan kenapa beras Vietnam ilegal bisa masuk ke Indonesia?
Keempat, seperti pada pemerintahan
SBY Jilid I, JK ingin menunjukkan ”He
is the Real President” yang mengatur segalanya di Republik ini, sedang
Presiden tinggal mengekor.
Silang pendapat antara RI-2 dan
RI-1 soal beras tidak perlu terjadi manakala semua pihak mendengar paparan
Menteri Pertanian dan memperdebatkannya di sidang kabinet tertutup. Sekali
lagi, kalau soal pangan, khususnya beras, Menteri Pertanian paling tahu dan
paling kompeten untuk berbicara. Tidak kurang tujuh produk pangan kita,
termasuk beras, dan bawang merah hingga September 2015 menunjukkan angka
impor nol. Jagung bahkan mulai diekspor meski masih ada sedikit impor.
Prestasi ini mestinya menggembirakan semua pihak yang cinta Indonesia dan
antimafia pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar