Minggu, 04 Oktober 2015

Memperkuat Rekonsiliasi Kultural

Memperkuat Rekonsiliasi Kultural

Singgih Nugroho ;   Peneliti dari Percik Salatiga; Penulis buku Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca Peristiwa 1965 di Pedesaan Jawa
                                              SUARA MERDEKA, 02 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERINGATAN 50 tahun peristiwa G30S masih menyisakan PR besar bagi negara untuk menguak sisi gelap bangsa ini. Banyak pihak berupaya mendorong negara membuat pengakuan dan permintaan maaf secara resmi kepada lebih dari 0,5 juta warganya. Mereka adalah korban pembunuhan massal di Jateng, Jatim, Bali, Sumatera, dan NTT tanpa proses hukum karena mereka dianggap anggota dan simpatisan PKI.

Tapi perjuangan menyelesaikan lewat kebijakan politik di tingkat nasional butuh waktu lebih lama. Kita sedang menguji komitmen janji politik Jokowi- JK dalam kampanye Pilpres 2014. Polemik penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia terus bergulir. Wacana antikomunis masih kuat di sebagian kalangan. Pemerintah saat ini menggodok kebijakan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tahun 1965-1966 antara lain dengan pendekatan rekonsiliasi melalui pembentukan Komite Kebenaran Penyelesaian Masalah HAM Masa Lalu, di bawah koordinasi Kemenpolhukam. Di luar polemik rekonsiliasi nasional di bidang yudisial dan politik, sebenarnya ada beberapa perkembangan baik di tingkat daerah. Di sejumlah daerah mulai muncul komunitas pemerhati masalah ini di luar kelompok pembela HAM mainstream. Mereka berasal dari generasi muda. Setiap ada diskusi tentang pembantaian 1965- 1966, mereka yang hadir bukan hanya bekas tapol yang berusia lanjut melainkan juga kaum muda.

Penemuan dan pemberian tanda nisan bagi makam 24 orang eks korban 1965 di Dusun Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kota Semarang, merupakan salah satunya. Contoh lain, sekelompok mahasiswa pegiat jurnalis di salah satu kampus di Salatiga, mencoba menelusuri dampak peristiwa ini di institusi politik, militer kampus dan lingkungan masyarakat Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Sebelum 1965, PKI memiliki posisi politik kuat di dua daerah ini. Arbi Sanit (2000) dalam buku Badai Revolusi, Sketsa Kekuatan PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mencatat PKI di Kabupaten Semarang memenangi Pemilu 1955 dengan suara terbesar, 144.773, disusul gabungan tiga partai Islam (Masyumi, NU, dan PSII) dengan 88.836 suara, dan PNI 24.783 suara. Di Salatiga, MM Billah (2003), mantan komisioner Komnas HAM, menyebut 17 dari 21 anggota DPRD berasal dari PKI. Selain itu, Bakri Wahab, wali kota periode 1961-19665, secara politik didukung PKI Salatiga.

Kedatangan RPKAD (kini Kopassus) minggu ketiga Oktober 1965 membuat operasi penangkapan pimpinan dan anggota PKI di dua daerah ini mulai terorganisasi. Kesatuan elit ini membentuk kelompok paramiliter dari unsur ormas agama, mahasiswa dan kepemudaan, dinamai Pasukan Garuda Pancasila. Tidak Diakui Sejauh teramati, konstelasi politik ini tak banyak diketahui generasi muda Salatiga sekarang. Dalam kurun panjang, Bakri Wahab, tidak diakui secara politik, antara lain fotonya tidak dipajang di balai kota, periodenya langsung dilompati oleh Letkol S Soegiman (wali kota 1966-1976). Di Jateng, sejumlah kepala daerah mulai terbuka mendiskusikan peristiwa G30S dan dampaknya di tiap daerahnya. Tapi belum ada yang menyampaikan permintaan maaf secara resmi.

Baru Wali Kota Palu Sulteng, H Rusdy Mastura, yang tanpa menunggu putusan pengadilan, menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Ia bahkan memberi akses bagi korban/penyintas pada program sosial dan layanan publik Pemkot Palu. Belakangan, namanya dikenal di pentas global setelah wartawan New York Times, Jeremy Kutnerjuly menulis kisahnya di laman media itu (13/7/15) berjudul ”A City Turns to Face Indonesia’s Murderous Past”. Baskara T Wardaya (2014) mendorong kita supaya terus menyalakan dan menjaga api rekonsiliasi. Kita bisa belajar rekonsiliasi dari Afsel bagaimana melibatkan masyarakat mencari kebenaran pelanggaran HAM. Termasuk belajar pada Jerman, bagaimana pemerintahnya bekerja sama dengan semua pihak memimpin usaha mengolah pengalaman kekerasan masa lalu. Khususnya semasa Nazi dan pemerintah German Democratic Republik (GDR) sehingga ia berhasil menjadi negara yang kuat dan dihormati baik di Eropa Barat dan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar