Kekejaman
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO,
05 Oktober 2015
Sebelum pembantaian tak ada titik nol. Sebelum kekejaman,
ada kekejaman lain yang tak selamanya kita akui, mungkin tak selamanya kita
kenali.
Saya beruntung dilahirkan lebih dari 70 tahun yang lalu
dan masih bisa bercerita hari ini—bisa mengingat ayah yang ditembak, paman
yang ditembak, tetangga yang ditembak, lurah yang diculik gerilyawan dan
ditusuk jantungnya, bekas nyai Belanda yang dirampok dan dikuburkan
hidup-hidup di bawah pohon randu, mantan pemimpin perjuangan yang diajak ke
luar rumah oleh dua tamunya dan persis di tepi rumpun bambu, kepalanya
dilubangi peluru.
Ketika saya belum lagi berumur 8 tahun, di dekat rumah
kami di Wonosobo saya menemukan sehalaman selebaran, mungkin pamflet, dengan
potret kabur seorang gundul yang disebut sebagai "Suhodo" (saya
ingat namanya). Di sana tertulis bahwa Suhodo, "algojo PKI" di
sekitar Madiun pada 1948, telah membantai puluhan orang hingga darah mengalir
setebal dua senti di lantai kamar penyembelihan. Sementara itu, paman kami
bercerita bagaimana orang-orang dihukum tembak atau disiksa di depan umum di
alun-alun Kudus: "orang PKI", kata paman—dan dua hari lamanya ia
tak doyan makan. Seorang kakak saya, yang bergabung dengan pasukan
"merah" dalam "Peristiwa Madiun", pulang ke rumah setelah
kompinya dilucuti Pasukan Siliwangi; ia tak banyak bercerita tentang apa yang
terjadi, tapi saya lihat ia selalu membawa sebuah revolver di saku celananya.
Tanpa dendam sekalipun, ingatan tentang kekerasan sering
kali hanya mengendap, sejenis sedimentasi yang seakan-akan bersembunyi dari
hiruk-pikuk jalanan yang berubah. Tapi ia sesekali akan mengemuka dalam
mimpi, atau jadi kisah samar-samar, dan berangsur-angsur kembali jadi endapan
ingatan—kali ini semacam bawah sadar kolektif.
Masyarakat Indonesia menanggung lapisan-lapisan itu. Saya
pernah baca memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang terbit pada 1936;
salah satu babnya, seingat saya, menggambarkan pembunuhan kejam atas para
priayi oleh para santri. Beberapa dasawarsa kemudian, pemerintah kolonial
raib dan pendudukan Jepang ambruk dan Indonesia memaklumkan diri jadi
republik tanpa instrumen kekuasaan. Tak lama sesudah itu, apa yang disebut
"revolusi sosial" meledak di Sumatera Timur. Para bangsawan dan
pejabat pamong praja dibantai. Mereka dianggap berkolaborasi dengan penjajah
dan selama itu dianggap menghina rakyat kecil. Tercatat 140 orang dibunuh. Di
antaranya penyair Amir Hamzah, aristokrat yang sebenarnya seorang nasionalis
yang tulus, yang mempersembahkan kumpulan puisi pertamanya untuk "Ibunda
Indonesia Raya".
Tak lama setelah 17 Agustus 1945, "Peristiwa Tiga
Daerah" meledak di Pantai Utara Jawa. Di Tegal, Raden Ayu Kardinah, adik
kandung Kartini, diarak di jalan-jalan dengan diberi pakaian goni setelah
suaminya, Bupati Sunarjo, luput dari kemarahan "massa".
Mengendap pula yang lain: pembangkangan bersenjata
terhadap Republik baru oleh "Darul Islam" yang berlangsung sampai
lewat pertengahan 1960-an. Jawa Barat rusak berat. Kemudian, "Peristiwa
Madiun". Kemudian, peristiwa "Republik Maluku Selatan".
Kemudian peristiwa PRRI dan Permesta, protes dari daerah yang mengakibatkan
konflik bersenjata. Kemudian....
Di sekitar 1965, berlangsunglah pembunuhan dalam skala
yang jauh lebih besar dan dengan permusuhan yang jauh lebih intens. Tiap
kekejaman tak bisa dibandingkan dengan kekejaman lain, sebab untuk itu semua
harus diuraikan lebih dulu; tapi dalam ingatan kolektif, semuanya
berhimpun—dan himpunan yang kacau itu membuat kita mudah menerima kekerasan,
bahkan kekejaman, sebagai unsur yang niscaya dalam sejarah.
Kemerdekaan Indonesia diperoleh tanpa tembakan; tapi di
pelbagai monumen di jalan-jalan, sosok perjuangan kemerdekaan adalah orang
yang bersenjata. Tiap perayaan 17 Agustus, di gapura-gapura kampung terlukis
pemuda gagah, pegang bedil atau bambu runcing, garang. Kegagahan, keberanian
berkorban, kekerasan, kekejaman—semua muncul dalam pelbagai simbol dari
endapan di bawah sadar.
Bahkan dengan mengemukakan sang korban, atau yang
ditampilkan sebagai "korban", kekejaman menyembul dan diperpanjang
umurnya. Kasus yang paling mencolok adalah pemutaran film propaganda
Pengkhianatan G30S: banyak anak sekolah yang diharuskan menonton film ini
harus menyaksikan adegan kebuasan yang diekstremkan—demi menghalalkan korban
jadi pahlawan.
Memasuki dunia anak-anak, "pengorbanan" (mengangkat
obyek kekejaman sebagai sosok yang mulia) disamarkan jadi
"pengorbanan" (kesediaan memberikan jiwa dan raga untuk hal yang
luhur). Pada gilirannya kekejaman jadi bagian dari ritus yang tiap kali bisa
diulangi, meskipun repetisi itu selalu muncul sebagai laku yang baru untuk
dinikmati.
"Ada wilayah kesepakatan manusia yang... sepenuhnya
tak terjangkau kekerasan: wilayah 'pemahaman' yang pas, yakni bahasa,"
kata Walter Benjamin. Saya kira ia keliru. "Pemahaman", dengan
bahasa, justru mengandung kekerasan ketika manusia menegakkan konsensus
dengan lambang, verbal ataupun bukan, dari himpunan ingatan yang sebenarnya
kacau. Sedimentasi ingatan, horor dan kenikmatannya, hasrat dan kecemasan
yang impit-mengimpit seakan-akan disetrika jadi rapi ketika diekspresikan.
Kekerasan pun bertambah ketika endapan ingatan itu dipaksa untuk dikeluarkan
buat diterima publik.
Kita kemudian mencoba menganggap orang lain, bukan aku,
sebagai titik pertama kekejaman. Selalu orang lain—dengan itu monster dalam
diriku bisa bersembunyi lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar