Paradoks
Bahasa Kekuasaan S Prasetyo Utomo ; Sastrawan; Doktor
Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes |
KOMPAS, 14 Mei 2021
Bahasa kekuasaan, apalagi
yang disampaikan presiden, tentu bermuatan ideologi. Hegemoni kekuasaan dalam
genggaman dan saat seorang presiden yang berdialog dengan rakyatnya untuk
meredakan hasrat agar tidak melakukan mudik tentu telah menyusun pilihan kata
yang komunikatif agar tak menimbulkan salah tafsir. Sayangnya, Presiden Jokowi
melancarkan komunikasi bahasa ketika mencegah mudik Lebaran agar masyarakat
yang rindu kampung halaman bisa pesan secara daring, menyampaikan nama
kuliner lokal suku Dayak ”bipang Ambawang”. Presiden menciptakan situasi yang
paradoksal saat menyampaikan pesan
yang membangkitkan salah tafsir sebagian masyarakat. Paradoks bahasa kekuasaan
yang disampaikan Presiden Jokowi telah mendorong Menteri Perdagangan Muhamad
Lutfi meminta maaf karena dianggap janggal mempromosikan makanan non-halal
pada perayaan Lebaran. ”Yang rindu makan gudeg Yogya, bandeng Semarang,
siomay Bandung, empek-empek Palembang, bipang Ambawang Kalimantan, tinggal
pesan dan makanan kesukaan akan diantar sampai di rumah”. Begitu Presiden
Jokowi menyampaikan promosi dan sugesti agar masyarakat tak melakukan mudik
Lebaran. Bahasan kekuasaan yang
disampaikan Presiden Jowoki dapat dianalisis dengan teori Fairclough. Titik
perhatian Fairclough adalah melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai
ideologi tertentu. Bahasa secara sosial adalah bentuk tindakan dalam hubungan
dialektik dengan struktur sosial. Fairclough membagi analisis wacana dalam
tiga dimensi, yaitu teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Pertama, analisis teks
terhadap bahasa kekuasaan Presiden Jokowi tak bisa dibebaskan dari kosakata,
semantik, dan tata kalimat. Presiden Jokowi tengah menyampaikan pesan tentang
kuliner khas Yogyakarta, Semarang, Bandung, Palembang, dan Kalimantan Barat.
Gudeg, bandeng, siomay, pempek, dan babi panggang adalah nama-nama makanan
khas daerah, yang tentu saja bisa dideretkan lebih panjang lagi. Kalau ditinjau kalimat Presiden Jokowi yang
didahului dengan ”sebentar lagi Lebaran”, tentu pesan yang disampaikannya
dalam bingkai hari raya umat Islam, yang juga dinikmati umat agama lain.
Karena itu, pesan yang disampaikan Presiden tentang sugesti untuk memesan
kuliner ”babi panggang”, tidak
ditujukan pada umat Islam. Presiden sangat sadar bahwa Lebaran bukan
semata-mata dirayakan umat Islam, melainkan juga dirayakan umat agama lain
secara nasional. Kedua, analisis discouse
practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan
konsumsi teks. Bahasa kekuasaan yang disampaikan seorang presiden dari sebuah
negara besar yang beraneka ragam suku dan agama yang melatarbelakanginya
tentulah memiliki moral, nilai, dan tatanan yang disampaikan kepada seluruh
umat beragama yang menjadi bagian kekuasaannya. Ia tak ingin mengutamakan
umat beragama tertentu dan mengabaikan umat agama lain. Ditafsir Paradoks bahasa kekuasaan itu
berkembang ketika ditafsir masyarakat. Tentu masyarakat dipilah menjadi tiga
golongan menurut kepentingan mereka menghadapi hegemoni kekuasaan dan bahasa
yang disampaikan Presiden. Pertama, lapis masyarakat yang mengikuti imbauan
Presiden untuk tidak mudik didorong kesadaran moral, nilai, dan tatanan
tertentu. Kedua, lapis masyarakat yang terpaksa mengikuti imbauan Presiden
untuk tidak mudik dalam ambiguitas kesadaran moral, nilai, dan tatanan
tertentu. Ketiga, lapis masyarakat yang berkonfrontasi dengan imbauan
Presiden untuk tidak melakukan mudik menolak kesadaran moral, nilai, dan
tatanan tertentu. Nah, berdasarkan analisis
model Firclaugh inilah saya sampai pada suatu pandangan bahwa sebenarnya
tafsir yang keliru terhadap pesan Presiden bermula pada lapis masyarakat yang
mengalami ambiguitas dan konfrontasi kesadaran moral, nilai, dan tatanan yang
ditentukan pemerintah untuk tidak mudik Lebaran. Ketiga, analisis
sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar
teks dan konteks. Saya sebut pesan Presiden sebagai paradoks bahasa kekuasaan
karena seolah-olah berkonfrontasi antara melarang masyarakat mudik Lebaran,
sementara para pedagang di setiap sudut wilayah tetap menikmati hikmah
Lebaran. Praktik sosial paradoks bahasa kekuasaan Presiden itu tentu
diarahkan demi keselamatan masyarakat dari wabah yang tak terkendali. Tak ada yang salah dalam
paradoks bahasa kekuasaan Presiden mengenai kuliner ”bipang Ambawang”.
Persoalan yang mendasar terjadi pada saat lapis masyarakat yang
berkonfrontasi dengan imbauan Presiden untuk tidak mudik menolak kesadaran
moral, nilai, dan tatanan tertentu yang melakukan salah tafsir. Lapis
masyarakat inilah yang memaknai pesan Presiden untuk kuliner ”babi panggang”
tak pantas disampaikan pada bulan Ramadhan menjelang Lebaran. Akan tetapi, analisis
model Fairclough menunjukkan bahwa Presiden sama sekali terbebas dari
kesalahan saat melakukan produksi pesan, pilihan kata, dan menyusun kalimat.
Saat sebagian masyarakat melakukan penafsiran terhadap bahasa kekuasaan
Presiden itulah, sudut pandang pribadi menjadi sangat memberi warna
tanggapan-tanggapan. Justru sekarang berkah pesan Presiden itu dirasakan
keuntungannya yang berlipat ganda oleh pedagang bipang Ambawang. Paradoks
bahasa kekuasaan Presiden sesungguhnya sepadan dengan gagasan John
& Wareing untuk membuat keputusan, mengontrol sumber penghasilan,
mengontrol perilaku orang lain, dan mengontrol nilai-nilai yang dipercaya
orang lain. Bahasa kekuasaan itu sesungguhnya bisa diterima akal sehat dan
menjadi kesadaran masyarakat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar