Paket Ekonomi II: Kembang Kempis Mengais Optimis
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
HALUAN,
30 September 2015
Akhirnya pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi jilid 2
pada Selasa siang (29/9). Secara umum, melalui paket ini, pemerintah
nampaknya masih ingin mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi investasi.
Hal ini terbukti dari isi paket yang lebih banyak memberi insentif
bagi kegiatan penanaman modal.
Salah satunya adalah kemudahan
dalam berinvestasi di kawasan industri. Pemerintah menjanjikan, izin
investasi di kawasan industri bisa selesai dalam waktu tiga jam saja. “Jika
investor langsung datang ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan
bawa persyaratan dokumen lengkap, izin akan selesai dalam tiga jam saja,”
ujar Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, saat
mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid Dua.
Selain itu, pemerintah juga
menekankan insentif untuk pengusaha yang membawa devisa hasil ekspor (DHE)
kembali ke dalam negeri. Pemberian insentif ini berupa pemotongan pajak dari
DHE yang disimpan di perbankan dalam negeri. Adapun besarnya insentif
tergantung mata uang dan lamanya dana tersimpan.
Misalnya, jika DHE berbentuk
dollar AS, maka pengusaha bisa mendapatkan pengurangan pajak deposito
atas dana tersebut. Dari sisi lamanya, jika DHE tersimpan dalam deposito satu
bulan, pengusaha mendapatkan pengurangan pajak dari 20% menjadi 10%. Untuk
deposito DHE tiga bulan, pajaknya hanya menjadi 7,5% dan durasi tersimpan
selama enam bulan hanya akan dikenai pajak 2,5%. Dan jika DHE tersimpan di
deposito setahun atau lebih, maka dana akan terbebas dari pajak alias 0%.
Nah jika eksportir menyimpan
DHE dalam deposito rupiah, maka pemotongan pajaknya lebih besar lagi. Jika
DHE disimpan dalam deposito rupiah berjangka satu bulan, maka pajak yang
dikenakan hanya sebesar 7,5%. Untuk DHE yan disimpan dalam deposito rupiah
berjangka 3 bulan, pajaknya berada pada kisaran 5%. Dan jika eksportir
menyimpan DHE dalam deposito berjangka 6 bulan atau lebih maka
bunga atas depositonya akan menjadi 0% alias tidak dipotong
pajak.
Setelah pada paket ekonomi
jilid pertama pemerintah berjuang habis-habisan meyakinkan pasar
bahwa otoritas fiscal dan moneter akan memperbaiki keadaan dengan segala
segala cara dan terbukti kurang mumpuni karena rupiah semakin terkapar
dan IHSG maju mundur cantik di area yang kurang meyakinkan, kini giliran
paket ekonomi jilid dua dirilis, nampaknya pemerintah agak sedikit
mampu membuat para pelaku pasar sedikit bergeming.
Lihat saja Indeks Harga Saham
Gabu-ngan (IHSG) pada sesi penutupan hari Selasa (29/9/15). Indeks
terpantau menguat signifikan beberapa waktu berselah setelah pemerintah
mengumumkan paket ekonomi jilid II. Data dari RTI ketika itu menunjukkan
bahwa indeks naik 1,41% atau 57,90 poin ke level 4.178,40. Tercatat 156 saham
bergerak turun, 111 saham bergerak naik, dan 74 saham
terpantau stagnan.
Volume transkasi juga terpantau
cukup membaik dengan melibatkan 7,7 miliar lot saham dengan nilai transaksi
mencapai Rp 5,45 triliun. Secara sektoral, delapan dari 10 indeks sektoral
menghijau. Sektor barang konsumsi naik 4,89%, sektor manufaktur menguat
3,05%, dan aneka industri naik 1,86%. Disisi lain, dua indeks sektoral yang
memerah antara lain industri dasar turun 0,51%, dan agrikultur turun 0,49%.
Reaksi IHSG ini tentu tergolong
sangat bagus karena penguatan terjadi di tengah bursa regional dan global
yang cendrung melemah dilanda aksi jual. Pada sesi yang sama waktu Hong Kong
misalnya, indeks MSCI Asia Pacific terseret turun sekira 3,1% ke level
120,94. Indeks acuan emerging market ini telah berada di jalur pelemahan
sekitar 17% dalam kuartal ini. Sementara itu, indeks Topix Jepang juga
anjlok 4,4%, bahkan indeks Hang Seng Hong Kong turun 2,9% ke level
terendahnya sejak bulan Juli 2013. Sementara itu, Indeks Shanghai Composite
melemah 2%, S&P/ASX 200 Australia turun 3,8% dan indeks NZX 50 Selandia
Baru turun 1,5%.
Meskipun pergerakan IHSG
cendrung berlainan, aksi jual asing (net sell) ternyata masih mewarnai
perdagangan pada sesi hari Selasa (29/9/15). Banyak pelaku pasar yang masih
meragu dengan kondisi dalam negeri Indonesia, terutama dari sisi kerentanan
finansial. Akibatnya aksi jual terpantau jauh melebihi aksi beli. Berdasarkan
data BEI, aksi jual asing membukukan angka sekitar Rp 1,6 triliun dan aksi
beli asing tercatat sekitar Rp 1,1 triliun, sehingga masih terdapat selisih
yang cukup lumayan, yakni sekitar Rp 500 miliar.
Secara fundamental, perlambatan
ekonomi Tiongkok masih menjadi prima-dona kekhawatiran pelaku pasar dan
terpantau telah menyebar ke negara lain di Asia, Brasil dan Australia,
sehingga memberi sinyal positif atas prospek perlambatan ekonomi di
negara-negara berkembang yang kemudian bisa bergema ke ekonomi dunia secara
keseluruhan. Kondisi ini seturut dengan kecurigaan IMF bahwa proyeksi pertumbuhan
global akan kembali tertekan ke bawah, baik karena faktor Tiongkok, The Fed,
maupun karena melandainya harga komoditas-komoditas eksport andalan
negara-negara emerging market.
Tiga isu utama ini akan menjadi
benturan bagi paket ekonomi pemerintah, baik jilid pertama maupun jilid
kedua. Lihat saja reaksi rupiah yang terpantau biasa-biasa saja, emskipun
IHSG cukup girang dengan kehadiran pakert ekonomi jilid dua. Pada sesi akhir
hari Selasa (29/9/15), nilai tukar rupiah terhadap dollar kembali
melemah. Di Pasar Spot, nilai tukar rupiah terhadap USD tergelincir 0,12%
ke level Rp 14.691. Demikian juga di kurs tengah bersi Bank Indonesia
(BI), rupiah melemah 0,2% ke level Rp 14.728 per dollar AS.
Jadi sangat bisa dipahami
bahwa reaksi IHSG yang cendrung menghijau langsung terkait dengan tonjokan
dari sisi investasi yang diinisiasi dalam paket ekonomi jilid dua. Ada ekspektasi
perbaikan iklim bisnis dan iklim investasi yang terkandung didalamnya,
namun secara fundamental tidak memberi jawaban atas risiko perlambatan
ekonomi secara makro, terutama dari sisi ancaman penurunan konsumsi rumah
tangga yang selama ini telah menjadi bumper pertumbuhan ekonomi nasional
dan dari sisi antisipasi pelemahan mata uang rupiah yang sejatinya bisa
semakin merusak daya beli dan konsumsi dalam negeri, kemudian semakin
mendangkalkan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Artinya, pemerintah lebih
memilih berpromosi untuk menjapatkan injeksi dari sisi investasi ketimbang
mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan banyak masalah
ekonomi makro finansial untuk mengungkit pertumbuhan dari dalam agar vitalitas
nasional kian terjaga dari goncangan-goncangan global dan regional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar