Jumat, 02 Oktober 2015

Kepala Daerah Hasil Referendum

Kepala Daerah Hasil Referendum

Saldi Isra ;   Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Padang
                                           MEDIA INDONESIA, 30 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENJAWAB beberapa persoalan mendasar dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan dua putusan yang dapat menjadi salah satu tonggak penting dalam proses demokrasi di daerah. Kedua putusan itu sekaligus menjadi jawaban penting terhadap ancaman kemacetan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di beberapa daerah. Pertama, MK memutuskan bahwa syarat calon perseorangan dalam UU No 8/2015 tidak sejalan dengan logika warga yang memiliki hak pilih. Sebelumnya, basis penghitungan yang digunakan untuk menentukan persentase calon perseorangan ialah jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan. Menurut MK, dasar penghitungan itu tidak benar karena yang paling tepat dipakai ialah persentase dari jumlah pemilihan tetap yang ditetapkan KPUD pada pemilu terakhir.

Dengan putusan ini, bila seseorang berniat ikut pilkada melalui jalur perseorangan, jumlah absolut dukungan yang diperlukan menjadi lebih rendah. Bagaimanapun, jumlah warga pasti jauh lebih besar ketimbang warga yang memenuhi persyaratan untuk menggunakan hak pilih. Tanpa keraguan, basis penghitungan yang digunakan MK tentunya sangat tepat. Putusan ini akan jadi lebih bermakna lagi jika persentase dukungan juga dijadikan lebih kecil daripada yang tertera dalam UU No 8/2015.

Kedua, MK juga memutuskan dengan cemerlang ihwal nasib daerah-daerah yang memiliki calon tunggal, yaitu daerah yang hanya ada satu pasang calon memenuhi syarat untuk ikut pilkada. Dalam soal ini, MK memutuskan jika daerah hanya terdapat satu pasang calon setelah berbagai upaya dicalon, di lakukan agar terdapat calon lebih dari satu pasang tetapi tetap tidak bisa, pemilihan tetap dapat diteruskan dengan memberi kesempatan kepada pemilih menentukan sikap terhadap calon tunggal tersebut.

Berdasarkan putusan MK, bila pemilik hak pilih menyatakan setuju terhadap calon tunggal tersebut, si calon tetap sah sebagai calon terpilih untuk kemudian dilantik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun, jika pemilih lebih banyak tidak setuju, pemilihan ditunda ke periode berikutnya. Penyelesaian ancaman terhadap penundaan calon tunggal ini dinamakan MK sebagai model penentuan suara rakyat berupa referendum. Putusan ini benar-benar jadi terobosan terhadap kebuntuan kelanjutan pemilihan karena cuma terdapat satu pasang calon.

Dalam konteks pilkada, sekalipun dua putusan ini berada dalam nomor registrasi yang berbeda dan dibacakan dalam waktu yang berbeda pula, keduanya diajukan ke MK karena berasal sebab yang nyaris sama. Bila ditelusuri, disadari atau tidak, pembentuk UU lupa memperhitungkan bahwa pilihan politik memperbesar persentase calon perseorangan menjadi penyebab utama munculnya calon tunggal. Artinya, Putusan No 60/ PUU-XIII/2015 dan Putusan No 100/PUU-XIII/2015 ini keduanya menyelesaikan persoalan yang berada dalam garis yang berimpitan.Bedanya, penurunan syarat dukungan dengan menggunakan daftar pemilih tetap baru akan berlaku dalam pemilihan serentak 2017.Sementara itu, pola referendum berlaku langsung dalam pemilihan Desember mendatang.

Tiga catatan penting

Apabila memahami semangat dan membaca substansi Putusan No 60/PUU-XIII/2015 dan Putusan No 100/PUU-XIII/2015, setidaknya terdapat empat catatan penting terutama putusan yang menggunakan pola referendum. Pertama, pembentuk UU lalai memperhitungkan kemungkinan adanya ancaman calon tunggal. Boleh jadi, pembentuk UU sangat optimistis dengan begitu banyaknya peminat untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah selama ini.

Bila himpunan gagasan dan perdebatan yang terjadi selama pembahasan UU No 8/2014 dilacak, sekalipun tidak begitu besar, sudah muncul peringatan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya calon tunggal. Selain disebabkan manuver parpol, calon tunggal sangat mungkin terjadi di daerahdaerah dengan petahana sangat populer. Pada titik inilah, untuk sebuah UU yang sangat jelimet dan ruwet, diperlukan simulasi sebelum tahap pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah menyetujui bersama sebuah RUU.

Kedua, terbukanya pola referendum bagi calon tunggal dapat dikatakan sebagai bentuk warning MK terhadap parpol yang dengan se ngaja bermain-main dengan artinya pengajuan pasangan calon.Sebagai institusi yang diberi ruang utama untuk mengajukan pasangan calon, pilihan politik untuk mengajukannya benar-benar telah merusak arti penting parpol dalam proses pilkada. Oleh karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, warning MK ini menjadi peringatan penting untuk tidak mempermainkan posisi sentral parpol dalam pengajuan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Banyak kalangan percaya, sekiranya pola referendum ini tidak diperkenankan dan UU No 8/2014 tidak direvisi, sangat mungkin kebuntuan calon tunggal kembali akan menjadi jebakan dalam pemilihan serentak 2017. Dengan Putusan No 100/PUU-XIII/2015, calon tunggal tidak lagi menjadi ancaman pada masa depan. Bahkan bila dikombinasikan dengan Putusan No 60/PUU-XIII/2015, calon perseorangan menjadi lebih berpeluang maju pada 2017. Artinya, kedua putusan MK ini berpeluang meningkatkan kualitas pilkada mendatang.

Ketiga, dengan adanya pola referendum, calon tunggal tidak bisa berdiam diri menghadapi proses pemilihan. Bagaimanapun, selama menuju hari H pemungutan suara, calon tunggal tetap harus bekerja keras untuk meraih dukungan pemilih. Pada titik itu, jika hadirnya calon tunggal juga sengaja didesain, pemilih memiliki kesempatan untuk memberikan suaranya kepada calon tunggal. Sesuai dengan putusan MK, bila pemilih lebih banyak tidak memilih calon tunggal, penundaan tetap akan dilakukan.Mungkin penundaan ini harus dimaknai sebagai `pasangan lain' oleh calon tunggal. Artinya, pola referendum tetap mempertahankan unsur pemilihan oleh pemilih.

Terlepas dari catatan tersebut, bagi semua kalangan yang tidak ingin proses demokrasi di daerah terhambat oleh calon tunggal, putusan MK ini harus dibaca sebagai salah satu putusan penting dalam menjaga keberlanjutan proses demokratisasi di daerah. Selamat datang kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil referendum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar