Sidang
Isbat, Relasi Agama dan Sains Susiknan Azhari ; Guru Besar UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta |
KOMPAS, 10 Mei 2021
Kementerian Agama akan
menyelenggarakan sidang isbat pada Selasa, 11 Mei 2021. Lewat sidang isbat
tersebut, Kementerian Agama akan menetapkan kapan jatuhnya Idul Fitri 1442
Hijriah. Selama ini yang menjadi
acuan sidang isbat adalah rekapitulasi hasil hisab yang berkembang di
Indonesia dan laporan rukyat dari Sabang sampai Merauke. Metode ini dianggap
sebagai ”jalan tengah” untuk mengayomi pandangan keberagamaan yang berkembang
di negeri ini antara pendukung hisab dan rukyat. Persoalan hisab dan rukyat
merupakan isu yang selalu menarik dan aktual, khususnya ketika menentukan
awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Hubungan di antara keduanya tak ubahnya
seperti relasi agama dan sains mengalami pasang surut. Meminjam teori Ian
Barbour dalam bukunya yang berjudul When Science meet Religion: Enemies,
Strangers, or Partners (2000) membedakan empat pola hubungan sains dan agama,
yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi. Dalam sejarah kesadaran
umat Islam Indonesia, hubungan hisab dan rukyat pun pernah mengalami
ketegangan dan menuju ke arah perpaduan. Setelah metodologi berubah
menjadi ideologi, perbedaan-perbedaan dan konflik mulai terjadi. Dalam
konteks ini Hamka menyatakan: ”Perselisihan dan sentimen antara pendukung
hisab dan rukyat berjalan lama dan menimbulkan pertikaian. Suatu ketika hilal
dilaporkan berhasil dilihat di Belawan dan dilaporkan ke Qadli Kerajaan Deli,
lalu dicari dalil agar menolak kesaksian tersebut. Sebab, kalau diakui, maka
Lebaran akan sama dengan pengguna hisab”. Untuk menghindari konflik
yang berkepanjangan antara hisab dan rukyat adalah memisahkan dua bidang itu
dalam dua kawasan yang berbeda, khususnya dalam penetapan awal Ramadhan,
Syawal, dan Zulhijah. Untuk menghindari konflik
yang berkepanjangan antara hisab dan rukyat adalah memisahkan dua bidang itu
dalam dua kawasan yang berbeda, khususnya dalam penetapan awal Ramadhan,
Syawal, dan Zulhijah. Dalam konteks ini, para pendukung hisab dan rukyat
mengajak agar hubungan hisab dan rukyat lebih bersifat independen serta
berjalan sesuai keyakinan masing-masing, kemudian muncul istilah lakum ru’yatukum
wa liya hisabiy, bagimu rukyat-mu dan bagiku hisab-ku. Hadirnya Badan Hisab dan
Rukyat merupakan salah satu upaya untuk mempertemukan kalangan hisab dan
rukyat. Langkah ini ditempuh pemerintah dengan membentuk tim perumus yang
terdiri dari lima orang, yaitu A Wasit Aulawi, H Zaini Ahmad Noeh, H
Saadoe’ddin Djambek, Susanto, dan Santoso Nitisastro. Usaha ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Musyawarah Badan Hisab dan Rukyat serta disepakati
untuk dilakukan pertemuan-pertemuan rutin agar dialog bisa ditumbuhkan dengan
prinsip keadilan, kesejajaran, saling mengakui eksistensi masing-masing, dan
berkesinambungan. Dalam perkembangannya,
masyarakat menyadari bahwa perlu ada titik temu di antara keduanya melalui
integrasi hisab dan rukyat dengan menghadirkan sistem kalender yang mapan dan
bisa diterima semua pihak dengan lapang dada. Kini, pemerintah melalui
Kementerian Agama membentuk Tim Unifikasi Kalender Hijriah yang salah satu
tugasnya menyusun naskah akademik. Upaya ini sangat positif dan perlu
diapresiasi. Kementerian Agama diharapkan menjadi vasilitator yang mengayomi
secara profesional. Semua anak bangsa bisa terlibat dan memberikan masukan
agar proses penyatuan dapat segera diwujudkan. Selanjutnya, dalam kasus
penentuan awal Syawal 1442 H nanti berdasarkan data hisab dari berbagai
aliran menunjukkan bahwa pada 29 Ramadhan 1442 H bertepatan Selasa, 11 Mei
2021, posisi hilal di bawah ufuk (negatif) dan belum terjadi ijtimak
(konjungsi). Secara teoretik, data ini menunjukkan hilal tidak mungkin
teramati. Lalu, masih relevankah sidang isbat menunggu hasil rukyat? Kasus semacam ini bukanlah
yang pertama. Pengalaman membuktikan jika posisi hilal memenuhi syarat
visibilitas hilal MABIMS, maka ada laporan keberhasilan melihat hilal meski
autentisitasnya masih dipertanyakan. Begitu juga jika posisi hilal di bawah
ufuk, maka tidak ada laporan keberhasilan melihat hilal. Menghadapi kasus semacam
ini tentu saja Menteri Agama mengalami kesulitan. Jika sidang isbat tetap
menunggu hasil observasi, akan mendapat kritik dari saintis seakan-akan
Menteri Agama tidak memahami dan hanya memperhatikan salah satu kelompok.
Sementara jika sidang isbat dilakukan tanpa menunggu hasil observasi kelompok
pendukung rukyat akan merasa ditinggalkan. Padahal, jika ada laporan
keberhasilan melihat hilal akan ditolak karena hilal masih di bawah ufuk dan
belum terjadi ijtimak. Dalam posisi dilematis ini
kearifan dan kemaslahatan perlu dipertimbangkan, khususnya para pengguna
rukyat untuk membuka ruang sekaligus sebagai langkah awal menuju penyatuan.
Beberapa hari yang lalu salah satu media di Timur Tengah melaporkan bahwa
Arab Saudi dalam menentukan awal Syawal 1442 menggunakan istikmal karena
secara astronomis hilal masih di bawah ufuk. Jika berita ini benar, telah
terjadi perubahan paradigma di kalangan para elite agamawan yang selama ini
bersikukuh dan menunggu hasil observasi dalam menentukan awal Syawal. Sebetulnya langkah-langkah
yang dilakukan oleh Kementerian Agama dalam menyelesaikan problem hisab
rukyat sudah tepat dan tidak bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar
1945. Namun, perkembangan zaman menuntut adanya perubahan mekanisme yang
terukur dan terencana dalam penetapan awal Syawal 1442 H serta tahun-tahun
yang akan datang agar negara tidak ”terbebani”, khususnya Menteri Agama. Dalam konteks ini sifat kenegarawanan para
elite ormas sangat diperlukan, terutama para pendukung rukyat untuk
memberikan keleluasaan kepada Menteri Agama menetapkan awal Syawal 1442
merujuk pada pengalaman dan masukan para saintis dengan memperhatikan aspek
syar’i dan sains. Ibadah puasa dan Idul Fitri tidak semata-mata persoalan
ritual, tetapi melibatkan persoalan penyediaan pangan, transportasi, dan
sebagainya. Dengan demikian, diperlukan manajemen sistem waktu agar semua
komponen anak bangsa terayomi dan kebersamaan tetap terjaga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar