Rabu, 04 Januari 2017

Pada Dasarnya Kita Enggan Berubah

Pada Dasarnya Kita Enggan Berubah
AS Laksana   ;   Sastrawan; Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional di Indonesia
                                                    JAWA POS, 02 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ORANG-ORANG Barat memiliki tradisi membuat resolusi tahun baru. Mereka berpikir bahwa akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk meninjau kembali perjalanan selama satu tahun, lalu pada awal tahun mereka membuat janji kepada diri sendiri untuk berubah. Kebanyakan dari mereka gagal.

Hasil riset tentang resolusi tahun baru yang ditampilkan di situs web Statistic Brain menyebutkan, dari seratus orang, hanya 8 yang berhasil memenuhi janji kepada diri sendiri, 92 sisanya ingkar dan balik ke kebiasaan semula.

Karena dunia sekarang ini konon tanpa batas dan kebiasaan orang lain bisa menulari kita, sebagian dari kita tertular juga untuk membuat resolusi tahun baru. Mungkin kita berjanji untuk menurunkan berat badan, atau berhenti merokok, atau bekerja lebih tekun, dan sebagainya. Pendeknya, kita berjanji menjadi lebih baik dan berupaya menemukan kembali diri kita yang sebenarnya.

Pada hari-hari pertama setelah tahun baru kita bersemangat menjalankannya. Dan semangat itu berkobar sampai dua pekan. Lalu merosot pada pekan ketiga, lalu kita mulai merasa tersiksa pada pekan keempat dan tergelincir pada kebiasaan lama ketika memasuki Februari. Pada akhir tahun nanti kita membuat resolusi lagi dan gagal lagi.

Saya tidak mendapatkan statistik tentang keberhasilan dan kegagalan orang Indonesia dalam memenuhi resolusi tahun baru. Kelihatannya tidak ada lembaga yang berpikir untuk melakukan riset tentang itu; kita lebih menggemari riset politik.

Katakanlah tingkat keberhasilan kita juga 8 persen. Itu angka yang memberi gambaran bahwa kebanyakan orang sesungguhnya hanya ingin berubah, tetapi tidak benar-benar memiliki kesanggupan untuk mewujudkannya. Dengan kata lain, kita adalah makhluk yang cenderung melanggar janji kepada diri sendiri.

Kita meminta orang lain menepati janji, tetapi kita tidak sanggup menepati janji kepada diri sendiri. Itu sebuah ironi. Dan saya juga makhluk seperti itu. Saya juga sering membuat janji kepada diri sendiri dan sering sekali mengingkarinya. Kesimpulan sementara untuk kecenderungan itu, pada dasarnya semua orang tidak sanggup berubah sampai mereka membuktikan sebaliknya.

Dengan kesimpulan demikian, saya menjadi gelagapan ketika beberapa hari lalu ada wartawan yang menanyakan apa resolusi tahun baru saya sebagai penulis. Yang ada di benak hanya sebuah kelakar bahwa resolusi tahun baru saya adalah mengirimkan anak bungsu saya ke Brunei. Saya pikir dia lebih cocok hidup di sana. Sebab, dia fasih berbahasa Melayu.

Suatu pagi hari Minggu, saya terbangun dari tidur karena anak-anak ribut main loncat-loncatan di tempat tidur. Sambil menggeliat saya bilang, ”Kalian ini berisik sekali.”

Anak saya yang paling kecil menjawab dengan muka didekatkan ke muka saya, ”Itu masalah kamu, bukan masalah saye.”

Dia mengucapkannya persis orang Malaysia bicara. Dia fasih karena setiap hari menonton serial Upin & Ipin dan Boboiboy. Jika tidak di televisi, dia menontonnya di kanal YouTube. Saya harus akui itu serial yang menarik bagi anak-anak.

Upin & Ipin mengingatkan saya pada serial boneka Si Unyil, yang pernah kita miliki dulu. Film Si Unyil dipenuhi karakter-karakter yang hebat dan sampai sekarang beberapa masih saya ingat. Selain Unyil sebagai tokoh utama, banyak tokoh kuat di film tersebut: Ada Pak Raden, ada si plontos Cuplis, anak Tionghoa Meilani, Ucrit, dan Pak Ogah. Semua melekat dalam ingatan. Anda tahu, setiap karakter yang kuat selalu melekat dalam ingatan.

Film Si Unyil menunjukkan dan memberi contoh melalui cerita yang menyenangkan tentang harmoni di dalam keberagaman. Malaysia memilikinya sekarang, kita memilikinya dulu. Saya senang sekarang ini kita memiliki serial animasi Adit Sopo Jarwo dan berharap ada serial anak-anak lainnya produksi dalam negeri yang sanggup membuat anak-anak tertarik.

Tetapi, itu hanya harapan, yang keberhasilannya 100 persen bergantung orang lain. Lalu, apa yang bisa saya lakukan untuk diri sendiri? Satu-satunya hal serius yang paling ingin saya lakukan adalah bangun tidur lebih pagi ketimbang anak-anak saya, kemudian membaca buku atau melakukan akting seolah-olah saya khusyuk membaca buku. Yang penting, ketika mereka berangkat sekolah, mereka melihat saya membaca buku.

Malamnya saya akan mengulangi akting membaca lagi sehingga mereka berpikir ayah mereka memang gemar membaca buku. Saya tidak ingin membuat mereka menyimpan pikiran buruk bahwa ayah mereka hanya khusyuk dengan ponsel seharian dan menjadi kumal menikmati pergaulan di dunia maya, yang kian sering menghadirkan ujaran-ujaran banal dan penuh kebencian, juga membikin kita frustrasi.

Saya meyakini bahwa anak-anak adalah peniru yang baik. Misalkan mereka enggan meniru kebiasaan yang saya perlihatkan, saya sudah merancang, Februari nanti saya akan mengatakan kepada mereka, ”Ayo kita bikin janji. Kalian boleh melakukan apa pun kesenangan kalian, tetapi saya minta, dari 24 jam yang kalian miliki, kalian membaca buku dua jam setiap hari. Boleh buku apa saja yang kalian sukai.”

Itu hanya resolusi yang sepele dan saya berharap bisa memenuhi janji kepada diri sendiri. Kali ini saya ingin menghargai diri sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar