Minggu, 04 Oktober 2015

Kematian yang Telah Diramalkan di Selok Awar-Awar

Kematian yang Telah Diramalkan

di Selok Awar-Awar

Mohammad Ilham ;   Wartawan Jawa Pos Surabaya
                                                      JAWA POS, 02 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEMUA orang di kota kecil Sucre, Kolombia, sudah tahu bahwa cepat atau lambat Santiago Nasar akan mati terbunuh. Di pasar, kedai-kedai, seluruh penjuru kota, semuanya sudah mendengar nubuat itu. Bahkan, wali kota, polisi, dan pendeta setempat juga tahu.

Saudara kembar Pedro dan Pablo Vicario telah mengabarkannya kepada semua orang yang ditemui. Mereka mengasah pisaunya ke penjagal daging di pasar. Mereka menunggu waktu yang tepat di sebuah kedai minuman dekat gereja sembari meletakkan pisau di meja.

Semua orang mengabaikannya. Mereka sibuk mengurusi perayaan kedatangan uskup agung ke kota itu. Uskup yang memberkati pernikahan Angela Vicario dengan saudagar muda Bayardo San Roman.

Di hari kematiannya pada suatu Senin yang dingin di Februari 1951, Santiago terbangun pukul 05.30. Dia meninggalkan rumah pukul 06.05 menuju gereja dan sejam kemudian tergeletak tanpa nyawa di depan pintu rumah. Banyak saksi melihat, Pedro dan Pablo mengikuti Santiago pulang ke rumah.

Begitu bersua dengannya, Pedro menusuk lambung korban. ”Ibu,” pekik Santiago. Pablo menyusul dengan tikaman tiga kali di punggung. Mereka membunuh karena terdorong pengakuan saudarinya, Angela. Saudarinya diusir sang suami Bayardo karena ketahuan tidak perawan di malam pernikahan. Dan Santiago yang tertuduh. Meski belum valid benar, dia tetap diburu.

Hingga kematiannya, Santiago tidak benar-benar tahu mengapa dirinya dibunuh. Itulah sekelumit kisah dari buku berjudul Cronica de Una Muerte Anunciada karya peraih Nobel Sastra Gabriel Garcia Marquez. Karya nonfiksi yang diartikan ke bahasa Indonesia sebagai Kronik Kematian yang Telah Diramalkan. Sastrawan asal Kolombia tersebut terinspirasi kisah nyata di kampungnya.
Itu adalah gambaran betapa murahnya nyawa manusia dan betapa tidak pedulinya masyarakat. Hingga kini Kolombia masih merupakan salah satu negara dengan tingkat pembunuhan yang tinggi. Dan pada Sabtu (26/9) kita mendengar sebuah kematian yang telah diramalkan lainnya di Selok AwarAwar, Lumajang.

Lebih sadis daripada pembunuhan Santiago. Dengan alasan yang lebih memilukan. Salim Kancil, tokoh antitambang pasir di Selok Awar-Awar, diculik dan dibunuh sekelompok preman protambang pasir. Selain Salim, rekannya, Tosan, pun jadi korban dan sekarang kritis di rumah sakit.

Ironis, karena tak lebih dari dua pekan sebelum kematian Salim, Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar telah melapor ke Polres Lumajang, terkait ancaman itu. Dalam pernyataan pers mereka, tidak ada tanggapan dari polisi dan nama-nama yang melakukan ancaman melenggang tanpa proses.

Sudah lama konflik antara masyarakat pro dan antitambang berlangsung. Aktivitas pertambangan pasir besi liar di pesisir selatan Lumajang itu sudah jadi rahasia umum. Namun, tidak ada tindakan tegas dari penegak hukum dan pemerintah daerah setempat. Atau mereka tahu dan melakukan pembiaran.
Pemangku hukum diam, pemangku pemerintahan abai, dan masyarakat terlalu takut melindungi diri sendiri. Tindakan preventif terlupa; tugas sebagai pengayom masyarakat terlalaikan.

Hingga kemudian, di pagi hari, sekitar pukul 06.30, Salim dan Tosan diculik dari rumahnya oleh sekelompok orang pada waktu yang hampir bersamaan. Salim direnggut dari hadapan anak-anaknya, dibawa ke balai desa, disiksa, diseret ke perkebunan yang sepi, dan dibunuh.

Bukannya tanpa saksi mata, begitu banyak orang yang melihat, tetapi semua tidak berdaya. Mereka ketakutan. Bahkan, di balai desa, para guru sampai memulangkan murid-murid TK dan PAUD karena ngeri melihat kekejian para pelaku terhadap Salim.

Warga sendiri bukan tidak tahumenahu dengan aktivitas para preman itu. Mereka biasanya petantang-petenteng menebar teror. Kalau di balai desa, sebagai simbol kekuasaan terkecil pemerintah, ada warga yang dibantai seperti itu dan tanpa tindakan aparat hukum, kita patut bertanya: ada apa dengan negeri ini?

Sepertinya, menjadi aktivis lingkungan dewasa ini begitu menakutkan. Sepanjang tahun lalu di seluruh dunia terjadi peningkatan 20 persen pembunuhan terhadap aktivis lingkungan hidup. Menurut laporan Global Witness, sebanyak 116 orang dibunuh.

Brasil dan Kolombia menjadi negara dengan korban terbesar. Sebanyak 29 aktivis lingkungan terbunuh di Brasil dan 25 orang di Kolombia. Para aktivis itu terbiasa mendapat ancaman, teror, dan berujung kematian. Umumnya akibat konflik dengan perusahaan besar hingga negara.

Di Indonesia, konflik agraria terus berulang. Konflik terjadi karena penetapan izin tambang oleh pejabat publik berdampak luas dan merugikan warga sekitar. Setidaknya selama 2014 terdapat 472 kasus konflik yang melibatkan hampir 3 juta hektare lahan sengketa. Itu berdasar data Konsorsium Pembaruan Agraria.

Masih di tahun ini, pada Februari lalu, seorang aktivis lingkungan terbunuh di Jambi. Tepatnya 27 Februari, Indra Pelani yang baru berusia 23 tahun, aktivis organisasi Serikat Petani Tebo (SPT) di Kabupaten Tebo, Jambi, menjadi korban pengeroyokan petugas sekuriti perusahaan kertas dan ditemukan tak bernyawa.
Padahal, sama seperti Salim dan Tosan, keinginan Indra adalah alam negeri kita ini terjaga. Mereka menjadi korban karena pemerintah abai dan lalai terkait kejahatan lingkungan. Lihat saja kebakaran –atau tepatnya pembakaran– hutan yang berulang setiap tahun. Dan kita tidak hidup di Kolombia tahun 1951, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar