Rombongan
Pertama ke Neraka
AS Laksana ; Sastrawan; Pengarang; Kritikus Sastra yang
dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 15 Januari
2017
Kebodohan
manusia, karena berpotensi menimbulkan masalah, sering dijadikan bahan
lelucon oleh orang-orang yang pintar membuat kalimat. Kata Albert Einstein:
Perbedaan antara bodoh dan genius adalah genius ada batasnya. Dalam kalimat
yang sedikit lebih panjang, novelis Prancis Gustave Flaubert merumuskannya
seperti ini: Kebodohan adalah sesuatu yang tidak tergoyahkan; kita akan remuk
sendiri jika menghajarnya; ia seperti granit, keras, dan alot.
Ayatollah
Khomeini, dengan otoritasnya sebagai pemimpin spiritual bangsa Iran, pernah
menyampaikan bahwa orang-orang bodoh adalah rombongan pertama yang akan masuk
neraka karena beberapa alasan. Saya ingat empat hal. Pertama, orang bodoh
bisa menyakiti orang lain tanpa menyadari efek dari perbuatannya. Kedua,
ketika berbuat salah, ia tidak tahu di mana kesalahannya dan tidak mampu
memperbaiki diri sendiri karena kebodohannya. Ketiga, jika diberi saran yang
baik, ia membantah. Keempat, ia mudah dikendalikan orang lain untuk membuat
kerusakan.
Khomeini
sedang memimpin Revolusi Iran waktu itu, dan dia menyadari bahwa sebuah revolusi
niscaya tidak akan menghasilkan apa-apa jika masyarakat terus terbenam dalam
kebodohan. Maka, yang harus diberi perhatian sepenuhnya adalah bagaimana
membangun kesadaran baru dan meningkatkan kualitas mental orang banyak.
Dari
kalangan intelektual muncullah Ali Syariati, dari kalangan ulama ada Murtadha
Mutthahari. Keduanya saling melengkapi. Dan, Iran adalah peradaban yang setua
Persia dalam sejarah bangsa-bangsa, sebuah peradaban yang gemilang pada masa
lalu. Tetapi, apa makna masa lalu? Ada yang jauh lebih penting ketimbang
menara yang menjulang di masa lalu, yakni sikap yang tepat dalam menghadapi
situasi hari ini. Iran menunjukkannya ketika negeri itu menghadapi embargo
ekonomi dari Barat.
Bertahun-tahun
lalu seorang penjaga stan Iran pada pameran dagang di Kemayoran menyampaikan
bagaimana mereka menghadapi kesulitan gara-gara embargo tersebut. Ia bilang,
’’Kami harus berterus terang kepada diri sendiri bahwa situasi sedang sulit.
Para pemimpin kami menyerukan kampanye miskin dan meyakinkan warga negara
bahwa kami bisa bangkit dari apa yang kami punya.’’
Saya
terpukau mendengarkan penjelasannya. Stan Iran waktu itu hanya memamerkan
jagung dan produk-produk turunannya; minyak jagung, tepung jagung, berbagai
makanan dari jagung, dan sebagainya. ’’Ini yang kami punya,’’ katanya.
Kampanye
miskin, penerimaan atas situasi yang sedang mereka hadapi, adalah keputusan
politik yang memperkukuh solidaritas dan menggerakkan mereka untuk bangkit
bersama-sama. Hal itu juga membuat para pejabat harus tahu diri untuk tidak
meminta fasilitas-fasilitas mewah dari negara. Saya pernah membaca berita
bahwa wakil presiden Iran memelopori berangkat ke kantor naik sepeda.
Sejalan
dengan itu, masyarakat perfilman mereka melakukan pekerjaan luar biasa dan
membawa kejutan ke dunia luar. Barat boleh mengucilkan Iran dalam urusan
politik dan ekonomi, tetapi tidak mungkin melakukan embargo kebudayaan.
Dimulai dari generasi Abbas Kiarostami, sineas-sineas Iran terus melahirkan
film-film yang memukau masyarakat perfilman dunia.
Saya
bukan pengamat Iran dan tidak memiliki banyak informasi tentang negara
tersebut. Tetapi, percakapan dengan penjaga stan itu, berita tentang wakil
presiden berangkat ke kantor naik sepeda, dan keberhasilan perfilman mereka
selalu melekat di ingatan saya. Dalam hal itu saya mengagumi mereka dan
mengharapkan hal serupa berlangsung di Indonesia.
Karena
itu, saya merasa ada harapan baik ketika mendengar cetusan tentang revolusi
mental saat kampanye Pemilihan Presiden 2014 dan berpikir itu akan dijalankan.
Rupanya tidak.
Sampai
sekarang, diakui atau tidak, secara mental kita tidak ke mana-mana. Dan,
secara psikologis, kita terbelah dalam dua kutub ekstrem pemuja dan pembenci.
Mungkin tiga, yang satunya adalah kubu penonton yang sesekali mencemooh, baik
pemuja maupun pembenci.
Kebencian,
Anda tahu, adalah emosi yang sulit disingkirkan. Dalam kasus kita hari ini,
ia merupakan efek berkepanjangan dari suburnya kampanye hitam dan riuhnya
persaingan antarkandidat yang begitu emosional. Saya pikir hanya politisi
yang sanggup mengelola kebencian dengan baik.
Seorang
politisi pada suatu saat bisa memperlihatkan kebencian sampai ke ubun-ubun
kepada lawan politiknya. Tetapi, beberapa saat berikutnya dia sudah bisa
berakrab-akrab lagi dengan orang yang sebelumnya dibenci, seolah-olah mereka
adalah anak kembar yang saling menyayangi sejak dalam kandungan. Hanya
politisi yang sanggup memuji setinggi langit orang yang dua bulan sebelumnya
dia caci maki sebagai burung onta, atau kepala mafia, atau apa pun.
Dan,
dia menikmati popularitas dengan menyuarakan kebencian; dia didukung secara
militan oleh para pemujanya. Nanti, setelah para politikus kembali rukun,
kebencian di kalangan rakyat jelata akan tetap bertahan. Seolah-olah
kebencian adalah satu-satunya hal terbaik yang mereka punya. Jika harus
dilepaskan, lantas apa lagi yang mereka miliki?
Para
pembenci biasanya ngotot, dan ngotot adalah gejala umum pada orang-orang yang
menolak prosedur berpikir, dan menolak prosedur berpikir adalah kata lain
dari kebodohan. Ada satu lelucon lain: Tuhan kelihatannya mencintai
orang-orang bodoh; Dia menciptakannya banyak sekali.
Sialnya,
pemerintahan yang buruk melipatgandakan jumlah mereka, semata-mata karena
tidak tahu bagaimana cara mencerdaskan warga negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar