Kamis, 05 Januari 2017

Terobosan Kontrak Perminyakan Gross Split

Terobosan Kontrak Perminyakan Gross Split
Kardaya Warnika  ;   Mantan Kepala BP Migas dan Anggota DPR
                                                    TEMPO.CO, 04 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu gebrakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan adalah mewacanakan pemakaian kontrak perminyakan gross split. Banyak pihak yang antusias dan mendukung, tapi ada juga yang pesimistis dan menentangnya. Apakah implementasi sistem gross split bisa memperbaiki industri perminyakan Indonesia yang sedang terpuruk saat ini?

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kegaduhan soal cost recovery (CR). Perusahaan dituduh seenaknya membebankan biaya ke dalam CR. SKK Migas dan Kementerian ESDM dianggap tidak ketat. Pekerja perusahaan minyak malah sudah ada yang menjadi korban dan masuk penjara. Besarnya CR dimasukkan ke APBN, meski pada prakteknya tidak pernah diindahkan. CR yang menentukan dana bagi hasil juga dikeluhkan daerah karena dianggap tidak transparan.

Pendek kata, belakangan ini CR, yang dulu tidak dipermasalahkan, sudah dianggap tidak ada baiknya lagi untuk dipertahankan. Pemikiran untuk tidak memakai sistem CR sudah mengemuka sejak sekitar tujuh tahun lalu.

Pada sistem production sharing contract (PSC) yang memakai CR, prioritas pertama pembagian hasil diberikan bukan kepada pemerintah, melainkan kepada perusahaan (kontraktor) untuk mengembalikan CR plus insentif-insentif. Sisanya (equity to be split) baru dibagi antara pemerintah dan kontraktor. Negara, yang diwakili pemerintah sebagai pemilik sumber daya, bukan menjadi prioritas. PSC saat ini sebetulnya lebih sesuai jika dinamakan profit sharing contract karena pembagiannya tidak didasari produksi, melainkan laba—hasil bersih setelah dikurangi biaya.

Pemerintah tampaknya keliru menilai penyebab terpuruknya industri migas Indonesia. Jangan dianggap hal ini terjadi karena faktor harga minyak rendah semata. Harus dimengerti bahwa Indonesia saat ini tidak menarik lagi di mata investor. Iklim investasi di sini tidak kondusif.

Banyak perusahaan besar belakangan ini hengkang dari Indonesia. Kalau memang karena harga minyak rendah, mengapa di negara lain mereka tidak hengkang? Penawaran wilayah kerja baru terbukti kurang peminat. Kondisi semacam ini sangat berbahaya. Sebab, untuk memperbaikinya, butuh waktu lama karena terkait dengan pemulihan kepercayaan.

Upaya pencarian cadangan migas mengandalkan perusahaan besar karena faktor risiko yang tinggi dan kebutuhan dana sangat besar. Apalagi, lahan eksplorasi di Indonesia sudah semakin sulit, yakni mengarah ke laut dalam dan remote.

Upaya penerapan gross split dimaksudkan untuk keluar dari jeratan CR. Prinsip utama gross split adalah pembagian hasil antara pemerintah dan kontraktor dihitung dari produksi (gross), tidak dari laba seperti saat ini. Dengan ini, diharapkan perhitungan yang ada menjadi lebih sederhana, transparan, dan menjamin kepastian penerimaan negara.

Dalam penerapan, apakah bentuk kontrak akan dipakai, mengingat prinsip gross split dapat digunakan dalam berbagai bentuk sistem fiskal perminyakan? Saat ini, sebaiknya tetap dulu memakai bentuk kontrak production sharing.

Hasil penerapan gross split bisa saja tidak sesuai dengan harapan jika implementasinya njelimet sehingga tidak menarik bagi investor. Sosialisasi kepada para pemangku kepentingan amat penting untuk mengurangi kegaduhan dan akan menentukan pula keberhasilannya.

Apakah peran SKK Migas akan hilang? Lembaga seperti SKK Migas tentunya masih tetap dibutuhkan. Plan of Development (POD) dan Work Program and Budget (WP&B) harus tetap ada. Tapi masalah anggaran dan proses pembelian barang tidak membutuhkan persetujuan. Pengawasan kegiatan juga harus tetap dijalankan sebagai perwujudan amanat bahwa sumber daya migas adalah milik dan dikuasai oleh negara. Peran SKK Migas akan lebih berfokus pada hal-hal teknis, seperti diamanatkan undang-undang, yang saat ini belum sepenuhnya dijalankan.

Proses tender dan pembelian barang yang tidak perlu lagi meminta persetujuan akan memangkas banyak proses birokrasi yang saat ini dikeluhkan oleh pelaku usaha. Namun semua barang yang dibeli tetap menjadi milik negara. Untuk melindungi kepentingan dalam negeri, pemanfaatan barang dan jasa produk dalam negeri harus diatur dan diawasi pemerintah secara ketat.

Sebagai suatu gagasan baru, kesederhanaan dari konsep bersifat vital agar mudah dimengerti dan menarik, sehingga akan menentukan keberhasilan implementasi. Seyogianya, pemerintah tidak terlalu njelimet, seperti menerapkan sliding scale split dan terlalu banyak variable dalam menetapkan besaran split. Untuk melihat penerimaan pasar dan agar tidak mengganggu lifting migas, sebaiknya konsep baru ini dicoba dalam penawaran wilayah kerja baru dulu, bukan pada perpanjangan kontrak baru, apalagi untuk Pertamina.

Terakhir, untuk menjaga kredibilitas, sebaiknya konsep gross split ini jangan terburu-buru disampaikan ke publik sebelum dikaji dengan cermat dan matang agar tidak menimbulkan kegaduhan. Para pihak yang takut kehilangan otoritasnya dan sudah lama bekerja dengan CR biasanya akan menentang, dan ini adalah sesuatu yang wajar dan harus dimaklumi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar