Threshold
Pilpres dan Efektivitas Pemerintahan
Kacung Marijan ;
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga; Wakil Rektor Unusa
|
JAWA POS, 18 Januari
2017
PEMILU
serentak digelar bukan hanya untuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Pemilu serentak
juga akan dilaksanakan pada pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden
(pilpres) mulai 2019. Tujuannya antara lain adalah memangkas biaya demokrasi
dan mengurangi peristiwa ketegangan akibat persaingan antarcalon dan antar
pendukung.
Meskipun
demikian, pelaksanaan pemilu serentak antara pilkada dan pemilu gabungan
pileg serta pilpres ternyata memiliki implikasi yang berbeda terkait dengan
regulasi dan substansinya. Hal itu tidak lepas dari masalah ambang batas
(threshold) yang dipakai di pilpres sejak 2004.
Manakala
pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak pada 2019, masih relevankah
threshold itu? Bagaimanakah implikasi dari ada atau tidaknya threshold
terhadap jalannya pemerintahan yang tidak lepas dari hubungan antara lembaga
parlemen dan lembaga kepresidenan?
Threshold
dipakai sebagai patokan bagi partai yang akan menduduki kursi di parlemen.
Besarannya bisa bermacam-macam. Bergantung pada kesepakatan dan keputusan
politik. Ada yang 2 persen dan bahkan ada yang 10 persen. Tetapi, threshold
untuk pilpres tidak jamak dianut banyak negara yang menganut sistem
presidensial. Indonesia tidak termasuk negara yang tidak jamak itu karena
pada tiga kali pilpres terakhir menganut threshold.
Argumentasi
yang sering muncul mengapa threshold itu diadakan dalam pilpres adalah agar
presiden terpilih nanti memiliki basis dukungan di parlemen. Hanya partai
yang memiliki suara tertentu di dalam pileg dan jumlah kursi tertentu di
parlemen yang dapat mengajukan calon presiden/wakil presiden.
Basis
dukungan itu dibutuhkan karena tidak sedikit kebijakan strategis yang dibuat
presiden yang membutuhkan dukungan parlemen. Misalnya dalam pembuatan
undang-undang (UU) dan sejumlah kebijakan strategis lainnya. Dalam hal
presiden tidak punya basis dukungan kuat di parlemen, kebijakan-kebijakan
yang akan dibuat bisa saja memperoleh hambatan.
Threshold
semacam itu tidak memiliki masalah manakala pileg dilaksanakan mendahului
pilpres. Tetapi, ketika pileg dan pilpres digelar serentak, apakah threshold
memang masih dibutuhkan? Kalau dibutuhkan, basis threshold itu apa atau dari
mana?
Pendukung
threshold secara mudah bisa mengatakan bahwa basis ambang batas adalah hasil
Pileg 2014. Basis demikian lebih menguntungkan partai-partai yang memiliki
suara berarti pada Pemilu 2014.
Bagi
partai-partai yang tidak punya suara berarti dan partai-partai baru yang akan
mengikuti Pemilu 2019, threshold pilpres dianggap merugikan. Mereka tidak
memiliki kesempatan untuk mengajukan calon presiden yang diinginkan. Kalaupun
bisa mencalonkan, mereka harus bergabung dengan partai-partai yang memenuhi
persyaratan mengusulkan.
Secara
teoretis, di dalam sistem presidensial, pilpres memang tidak harus menganut
threshold. Pileg dan pilpres, kalaupun dihelat secara serentak, merupakan dua
pemilihan yang berbeda. Pileg merupakan pemilihan untuk wakil rakyat yang
duduk di legislatif, sedangkan pilpres merupakan pemilihan untuk orang yang
akan duduk di eksekutif.
Legislatif
dan eksekutif merupakan dua lembaga yang berbeda meskipun keduanya sama-sama dipilih
oleh dan bertanggung jawab kepada rakyat. Yang pertama merupakan lembaga yang
memiliki tugas utama membuat kebijakan regulatif (UU), sedangkan yang kedua
memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan regulatif.
Hanya,
dalam praktiknya, hubungan dua lembaga itu bukan sekadar hubungan antara yang
membuat dan melaksanakan. Hubungan tersebut tidak lepas dari pilihan-pilihan
kebijakan dan kepentingan-kepentingan yang mendasari pilihan-pilihan itu.
Implikasinya, ketika terdapat perbedaan-perbedaan yang sulit terselesaikan,
bisa lahir ketegangan-ketegangan politik di antara dua lembaga tersebut.
Berdasar
realitas semacam itu, bangunan pemerintahan presidensial yang ada di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adanya pemerintahan koalisi. Presiden
selalu berusaha memperoleh dukungan bermakna dari parlemen. Karena itu,
presiden juga membangun pemerintahan koalisi yang terdiri atas partai-partai
yang memiliki kursi di parlemen.
Terasa
aneh memang, pemerintahan dibangun di atas fondasi sistem presidensial, tetapi
mempraktikkan pemerintahan koalisi sebagaimana di dalam sistem parlementer.
Tetapi, keanehan tersebut memang sangat penting dan dibutuhkan agar
pemerintahan yang ada bisa berlangsung secara lebih efektif dan efisien. Hal
demikian bisa terjadi ketika proses pembuatan keputusan politik tidak
bertele-tele dan berkepanjangan. Demikian pula pelaksanaan
keputusan-keputusan yang dibuat itu.
Apabila
semata-mata berbasis argumentasi demokrasi prosedural, apalagi dilaksanakan
secara bersamaan dengan pileg, pilpres tidak membutuhkan threshold. Tetapi,
ketika dikaitkan dengan jalannya pemerintahan pasca pemilihan, yaitu adanya
pemerintahan yang efektif, threshold itu merupakan suatu keniscayaan yang
tidak bisa dihindari.
Yang
menjadi pertanyaan adalah besaran threshold-nya berapa. Kalau berbasis pada
bagaimana pemerintahan yang ada nanti bisa lebih efektif, angka threshold itu
bisa pada kisaran di atas sepertiga jumlah kursi di parlemen. Angka tersebut
didasarkan pada argumentasi bahwa keputusan-keputusan strategis itu
membutuhkan kehadiran dan persetujuan dua pertiga anggota parlemen. Dengan
demikian, kebijakan presiden yang didukung minimal lebih dari sepertiga
anggota parlemen tidak mudah begitu saja dipatahkan parlemen. Pilihan mana
yang akan dibuat? Kita tunggu putusan DPR yang sekarang tengah serius
membahasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar