Renungan
Idul Fitri: Jalan Pencerahan Diri Haedar Nashir ; Ketua Umum PP
Muhammadiyah |
KOMPAS, 12 Mei 2021
Problem terbesar manusia
terletak pada dirinya. ”Manusia adalah spesies hidup pertama di biosfer ini
yang telah menggenggam kekuasaan untuk menghancurkan semesta dan akibatnya
memusnahkan dirinya,” tulis Arnold Toynbee. Manusia adalah aktor
pembangun kesuksesan, kedamaian, dan kemajuan peradaban. Sebaliknya, perang,
kekacauan, dan kejatuhan manusia bermula dari ulah dirinya. Bencana alam dan
kerusakan lingkungan tidak sedikit bertemali dengan tangan-tangan kotor
manusia. Manusia sering mudah
saling menyalahkan ketika ada masalah besar dan tragedi dalam kehidupannya.
Sikap apologia itu wujud primitif manusia mengikuti hukum Darwinian, struggle
for life. Watak homo homini lupus dalam logika politik Hobbes juga bermula
dari ambisi manusia yang saling rakus tak berkesudahan. Namun, fitrah manusia
sejatinya baik (bertuhan), hatta bagi mereka yang angkuh diri menjadi agnotis
dan ateis. Meski sifat hewani itu bersemi dalam hawa nafsunya, jiwa bertuhan
(fithrah) dalam dirinya menjadi sumber kekuatan akal-murni dan hati-suci yang
membimbing manusia memahami kebenaran, kebaikan, dan pengetahuan dalam
hidupnya. Kekuatan fitrah akal budi
dan hati nurani suci itulah yang menjadikan manusia fi-ahsan at-taqwim,
sebaik-baik makhluk ciptaan Tuhan. Hal yang niscaya dilakukan insan beriman
ialah mengapitalisasi anugerah Ilahi itu, antara lain melalui puasa Ramadhan,
agar fitrah suci itu bertumbuh subur dan bermakna bagi kehidupan, serta
terbebas dari segala pandemi. Jiwa
fitrah Idul Fitri adalah ”hari
raya berbuka puasa”. Puasa itu ibadah istimewa yang mengandung proses
sublimasi diri (riyadhah ruhiyah) bagi setiap Muslim yang menunaikannya untuk
meraih kualitas terbaik takwa (QS Al-Baqarah: 183). Takwa merupakan puncak
kerohanian tertinggi insan beriman yang jiwa fitrahnya lurus bertauhid kepada
Allah seraya membuahkan kesalehan hidup bagi diri dan lingkungannya yang
memancarkan rahmat bagi alam semesta. Manusia secara sunatullah
memiliki dua potensi dalam dirinya, yaitu jiwa al-taqwa yang cenderung pada
kebaikan dan jiwa al-fuzara yang cenderung pada keburukan (QS Asy-Syams:
7-8). Jiwa takwa adalah jiwa
hanif nan suci, lurus, bersih, dan otentik yang selalu membawa pada kebaikan,
kedamaian, ketertiban, kebersamaan, kasih sayang, kemajuan, dan segala
keutamaan dalam kehidupan. Sebaliknya, jiwa fuzara
adalah jiwa anarkistis yang cenderung menggiring manusia pada dosa,
keburukan, permusuhan, kegaduhan, dan kehinaan. Insan bertakwa adalah
manusia utuh yang kehidupannya digerakkan oleh jiwa suci agar hidup di jalan
benar dan tidak tergelincir salah. Ketika dia salah lekas bertobat dan bukan
menutupi kesalahan dengan kesalahan lain. Prahara kehidupan dimulai
dari kebiasaan mengakumulasi kesalahan itu sehingga termakan ”rezim syaitan”.
Sungguh beruntung mereka yang menyucikan jiwa bersih itu dan merugi mereka
yang mengotorinya (QS Asy-Syams: 9-10). Imam Al-Ghazali membagi
hakikat manusia pada dua unsur, yaitu ragad fisik (al-jism) dan jiwa
(al-nafs). Jiwa manusia sendiri terdiri dari tiga unsur, yaitu sifat tumbuhan
yang serba alami (al-nafs al-nabatiyah), bersifat hewani yang mengandalkan
insting (al-nafs al-hayawaniyat), serta akal budi yang dikendalikan rasio dan
hati (al-nafs al-nathiq). Watak alami manusia suka
pada hal-hal yang ragawi, indrawi, dan duniawi. Sebaliknya, berat hati atau
harus mendaki dalam memasuki dunia rohani yang metafisik, luhur, dan utama
selaku insan berkeadaban utama. Insan beriman penting
memahami kondisi jiwanya (ma’rifat an-nafs) agar mampu membimbing dan
mengarahkannya ke martabat tertinggi. Dengan puasa, jiwa suci itu disuburkan
dan diaktualisasikan menjadi manifes, seraya divaksinasi segala virus nafsu
fuzara yang bersarang dalam diri. Itulah jalan hakikat dan
makrifat puasa yang melampaui hukum syariat verbal dalam ritual menahan
makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis yang sah. Agar manusia tak menjadi
robot cerdas model buatan pabrik. Tidak menjadi insan modular hasil
pendidikan pragmatisme liberal. Apalagi menjadi makhluk rubah yang ganas ala
Machiavelli. Puasa yang sukses, menurut
Al-Ghazali, ialah yang spesial (khawas al-khusus), yakni mampu menaklukkan kecenderung
ragad fisik serta jiwa primitif ala tumbuhan dan hewan menuju jiwa fitrah
yang menghidupkan akal budinya selaku insan berkeadaban mulia. Inilah fase kehidupan
manusia yang bergerak dari alam syariat yang serba lahiriah menuju puncak
hakikat dan makrifat yang bersifat rohani multidimensi dan melintas batas
dalam kehidupan kaum beriman yang dirinya tercerahkan sekaligus mencerahkan
peradaban hidup semesta. Transformasi
diri Penyakit kronis manusia
ialah keangkuhan. Manusia angkuh diri karena merasa paling berkuasa (QS
Al-’Alaq: 6-7). Kekuasaan takhta dan harta sering membuat manusia merasa
super dan bebal diri, lupa daratan, dan lautan. Lahirlah chaos dalam wujud
kesewenang-wenangan, penyimpangan, konspirasi, korupsi, kejahatan, kekerasan,
permusuhan, teror, dan segala bentuk perusakan di muka bumi atau fasad
fil-ardl. Menurut sabda Nabi, keangkuhan sering membuat manusia menolak
kebenaran dan merendahkan martabat sesama. Insan beriman yang sukses
berpuasa dan beridul fitri niscaya menjadi sosok rendah hati dan menebar
segala kebajikan yang merahmati semesta (QS Ar-Ra’du: 107). Kaum beriman—meminjam
pandangan Berger (1967)—mesti menjadikan agamanya berfungsi sebagai the
sacred canopy (teras pelindung suci) atau nomos (menciptakan keteraturan hidup)
yang membuat manusia terbebas dari chaos atau anomi yang serba kacau dan
sarat penyimpangan. Ketika segala bentuk chaos masih berada di sekitar kaum
beriman dan beragama, ajaran Tuhan itu belum teraktualisasi secara manifes. Kaum Muslim pasca-Ramadhan
dan Idul Fitri penting mengonfirmasi ke dunia nyata, apakah berbagai ritual
ibadah Islam saat ini telah benar-benar difungsikan sebagai kekuatan
integratif yang membangun nomos dalam kehidupan individu, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Sebaliknya, keberagamaan
tidak dijadikan alat sakral menebar kebencian, permusuhan, intoleransi,
perpecahan, kekerasan, dan kegaduhan yang berbuah chaos dalam kehidupan.
Berpolitik sarat hawa nafsu diri dan dinasti atas nama nilai Ilahi.
Lebih-lebih ketika dunia saat ini dilanda disrupsi, yang melahirkan
dehumanisasi di hampir segala aspek kehidupan. Pada ranah metafisik,
keberimanan setiap Muslim dihadapkan pada tantangan kehidupan yang, menurut
Herman Kahn, dikendalikan oleh ”budaya indrawi” yang mendewakan materi,
kesenangan sesaat, dan menghalalkan segala cara. Kebudayaan indrawi itu
mereduksi manusia sebagai Homo sapiens (hayawan al-nathiq) yang berakhlak
mulia, cerdas berilmu, dan menjadi aktor utama pembangun peradaban. Pada
situasi krusial inilah diperlukan proses pencerahan kembali akal budi manusia
yang jiwanya terhubung kepada Dzat Ilahi sekaligus menciptakan relasi
kemanusiaan dan kesemestaan yang berproses humanisasi, liberasi, dan
transendensi nan otentik. Pemikiran jernih sejarawan
kontemporer Yuval Noah Harari penting ketika menulis Sapiens (2011) dan Homo
Deus (2016). Harari memperingatkan adanya fenomena ”Tamatnya Homo sapiens”.
Pada abad ini, manusia genus Sapiens telah melewati ambang batas kemampuan
seleksi alam. Proses itu digantikan
dengan desain cerdas yang dihasilkan oleh revolusi sains-teknologi, yang
menghasilkan Homo Deus alias manusia tingkat dewa yang mengandalkan
kecerdasan buatan (AI) dan rekayasa genetik. Namun, sungguh ironi, kehidupan
manusia semakin absurd ketika dirinya tetap tidak tahu ”Kita menginginkan
apa?”. Harari lebih ekstrem
menulis, ketika Homo sapiens itu menjelma sebagai ”Hewan yang menjadi Tuhan”,
terjadi peningkatan besar-besaran dalam hal kekuasaan dirinya yang mampu
mengurangi kelaparan, wabah, dan perang. Namun, ironi, manusia
tidak pernah puas dan tidak tahu yang diinginkannya. Kekuasaan tidak tahu
untuk tujuan apa. Sejarawan dari Universitas Ibrani Jerusalem itu bertanya
sarat gugatan, ”Apakah ada yang lebih berbahaya daripada dewa-dewi yang tidak
puas, tidak bertanggung jawab, dan tidak mengetahui apa yang diinginkan?” Pada titik ini sebenarnya
Idul Fitri dengan rangkaian puasa dan ibadah Ramadhan bagi setiap Muslim
dapat dijadikan jalan pencerahan diri yang menghidupkan kembali fitrah insani
dalam menjalani kehidupan otentik untuk meraih kebahagiaan hidup hakiki di
dunia dan akhirat. Siapa tahu ada salah
kaprah dan salah arah dari jalan hidup yang dipilih selama ini. Inilah
momentum menghidupkan jangkar metafisika keimanan setiap Muslim di tengah
gelombang perubahan yang sarat disruptif saat ini. Suatu jalan transformasi diri untuk
menemukan kembali hakikat kehidupan yang benar dan lurus berbasis nilai
Ilahi. Membebaskan diri dari segala chaos menuju nomos. Hidup penuh arti
menebar rahmat di muka bumi! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar