Sabtu, 15 Mei 2021

 

Menjernihkan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

Munafrizal Manan ;  Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI, Alumnus International Human Rights Law and Criminal Justice, Universiteit Utrecht

KOMPAS, 15 Mei 2021

 

 

                                                           

Profesor Asvi Warman Adam mengalkulasi sisa waktu sekitar tiga tahun pemerintahan Jokowi tak cukup untuk menuntaskan kasus-kasus HAM berat masa lalu, baik melalui pendekatan yudisial maupun nonyudisial berbasiskan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi baru.

 

Pernyataan tersebut diungkapkan dalam artikel ”Mendesak, Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu” di Kompas (16/4/2021).

 

Ia berpendapat rencana pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui Mekanisme Nonyudisial (UKP-PPHB) dapat dianggap sebagai pengganti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut Prof Asvi, UKP-PPHB dapat memeriksa kasus pelanggaran HAM berat, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat, menyebutkan instansi yang bertanggung jawab, dan kemudian memberikan kompensasi pada keluarga korban.

 

Peran krusial Komnas HAM

 

Saya sepakat penyelesaian kasus HAM berat mendesak untuk diselesaikan. Namun, ada hal yang perlu dijernihkan. Tak sekali pun artikel itu menyebut lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM). Apakah Komnas HAM dianggap tak penting atau tak ada relevansi dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu?

 

Hanya Komnas HAM yang diberi mandat oleh undang-undang (UU) untuk menyatakan suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat. Pasal 18 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM expressis verbis mengatur bahwa ”Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”.

 

Tak ada lembaga lain diberi mandat oleh UU untuk menyelidiki (memeriksa) dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat. Tidak oleh aparat penegak hukum Kepolisian RI, tidak juga Kejaksaan Agung RI, apalagi UKP-PPHB.

 

Maka, Komnas HAM berperan krusial dalam kasus pelanggaran HAM berat. Suatu peristiwa tak dapat dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat tanpa didahului penyelidikan Komnas HAM berdasarkan mandat UU No 26 Tahun 2000. Komnas HAM berada di garis depan proses pro justitia pelanggaran HAM berat. Dalam konteks ini, Komnas HAM secara limitatif adalah bagian dari sistem peradilan pidana terpadu.

 

Sejauh ini ada 15 peristiwa yang telah diselidiki dan dinyatakan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat. Dua kasus (Timor Timur dan Tanjung Priok) diproses di Pengadilan HAM ad hoc, dan satu kasus (Abepura) diproses di Pengadilan HAM. Meskipun ada yang menilai proses dan hasilnya mengecewakan, mekanisme yudisial ketiga kasus itu secara hukum sudah selesai dan ditutup.

 

Sementara 12 kasus lain hingga kini masih belum jelas kepastian tindak lanjut penyelesaiannya oleh Jaksa Agung.

 

Artinya, peristiwa lain di luar 12 kasus itu belum dapat dinyatakan pelanggaran HAM yang berat karena belum ada hasil penyelidikan pro justitia Komnas HAM. Tegasnya, UKP-PPHB tak memiliki mandat UU untuk menyatakan suatu peristiwa telah terjadi pelanggaran HAM berat. UKP-PPHB tidak pula memiliki mandat UU untuk menyatakan 12 kasus itu bukan pelanggaran HAM berat.

 

Wewenang ini hanya dimiliki Jaksa Agung dan Pengadilan HAM ad hoc/Pengadilan HAM. Karena posisinya sebagai penyelidik pro justitia, Komnas HAM seyogianya tidak dalam kapasitas setuju ataupun tidak setuju dengan penyelesaian nonyudisial. Jika kasus diselesaikan secara nonyudisial, lantas untuk apa Komnas HAM dahulu melakukan penyelidikan pro justitia?

 

Penyelesaian nonyudisial

 

Mengapa tidak dari sedari awal diambil langkah penyelesaian nonyudisial? Sungguh tidak logis dan tidak legal apabila Komnas HAM menganulir hasil penyelidikan pro justitia sendiri. Apalagi UU No 26 Tahun 2000 memang tidak mengatur hal itu.

 

Namun, penyelesaian melalui jalan nonyudisial tetap terbuka ditempuh. Pasal 47 UU No 26 Tahun 2000 mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU a quo tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya oleh KKR. Syaratnya adalah basis legalitasnya harus dalam bentuk UU. Begitulah skema penyelesaian nonyudisial menurut UU No 26 Tahun 2000 yang sekarang masih berlaku.

 

Itulah sebabnya, dahulu dibentuk UU KKR kendati kemudian dibatalkan keseluruhan UU a quo oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/ PUU-IV/2006. Langkah pertama menuju penyelesaian nonyudisial kasus pelanggaran HAM berat masa lalu adalah dengan pembentukan UU KKR.

 

Apabila ingin rute lebih cepat, Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Jika UKP-PPHB hendak dikonstruksi sebagai penjelmaan KKR, payung hukumnya harus dalam bentuk UU/perppu agar eksistensi dan hasil kerjanya memiliki legalitas kuat.

 

Lagi pula, pertimbangan putusan MK a quo menempatkan ”kebijakan hukum (UU) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku universal” sebagai opsi pertama. Sekiranya UU/perppu KKR nanti terbentuk, bukan berarti penyelesaian nonyudisial dapat mengabaikan hasil penyelidikan Komnas HAM.

 

Hasil penyelidikan itu berstatus dokumen hukum pro justitia dan akan tetap begitu sampai ada kesimpulan hukum akhir oleh Jaksa Agung, yaitu melanjutkan ke tahap penyidikan atau mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

 

Kesimpulan hukum akhir mana pun yang diambil Jaksa Agung (penyidikan atau SP3) harus dihormati karena merupakan wewenangnya. Yang penting adalah tidak mengambangkan terus-menerus hasil penyelidikan Komnas HAM tanpa kesimpulan hukum bersifat final.

 

Apa pun penilaian yang disematkan terhadap hasil penyelidikan pro justitia Komnas HAM, sepanjang UU No 26 Tahun 2000 tetap merupakan hukum positif (ius constitutum), hasil penyelidikan itu tidak kedaluwarsa. Penyelesaian nonyudisial yang menegasikan hasil penyelidikan Komnas HAM adalah jalan meloncat yang tergesa-gesa dan ceroboh. Alih-alih tercapai penyelesaian final, justru berpotensi terjadi kompleksitas permasalahan baru.

 

Baik melalui mekanisme yudisial maupun nonyudisial, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus bertitik tolak dari kesimpulan hukum akhir atas hasil penyelidikan Komnas HAM.

 

Untuk menuju penyelesaian yang komprehensif, sistematis, dan tuntas, lembaga-lembaga negara pemangku kepentingan perlu segera menyusun dan menyepakati peta jalan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Peta jalan inilah sebagai pedoman tertulis bersama yang bersifat mengikat dan eksekutorial untuk mengakhiri beban sejarah bangsa yang berlarut-larut. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar