Sabtu, 02 Maret 2013

Buku Biru Anas dan Nasib Demokrat


Buku Biru Anas dan Nasib Demokrat
Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol, Undana, Kupang;
Ketua Riset Teror (Teruna Demokrat), Alumnus Pascasarjana UGM
MEDIA INDONESIA, 01 Maret 2013

Artikel yang mirip dari penulis yang sama juga dimuat di Koran Tempo 28 Februari 2013
http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/nasib-demokrat.html


PENGUNDURAN diri Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat (PD) pascapenetapannya sebagai tersangka bukanlah tutup buku, melainkan lembaran pertama dari halaman-halaman selanjutnya. Demikian disampaikan Anas sebelum secara resmi melepas jubah kebesaran Demokratnya di hadapan para wartawan di Kantor DPP PD, Sabtu (23/2).

Tak sedikit yang berspekulasi pernyataan tersebut bagian dari insinuasi politik ala Anas terhadap Cikeas. Anas akan melucuti fakta-fakta yang selama ini mengendap rapi di bawah karpet partai di hadapan publik baik lewat proses pemeriksaan di KPK maupun persidangan di pengadilan tipikor.

Mungkin Anas sangat percaya diri karena merasa memiliki `memori institusional' terkait dengan isi dapur Demokrat, misalnya soal kasus Century ataupun kasus lain yang melibatkan personal Demokrat. Jejak kariernya sebagai komisioner KPU, Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, hingga Ketua Umum PD memungkinkan dia mengungkap berbagai tabir penyimpangan yang menyeruak di partai berlambang Mercy tersebut.

Mantan Wakil Direktur Eksekutif DPP PD Muhammad Rahmad bahkan mengatakan Anas akan siap berdiri di barisan terdepan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Perang Dimulai?

Apakah itu pertanda perang head to head Anas vs SBY telah dimulai? Atau sebaliknya, psywar Anas itu pada akhirnya cuma gertak sambal sebagaimana yang sering dilakoni para calon pesakitan umumnya? Jawabannya ada di `buku biru' tanpa sinopsis yang akan sis yang akan kita baca di hari-hari mendatang. Jika halaman demi halaman di buku Anas memang kaya kejutan, menegangkan dan menguras adrenalin pembacanya, itulah perang sesungguhnya.

Namun jika sesumbar Anas tak terbukti dan klimaks bab `buku biru' tersebut berujung sembulan fakta-fakta yang telah `diaborsi' proses kompromi, atau justru Anas sekadar mengada-ada, halaman pertama sebagaimana dia isyaratkan di podium pengunduran dirinya kemarin sesungguhnya nonsens. Dalam hal ini, KPK-lah pemenangnya karena, pertama, komisi antirasywah itu mampu membuktikan di hadapan publik sebagai lembaga yang imun intervensi kekuasaan. Perkara kontroversial bocornya sprindik karena dugaan adanya friksi di tubuh pimpinan KPK atau adanya intervensi politik dari pihak luar terkait dengan opsi penetapan Anas sebagai tersangka sejatinya sah-sah saja. Apalagi KPK merupakan lembaga yang menganut kepemimpinan kolektif-kolegial yang tak mengenal `kepala'.

Perbedaan pendapat, sepanjang berlangsung dalam suasana kebatinan: mewujudkan penegakan hukum yang adil, tentu bukanlah sebuah persoalan yang harus dibesar-besarkan. Pun ujung-ujungnya Anas toh sudah ditetapkan sebagai tersangka. Komite etik yang mengusut dan menyelidiki kebocoran sprindik tentu berguna di level ketaatan prosedur--agar dokumen-dokumen rahasia KPK di lain waktu tidak gampang jatuh ke pihak ketiga--dan rekomendasi sanksi yang akan diberikan terhadap pembocor sprindik tersebut. Yang paling penting sebenarnya KPK harus lebih otonom, imparsial, dan profesional mengungkap kasus yang menimpa Anas.

Penetapan Anas sebagai tersangka sebenarnya sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari tanpa harus mencampuradukkannya dengan kepentingan politik. Sebelum ditangkap polisi khusus Kolombia di Cartagena, Kolombia, 7 Agustus 2011, mantan Bendahara Umum PD Nazaruddin sudah pernah mengatakan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum ialah pihak yang turut menikmati aliran dana dari beberapa proyek yang dibiayai APBN, termasuk proyek di bukit Hambalang.

Nazaruddin bahkan mengatakan dirinya pada saat itu cuma operator, bukan aktor intelektual. Dia hanyalah bawahan Anas di PT Anugerah Nusantara dan di Partai Demokrat. Disebutkan pula, Anas berhasil memenangi kongres pemilihan kursi Ketua Umum PD pada Mei 2010 dari uang APBN--sekitar Rp50 miliar dari proyek Hambalang berasal dari APBN mengalir ke kantong Anas untuk dibagi-bagikan kepada 325 pengurus daerah PD. Kini tugas rakyat untuk mengawal ritme kerja KPK agar institusi superbodi itu tak mudah `masuk angin' dan tetap profesional mengungkap kasus Anas hingga ke anak tangga terakhir.

Kedua, hanya kurang lebih sebulan, KPK mampu menjerat dua petinggi parpol di barisan koalisi pemerintahan. Sebelumnya pada Rabu (30/1) malam, KPK pun menangkap Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) terkait dengan kasus impor sapi di Kementerian Pertanian. Prestasi itu bagai angin basah di tengah musim kering keberhasilan pemberantasan korupsi khususnya yang terkait dengan orang-orang penting di kekuasaan. Semangat langkah progresif tersebut harus dipelihara karena 2013 makin kentara sebagai tahun politik yang penuh intrik dan pertarungan kasar. Di situasi yang seperti ini, upaya menjaga ritme institusi KPK sebagai lembaga yang memiliki pencitraan diri positif (positive self image) di mata publik menjadi kebutuhan mendesak.

Nasib PD

Lalu apakah nasib elektabilitas PD pascapengunduran diri Anas akan membaik? Belum tentu. Apalagi Demokrat boleh dikata sudah gagal menjalankan fungsi persuasi politik sebagai partai antikorupsi yang selama ini didengung-dengungkan di hadapan publik.
Sekali ternoda, agak sulit memperoleh kepercayaan publik kembali. Yang jelas sejarah kepartaian Demokrat untuk beberapa saat ke depan hanya bertumpu pada kekuatan konsistensi diri (strong sense of purpose) seorang Susilo Bambang Yudoyono sebagai pihak yang dikultuskan. Artinya kebijakan yang ditempuh SBY terhadap PD ke depannya akan menentukan ke mana peta dan performa elektoral partai bergerak.

Yang terlihat saat ini, PD sudah kewalahan `menjual' kader-kader terbaik mereka di level kompetisi Pemilu 2014, terutama sejak skandal Wisma Atlet dan proyek Hambalang merebak dari nyanyian Nazaruddin yang saat itu mulai gencar menaiki tangga puncak pimpinan Demokrat, yakni Anas Urbaningrum.

Dalam survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) pada 12 Agustus 2012 misalnya, kita bisa melihat bagaimana bobot elektabilitas kader Demokrat masih di kisaran nol koma. Elektabilitas Anas, misalnya, hanya 0,2%; Marzuki Alie, Wakil Ketua Dewan Pembina PD, hanya 0,1%; Ibu Ani Yudhoyono sedikit lebih tinggi, yakni 1,4%. Pramono Edhie Wibowo, yang juga digadanggadang sebagai capres dari PD, memiliki tingkat dukungan 0,0%, lebih rendah daripada capres alternatif PD lainnya yakni Djoko Suyanto (Menko Polhukam) yakni 0,1%.

Tidak menjualnya kader-kader Demokrat, antara lain, disebabkan orientasi politik pragmatis para kader mereka yang pada saat itu menjadikan PD hanya sebagai perahu untuk meraih posisi dan akses ekonomi-politik. Kalau mau jujur, keberhasilan PD meraih royalti elektoral secara signifikan di Pemilu 2004 dan 2009 disebabkan pada saat itu rakyat--melalui PD--ingin `mengantarkan' SBY menjadi presiden. Namun setelah SBY tak dimungkinkan lagi secara konstitusional menjadi capres, ditambah kinerja pemerintahannya yang masih jauh dari ekspektasi publik dan masifnya praktik korup para kader di berbagai struktur penting partai, PD tentu akan semakin sulit mempertahankan posisi elektoral mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar