Kenyataan pahit harus diterima
perempuan Indonesia. Dari laporan media massa, dewasa ini semakin banyak
ibu rumah tangga di Indonesia terjangkit HIV/AIDS. Data Kementerian
Kesehatan dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia menyatakan selama
Januari-Desember 2011, data kasus AIDS menjadikan ibu rumah tangga menjadi
kelompok tertinggi dengan 622 kasus. Pada 2005, angka itu mencapai 19,5
persen dan melonjak hampir dua kali lipat pada 2011, yaitu 34 persen.
(Perempuan.com, 26/5)
Bahkan di kota-kota besar
seperti DKI Jakarta, angka perempuan pengidap HIV/AIDS terus meningkat.
Data Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta menyebutkan,
hingga triwulan II tahun 2012, tercatat sebanyak 9.883 kasus baru HIV di
kalangan perempuan. Dari data sebelumnya, jumlah kasus HIV dan AIDS di
kalangan perempuan juga terus meningkat cukup signifikan dari tahun ke
tahun. (beritajakarta.com, 13/11)
Sebagai kaum hawa, kita patut
prihatin menyaksikan kondisi ini. Pasalnya, hampir bisa dipastikan penyakit
ini berpeluang besar menurun ke anak. Tentunya hal ini akan merugikan bagi
si anak. Ia tak berdosa namun mengapa harus menanggung petakanya? Bahkan
masa depan si anak itu pun dapat dip[astikan bakal terancam. Bagi si
perempuan sendiri, kondisi tersebut memiliki konsekuensi sosial yang tidak
ringan. Ia harus menerima perlakuan diskriminatif dari masyarakat bahkan
mungkin dikucilkan.
Tiga Faktor
Perempuan lebih rentan
terjangkit penyakit HIV/AIDS dibanding laki-laki. Paling tidak, ada tiga
faktor yang memperkuat alasan tersebut. Pertama, faktor biologis. Secara
biologis perempuan lebih rentan daripada laki-laki. Hal ini terjadi karena
hubungan seks membuat alat reproduksi perempuan bisa terluka dan dengan
gampang virus HIV masuk melalui luka tersebut.
Menurut penelitian,
konsentrasi HIV dalam sperma seorang laki-laki pengidap HIV jauh lebih
tinggi dibandingkan dalam alat reproduksi perempuan. Sehingga, penularan
HIV dari laki-laki ke perempuan lebih besar dibandingkan sebaliknya.
Apalagi, perempuan juga memiliki ancaman biologis lainnya, yakni
pemerkosaan.
Kedua, faktor ekonomi.
Kemiskinan sering menyeret perempuan untuk melakukan pekerjaan berisiko
tinggi, seperti terpaksa menjadi pekerja seks komersial (PSK). Ketika
pasokan sumber daya ekonomi, yang biasanya diperoleh dari laki-laki
terputus, maka perempuan bisa nekat melakukan pekerjaan apa saja. Sehingga,
semakin banyak pula yang terpaksa melakukan transaksi seks untuk survive.
Singkatnya, perempuan tanpa akses ekonomi yang cukup, kehidupannya akan
kian memburuk.
Ketiga, faktor sosial budaya.
Perempuan tidak mendapat akses pengetahuan yang cukup. Masih banyak kita
jumpai bahwa banyak di antara perempuan tidak mendapat pendidikan yang
layak. Sebagian masyarakat pun masih menganggap bahwa perempuan harus
menurut kehendak laki-laki (sang suami). Sehingga, tak perlu memperoleh pendidikan
dengan baik. Hal ini yang menyebabkan perempuan mudah terkena tipu daya. Ia
hanya manut tanpa bertanya apakah suaminya mengidap penyakit HIV/AIDS atau
tidak.
Waspada
Sebagai kaum yang sering
menjadi pihak korban dari penyakit HIV/AIDS, perempuan sangat perlu
memberdayakan dirinya agar bisa terhindar dari infeksi HIV/AIDS. Untuk itu,
perempuan perlu meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap bahaya yang
ditimbulkan oleh HIV/AIDS. Salah satunya adalah dengan cara meningkatkan
pengetahuan mengenai berbagai hal terkait HIV/AIDS.
Perempuan diharapkan paham
betul dengan penyakit HIV/AIDS mulai dari penyebab penularan, bagaimana
mencegahnya, sampai hal apa yang harus dilakukan saat terdeteksi terinfeksi
virus ini. Hal ini perlu dilakukan semata agar dapat mengurangi atau
meminimalkan laju pertumbuhan jumlah penderita HIV/AIDS.
Hal lain yang perlu
diperhatikan perempuan adalah dengan meningkatkan kewaspadaan mereka. Salah
satu bentuk kewaspadaan yang dapat dilakukan perempuan adalah dengan
meningkatkan kemauan dan kemampuan mereka untuk saling terbuka dengan
pasangan resmi mereka. Tujuannya agar dapat mendeteksi secara dini bila
terdapat penyakit-penyakit tertentu termasuk HIV/AIDS pada salah satu
pasangan.
Selain itu, hal yang pasti
agar terhindar dari risiko terjangkit virus HIV-AIDS adalah selalu setia
kepada pasangan resmi, bersikap saling menghargai, terbuka membicarakan
semua masalah dengan cara lebih bijak, dan selalu mendekatkan diri pada
Allah SWT.
Pemerintah juga perlu berperan
aktif mengantisipasi semakin maraknya peredaran HIV/AIDS. Khususnya bagi
perempuan. Peran pemerintah dapat dilakukan melalui penyuluhan bekerja sama
dengan lembaga-lembaga keperempuanan setingkat desa. Tujuannya adalah untuk
proses penyadaran bahwa penyakit HIV/AIDS adalah penyakit mematikan dan
dapat menular kapan pun dan ke siapa pun.
Bagaimanapun juga mencegah
lebih baik daripada mengobati. Perempuan adalah tombak estafet lahirnya
generasi bangsa. Melalui tangan dingin kita, lahir generasi-generasi
tangguh. Namun, bila kita sudah terjangkit HIV/AIDS bagaimana dengan nasib
generasi selanjutnya? Terlalu banyak yang harus dikorbankan akibat
HIV/AIDS. Waspadalah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar