Minggu, 04 Oktober 2015

Bakarlah, Tambanglah, dan Bunuhlah

Bakarlah, Tambanglah, dan Bunuhlah

Suparto Wijoyo ;   Dosen Hukum Lingkungan Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 02 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEMBUNUHAN Salim Kancil, 52, warga Dusun Krajan II, Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Sabtu 26 September 2015, dan penyiksaan Tosan, 51, kawan seperjuangan Salim, sungguh mengentak. Kejadian itu menyeruak melengkapi derita serta menyayat luka komunitas bangsa.

Kematian Salim dan penderitaan Tosan adalah tamparan keras kepada institusi negara secara fundamental yang menyembulkan tanya: di mana arti sebuah negara, arti negara hukum (rechtsstaat)? Mengapa negara sampai alpa dan memberikan ruang atas kenyataan seperti itu, tanpa dapat dicegah? Di mana aparatur negara bertakhta dan bertitah untuk mengamankan setiap jengkal tanah air kita?

Publik telah menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang memanggungkan lakon, negara ini bagaikan tanah tidak bertuan. Laksana arena pertunjukan tanpa panitia. Rakyat seolah jalan liar tanpa markah dan rambu penanda, tidak ada rule of the game.

Hukum dan perangkatnya dikesankan seperti aksesori yang indah dipandang dan rapuh diraba. Asap pekat masih terhelat di belantara Sumatera dan Kalimantan dengan akibat yang dirasakan Singapura serta Malaysia.
Tindakan pembakaran itu sudah berlangsung sejak 1971, bahkan menurut data Kepolisian Negara Republik Indonesia, sejak era 1960an. Derita kabut asap tersebut mendera hampir 26 juta penduduk yang tersebar: 24 juta di Sumatera dan 4 juta jiwa di Kalimantan.

Berapa ongkos pengobatan dan biaya kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi hal itu? Peristiwa yang acap berulang selama empat dasawarsa adalah tindakan berkelanjutan menistakan rakyat.

Apa pun yang telah dilakukan instansi yang berwenang nyaris tidak berguna karena faktanya pembakaran terus berlangsung. Tragedi berubah menjadi tradisi dan asap menjadi azab yang menyengsarakan jutaan penduduk.

Korban pembakaran itu jelas a mass of peoples, dan jangkauan wilayah yang luas, serta penggerogotan terencana objek-objek vital negara. Kualifikasi kejahatan terorisme atas peristiwa itu sudah terpenuhi se bagaimana dirumuskan UU Terorisme.

Kejahatan lingkungan dengan korban manusia, primata, maupun pepohonan sejatinya sudah diatur dalam UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Konservasi Tanah, dan berbagai regulasi lain. Namun, apa yang dapat dilakukan negara selain menindak setengah hati dan membiarkan separonya lagi?

Lingkungan hidup yang baik dan sehat, menurut UUD 1945, adalah constitutional rights yang harus disediakan negara. Karena itu, pencemaran udara dan penghancuran ekosistem kehutanan di wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wujud laku inkonstitusional.

Dan, setiap tindakan inkonstitusional pastilah memiliki konsekuensi yang mesti ditanggung lembaga penyelenggara negara yang menjalankan konstitusi. Tatkala pemegang amanat itu tidak sanggup mengemban norma konstitusi, apa yang sebaiknya dilakukan? Kalaulah tidak ada jawabnya, haruskah kita berteriak: bakarlah ladangnya, tambanglah isinya, dan bunuhlah warganya?

Konstelasi pembakaran itu sejatinya melengkapi kerusakan tambang yang terpotret di Kalimantan dalam semua sisinya dan Papua. Oh... oh... di Jawa juga demikianlah adanya, juga di Sumatera dan Sulawesi. Tengoklah, bagaimana areal bekas tambang dipelihara? Bagaimana reklamasi dilakukan?

UU Minerba, UU Perindustrian, UU Perdagangan, dan berbagai regulasi sekitarnya tentu baguslah adanya. Tapi, mengapa daerah tambang yang kaya raya itu sejurus waktu dan setarikan napas yang sama dengan rakyatnya juga miskin?

Pasal 33 UUD 1945 mengajarkan bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam rahim ibu pertiwi hanya berperuntukan tunggal: kemakmuran rakyat.
Belum mentas problematika itu dientas, kini muncul pembunuhan di Lumajang yang bersandar pada masalah tambang. Tambang pasir yang renik bijinya telah mengobarkan permusuhan dan memuntahkan darah yang dikeramasi dengan lelehan air mata.

Sempurna sudah realitas yang dipertontonkan dan dilakonkan di panggung Indonesia. Kesempurnaan yang menggoreskan siksa dan melantunkan lagu-lagu kematian.

Nyanyian dan zikir yang menyesakkan bukan penghibur yang penuh syukur tanpa jeda. Apa yang harus diperbuat negara? Apa yang harus dilakukan pemerintah? Apa yang mesti diemban seluruh rakyat Indonesia? Pasti banyak yang bisa diperbuat negara. Pasti jamak yang dapat dilakukan pemerintah. Pasti beragam peran yang dapat dipikul rakyat.

Kita semua harus bersatu menjaga marwah dan martabat republik ini. Negara ini harus bereputasi dan pemerintah harus berprestasi. Berilah arti kepada hari esok bahwa NKRI ini memang ada untuk rakyat Indonesia.

Pemerintah mesti memberikan jaminan dengan sumber dayanya untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Itulah pesan konstitusi kita. Kalaulah itu masih kurang, Alquran sejak abad ke-6 mendeskripsikan kehidupan manusia yang diciptakan dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa, agar li ta’aarofu (saling mengenal), bukan saling merusak atau menghancurkan. Inna Allaha la yukhibbul mufsyidien (sungguh Allah tidak menyukai siapa saja yang berbuat kerusakan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar