Kamis, 08 Oktober 2015

Kekejaman

Kekejaman

Goenawan Mohamad ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo

                                                     TEMPO.CO, 05 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebelum pembantaian tak ada titik nol. Sebelum kekejaman, ada kekejaman lain yang tak selamanya kita akui, mungkin tak selamanya kita kenali.

Saya beruntung dilahirkan lebih dari 70 tahun yang lalu dan masih bisa bercerita hari ini—bisa mengingat ayah yang ditembak, paman yang ditembak, tetangga yang ditembak, lurah yang diculik gerilyawan dan ditusuk jantungnya, bekas nyai Belanda yang dirampok dan dikuburkan hidup-hidup di bawah pohon randu, mantan pemimpin perjuangan yang diajak ke luar rumah oleh dua tamunya dan persis di tepi rumpun bambu, kepalanya dilubangi peluru.

Ketika saya belum lagi berumur 8 tahun, di dekat rumah kami di Wonosobo saya menemukan sehalaman selebaran, mungkin pamflet, dengan potret kabur seorang gundul yang disebut sebagai "Suhodo" (saya ingat namanya). Di sana tertulis bahwa Suhodo, "algojo PKI" di sekitar Madiun pada 1948, telah membantai puluhan orang hingga darah mengalir setebal dua senti di lantai kamar penyembelihan. Sementara itu, paman kami bercerita bagaimana orang-orang dihukum tembak atau disiksa di depan umum di alun-alun Kudus: "orang PKI", kata paman—dan dua hari lamanya ia tak doyan makan. Seorang kakak saya, yang bergabung dengan pasukan "merah" dalam "Peristiwa Madiun", pulang ke rumah setelah kompinya dilucuti Pasukan Siliwangi; ia tak banyak bercerita tentang apa yang terjadi, tapi saya lihat ia selalu membawa sebuah revolver di saku celananya.

Tanpa dendam sekalipun, ingatan tentang kekerasan sering kali hanya mengendap, sejenis sedimentasi yang seakan-akan bersembunyi dari hiruk-pikuk jalanan yang berubah. Tapi ia sesekali akan mengemuka dalam mimpi, atau jadi kisah samar-samar, dan berangsur-angsur kembali jadi endapan ingatan—kali ini semacam bawah sadar kolektif.

Masyarakat Indonesia menanggung lapisan-lapisan itu. Saya pernah baca memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang terbit pada 1936; salah satu babnya, seingat saya, menggambarkan pembunuhan kejam atas para priayi oleh para santri. Beberapa dasawarsa kemudian, pemerintah kolonial raib dan pendudukan Jepang ambruk dan Indonesia memaklumkan diri jadi republik tanpa instrumen kekuasaan. Tak lama sesudah itu, apa yang disebut "revolusi sosial" meledak di Sumatera Timur. Para bangsawan dan pejabat pamong praja dibantai. Mereka dianggap berkolaborasi dengan penjajah dan selama itu dianggap menghina rakyat kecil. Tercatat 140 orang dibunuh. Di antaranya penyair Amir Hamzah, aristokrat yang sebenarnya seorang nasionalis yang tulus, yang mempersembahkan kumpulan puisi pertamanya untuk "Ibunda Indonesia Raya".

Tak lama setelah 17 Agustus 1945, "Peristiwa Tiga Daerah" meledak di Pantai Utara Jawa. Di Tegal, Raden Ayu Kardinah, adik kandung Kartini, diarak di jalan-jalan dengan diberi pakaian goni setelah suaminya, Bupati Sunarjo, luput dari kemarahan "massa".

Mengendap pula yang lain: pembangkangan bersenjata terhadap Republik baru oleh "Darul Islam" yang berlangsung sampai lewat pertengahan 1960-an. Jawa Barat rusak berat. Kemudian, "Peristiwa Madiun". Kemudian, peristiwa "Republik Maluku Selatan". Kemudian peristiwa PRRI dan Permesta, protes dari daerah yang mengakibatkan konflik bersenjata. Kemudian....

Di sekitar 1965, berlangsunglah pembunuhan dalam skala yang jauh lebih besar dan dengan permusuhan yang jauh lebih intens. Tiap kekejaman tak bisa dibandingkan dengan kekejaman lain, sebab untuk itu semua harus diuraikan lebih dulu; tapi dalam ingatan kolektif, semuanya berhimpun—dan himpunan yang kacau itu membuat kita mudah menerima kekerasan, bahkan kekejaman, sebagai unsur yang niscaya dalam sejarah.

Kemerdekaan Indonesia diperoleh tanpa tembakan; tapi di pelbagai monumen di jalan-jalan, sosok perjuangan kemerdekaan adalah orang yang bersenjata. Tiap perayaan 17 Agustus, di gapura-gapura kampung terlukis pemuda gagah, pegang bedil atau bambu runcing, garang. Kegagahan, keberanian berkorban, kekerasan, kekejaman—semua muncul dalam pelbagai simbol dari endapan di bawah sadar.

Bahkan dengan mengemukakan sang korban, atau yang ditampilkan sebagai "korban", kekejaman menyembul dan diperpanjang umurnya. Kasus yang paling mencolok adalah pemutaran film propaganda Pengkhianatan G30S: banyak anak sekolah yang diharuskan menonton film ini harus menyaksikan adegan kebuasan yang diekstremkan—demi menghalalkan korban jadi pahlawan. 

Memasuki dunia anak-anak, "pengorbanan" (mengangkat obyek kekejaman sebagai sosok yang mulia) disamarkan jadi "pengorbanan" (kesediaan memberikan jiwa dan raga untuk hal yang luhur). Pada gilirannya kekejaman jadi bagian dari ritus yang tiap kali bisa diulangi, meskipun repetisi itu selalu muncul sebagai laku yang baru untuk dinikmati.

"Ada wilayah kesepakatan manusia yang... sepenuhnya tak terjangkau kekerasan: wilayah 'pemahaman' yang pas, yakni bahasa," kata Walter Benjamin. Saya kira ia keliru. "Pemahaman", dengan bahasa, justru mengandung kekerasan ketika manusia menegakkan konsensus dengan lambang, verbal ataupun bukan, dari himpunan ingatan yang sebenarnya kacau. Sedimentasi ingatan, horor dan kenikmatannya, hasrat dan kecemasan yang impit-mengimpit seakan-akan disetrika jadi rapi ketika diekspresikan. Kekerasan pun bertambah ketika endapan ingatan itu dipaksa untuk dikeluarkan buat diterima publik.

Kita kemudian mencoba menganggap orang lain, bukan aku, sebagai titik pertama kekejaman. Selalu orang lain—dengan itu monster dalam diriku bisa bersembunyi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar