Kekejaman PKI dari Masa ke Masa
Marzani Anwar ; Peneliti Utama pada Balai Litbang Agama
Jakarta;
Koordinator
Penelitian "Pelanggaran HAM oleh PKI" Komnas HAM Tahun 2005
|
REPUBLIKA,
30 September 2015
Sejarah Indonesia pada 1948 ditandai dengan adanya
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun. Didahului gerakan
revolusioner yang disebut formal fase nonparlementer, yakni pengambilalihan
kekuasaan dari pemerintah yang sah.
Peristiwanya terjadi
pada 18 September 1948. Dipimpin Amir Syarifuddin dan Muso. Usaha kudeta itu
disertai pula penculikan dan penganiayaan serta pembunuhan sejumlah penduduk
sipil, polisi, dan ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Aksi sepihak oleh PKI
dalam bentuk kekerasan ternyata masih berlanjut dan muncul ke permukaan sejak
1960. Meletusnya Gerakan 30 September 1965 seakan menjadi antiklimaks.
Disusul gerakan sporadis hingga 1968-an. Kekerasan oleh PKI di Indonesia
menorehkan sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia karena terjadi
aksi-reaksi antarkelompok di masyarakat dan dengan jumlah korban tak sedikit.
Kebijakan sistematis oleh PKI sekaligus merupakan
kelengahan pemerintah. Untuk itu, perlu dicermati guna pengayaan pengetahuan mengenai
fakta historis pelanggaran hak asasi manusia. Dengan pengetahuan itu, terbuka
bagi upaya perlindungan hak asasi manusia ke depan, dan bukan tidak mungkin
membuka akses projustisia.
Pengkajian ini bagian
dari penguatan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (1998-2003) yang berisi
konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukum lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Dalam ketentuan umum UU No 39
Tahun 1999, pasal 1 ayat 7, disebutkan bahwa salah satu fungsi lembaga Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri adalah melaksanakan
pengkajian dan penelitian di samping penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak
asasi manusia.
Ruang lingkup
pengkajian dalam studi ini adalah segala bentuk tindak kekerasan oleh PKI
meliputi peristiwa 1948, 1965, dan 1967 menyangkut tempat, waktu kejadian, korban,
bentuk, dan cara kekerasan. Pengkajian ini tidak bersifat projustisia karena
kejadiannya sudah terlalu jauh, yakni lebih dari 40 tahun dari sekarang. Para
pelakunya sudah hampir tidak mungkin dilakukan tuntutan hukum. Sementara,
para saksi yang masih hidup sudah berusia lanjut.
Penghimpunan data
melalui dua sumber, yakni sumber primer, di mana data diperoleh melalui
wawancara dengan saksi yang masih hidup. Sumber sekunder berupa informasi
melalui buku, catatan, dokumen, dan naskah tertentu berisi pengayaan
informasi dan verifikasi kejadian di sekitar gerakan atau aksi oleh PKI.
Tragedi G30S/PKI dengan segala eksesnya pada 1965 tidak
perlu diungkap dalam kesempatan ini karena sudah banyak terekspose di
buku-buku sejarah dan media massa. Penangkapan beberapa kasus yang lain kita
mulai dari apa yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sejak 1960-an, daerah
Jawa Tengah dikenal menjadi basis PKI, terutama di Solo, Kartosusuro,
Boyolali, dan Klaten. Banyak aksi sepihak yang ditujukan kepada lawan politk,
tokoh agama, dan orang-orang sipil tak berdosa. Di antaranya, penculikan dan
penghilangan paksa empat orang di Klaten dan hingga kini tidak ketahuan
kuburannya.
Pada kasus lain,
sebanyak 16 orang, orang-orang PKI secara tiba-tiba menyekap sambil mengacungkan
arit (sabit). Kawan-kawannya yang tidak bisa lolos menjadi sasaran kekerasan
massa PKI. Mereka yang dibacok dan dibabat ada tujuh orang, ada yang dibacok
bagian kepala, tangan, dan bahu. Pembunuhan juga menimpa Basuni di Jatinom
dan Miftah penduduk Laweyan Sala.
Beralih ke 'peristiwa
Kanigoro', di Kanigoro, Kediri, Jawa Timur. Tempat dilangsungkannya acara
mental-training oleh Pelajar Islam Indonesia (PII). Saat itu, pada 13 Januari 1965, di tengah acara,
anggota PKI melakukan penggerebekan di pagi hari setelah peserta melaksanakan
shalat Subuh. Saat itu, orang-orang PKI serta-merta datang dan serempak
menyerbu lokasi mental-training.
Mereka mengambil
buku-buku, termasuk Alquran di masjid, lalu dinjak-injak. Para peserta,
termasuk panitia, 150-an orang, digiring dengan tangan diikat satu sama lain,
dipaksa berjalan empat km sambil diintimadasi, diancam, serta diteror.
Peristiwa
"Cemethuk" Banyuwangi, informasi didapat kesaksian Maedori, saksi
mata yang berhasil meloloskan diri dari usaha pembunuhan oleh PKI, kemudian
memberikan kesaksian mengenai peristiwa "Cemethuk" Banyuwangi. Aksi
PKI di Banyuwangi berkaitan langung dengan G30S/PKI di Jakarta.
Mereka diberi makanan
yang sudah dicampuri racun, kemudian satu per satu dibunuh, dan mayatnya dimasukkan
ke sumur yang sudah disiapkan. Ada tiga lubang pembantaian. Satu lubang besar
berisi 40 mayat dan dua lainnya masing-masing 11 mayat.
Pembantaian di
Blitar Selatan atas pengungkapan di buku Siapa
Menabur Angin akan Menuai Badai tulisan Soegiarso Soerojo, di halaman
331-332. Di antaranya mengungkapkan kasus kekejaman PKI, seperti di
Rejotangan, Ngunut, Kaliwadi, dan Bojolangu. Mereka melakukan praktik
intimidasi terhadap rakyat dan merampok harta kekayaan penduduk, membunuh
orang tak berdosa, dengan sasaran utama golongan beragama.
Menculik setiap orang
yang mereka curigai. Bila ternyata lawan, mereka tak segan-segan membunuhnya.
Praktik kejam ini dipimpin Sugita dan Sutrisno, keduanya anggota CGMI.
Kasus pembantaian di
Kediri diungkap berdasar
kesaksian Ibu Yatinah (69 tahun), anak kandung korban bernama Sarman.
Peristiwanya terjadi pada 18 September 1948 sewaktu menghadiri rapat pamong di kelurahan,
tiba-tiba ia dicegat segerombolan orang. Kemudian, dibawa paksa ke suatu
tempat sambil diikat kedua tangannya. Berhari-hari ayahnya tidak pulang, dan
ternyata termasuk yang dimasukkan di sumur maut dekat di sini (menunjuk ke
luar desa), bersama 108 orang. Sarman tertulis di nomor 48 dalam daftar di
monumen tersebut.
Masih di Kediri, yakni
penculikan disertai pembunuhan, terjadi pasca-G30S/PKI. Korbannya adalah Imam
Mursyid dan kawannya, termasuk Kiai Zaenuddin. Atas kesaksian Djaini bin
Ramelan (65), adik kandung korban Imam Mursyid. Menurut salah seorang yang
ikut mengubur, ia cuma bilang bahwa Imam Mursyid dicegat di tengah jalan,
kemudian dibawa ke Desa Besowo, dioper ke sana-kemari, sampai akhirnya diikat
terus dimasukkan ke jurang sungai.
Sungainya sangat
curam, setinggi pohon kelapa. Penculikan terjadi sekitar 10 Oktober 1965.
Keadaan mayat, badannya masih utuh, tapi diikat kencang. Perkiraan saksi,
korban dimasukkan di sumur itu saat masih hidup, kemudian ditimbuni tanah.
Kasus Takeran (Sumur
Kenongo Mulyo) terungkap atas kesaksian Kaelan Suryo Martono (73), beralamat
di Desa Giringan, pekerjaan sebagai petani di Jawa Timur. Peristiwa Takeran
terjadi pada 1948.
Keterangan kasus
Takeran diperkuat salah seorang saksi korban bernama Hadi Syamsuri (80),
pensiunan naib (petugas pernikahan) di Takeran. Ia diculik dan digiring ke
Desa Baeng dan ditahan di sana. Di situ sudah ada sekitar 80 orang Muslim
ditahan. Selama 40 hari ia ditahan di Baeng.
Di tempat tawanan
ditemui sejumlah lurah yang juga ditawan. Selama ditahan, mereka tidak diberi
makan. Sebagian kawan lain ditahan di Desa Cigrok. Selama di tahanan,
orang-orang PKI itu merampas kerbau dan sapi milik warga. Tiap hari mereka
memotong kerbau atau sapi untuk pesta yang berjaga di Baeng. Pada saat
tentara Siliwangi datang, mereka yang ditahan di Desa Cigrok dibunuh semua
oleh PKI. Sedangkan, yang di Baeng berhasil menyelamatkan diri.
Kasus Kresek, Madiun,
terungkap berdasarkan kesaksian KH Ahmad Junaedi, anak kandung salah seorang
korban bernama KH Barokah Bachruddin. Sejumlah kiai diculik dan dibunuh.
Diduga kuat sebelum dibunuh, mereka dianiaya.
Menurut para saksi,
para kiai itu ada yang matinya ditembak, dipenggal lehernya, dipukul dengan
benda tajam. Kiai Shodiq satu-satunya yang dibunuh dengan cara didorong ke
lubang dalam keadaan tangan terikat kemudian diurug (ditimbun tanah). Husnun,
salah seorang saksi, mendapat keterangan dari para saksi lain bahwa para
penculiknya waktu itu membawa parang, tali, benda tumpul, selain senjata api.
Terungkapnya kasus
pembantaian di Markas Gebung, Ngawi, Jawa Timur, berdasarkan keterangan para
saksi korban penculikan di Desa Gebung. Korbannya ditahan 12 hari,
hampir-hampir tidak diberi makan. Mereka terkurung di dalam rumah yang
terkunci, lalu rumah dibakar.
Orang-orang PKI tetap
siaga di luar rumah, lengkap dengan senjata tajam sehingga tawanan yang
mencoba kabur ditangkap lagi dan dimasukkan ke dalam api atau dibunuh
langsung. Setelah peristiwa usai, kemudian dibersihkan, ditemukan banyak
mayat, tujuh orang di antaranya dipindahkan ke Makam Pahlawan Ngawi.
Perspektif HAM
PKI secara sistematis
melakukan kejahatan pelanggaran HAM berat atau diduga kuat melakukan
pelangaran HAM berat. Indikasi ke arah itu bisa dilihat dari fakta yang
dikumpulkan. Rapat-rapat oleh para pimpinan Biro Khusus PKI dan Pimpinan CC
PKI dalam mempersiapkan pengambialihan pemerintahan pada 1965 sangat
memperkuat indikasi itu.
Gerakan 30 September
1965 adalah realisasi tindakan sebagaimana telah mereka rencanakan. Gerakan
ini terorganisasi sistematis, yakni melalui struktur organisasi: tingkat
pusat (CCPKI), Comite Daerah Besar (CDB PKI), Comite Kota (CK PKI) sampai ke
Comite Seksi (CS PKI) sebagai comitte basis. Pelanggaran HAM berat dilakukan
dalam beberapa bentuk.
Penghilangan nyawa,
yang didahului penculikan dan penyiksaan tanpa proses hukum. Ini terjadi pada
kasus, antara lain, pembunuhan enam jenderal TNI AD, seorang perwira, dua perwira TNI AD
di Yogyakarta, serta penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan para kiai, pemuka masyarakat, dan warga tak
berdosa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pelanggaran terhadap
hak hidup menyalahi Pasal 28 A dan 28 I UUD 1945 yang menerangkan bahwa hak
hidup merupakan hak seseorang dan hak hidup itu tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun. Pembunuhan juga melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM,
Pasal 3 DUHAM, Pasal 6 Konvenan Inernasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Pembunuhan dengan
sasaran orang-orang berpengaruh di masyarakat, seperti pada peristiwa Lubang
Buaya Jakarta dan peristiwa di Jawa Timur menunjukkan adanya target politik
tingkat tinggi dan merupakan teror mental yang berdampak psikologis luar
biasa di masyarakat. Timbulnya keresahan sosial yang meluas sebagai akibat
aksi itu merupakan pelanggaran Pasal 9 Ayat 2 UU No 39/1999 tentang Hak untuk
Hidup Tentram, Aman, Damai Bahagia, Sejahtera Lahir Bathin.
Penggerebekan disertai
teror, antara lain, pada peristiwa Kanigoro, oleh orang-orang PKI melanggar HAM,
khususnya Pasal 3 dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang menyatakan
setiap orang berhak atas kehidupan, keamanan, dan kemerdekaan pribadi.
Penyiksaan sebelum
pembunuhan juga terjadi terhadap sejumlah orang di Solo pada 1965. Di
Manisrenggo dan atau Jatinom, Klaten, pada 1948 dan 1965 dengan sasaran
penduduk sipil merupakan kejahatan kemanusiaan dan melanggar Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading
Treatment or Punishment. Juga melanggar Pasal 4 dan Pasal 33 UU No
39/1999 tentang Hak untuk Bebas dari Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan
Kejam, tidak Manusiawi, Merendahkan Derajat dan Martabat Manusia.
Penghilangan secara
paksa juga terlanggar dengan adanya penculikan terhadap lawan politik atau
orang yang dianggap lawan politik PKI. Ini terjadi pada peristiwa Lubang
Buaya serta penculikan para kiai
di Madiun, penyekapan dan pembunuhan di Ngawi. Tindakan ini melanggar Pasal 33 Ayat 2 UU No
39 tentang HAM yang menyatakan setiap orang harus bebas dari penghilangan
secara paksa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar