Senin, 02 Januari 2017

Arah Angin di Asia Pasca TPP

Arah Angin di Asia Pasca TPP
Benny D Koestanto  ;   Wartawan Kompas
                                                    KOMPAS, 30 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bergantung pada siapa yang berbicara, Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) bisa bermakna kerja sama perdagangan paling ambisius sekaligus berbahaya. Namun, sejak kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, cukup simpel untuk menyatakan tentang kemitraan itu: TPP mati karena ditinggalkan AS. Majalah The Economist menyebutkan, sebuah lubang yang menganga ditinggalkan dalam arsitektur perdagangan di Asia setelahnya. Arah angin pun tak beraturan menggelayuti perdagangan global.

Besaran ekonomi yang menjadi cakupan total anggota-anggota TPP diperkirakan mencapai dua perlima dari total perekonomian global. Namun, tak sekadar karena nilai ekonomi, efek positif dan negatif kerja sama-kerja sama perdagangan global pun menjadi pertimbangan, termasuk setelah keluarnya pernyataan Trump tentang posisi AS di TPP.

Para ekonom umumnya setuju dengan dua pernyataan umum. Di satu sisi, TPP bakal bisa mendorong pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara anggotanya. Sejumlah penelitian independen menyatakan, bagi AS, misalnya, TPP akan mendatangkan manfaat besar dilihat dari kacamata dollar AS. Bagi negara berkembang, seperti Vietnam, khususnya, juga diperkirakan akan bermanfaat optimal bagi perekonomiannya.

Namun, di sisi lain, saat kesepakatan perdagangan bebas mengembangkan negara-negara anggota secara umum, sisi negatif yang mungkin terjadi di perindustrian dan secara umum di kawasan bisa saja terlewatkan. TPP dinilai akan mendorong pertumbuhan, tetapi bisa saja justru memperburuk stagnasi perekonomian secara global.

Matthew Goodman dari lembaga Centre for Strategic and International Studies menyebut kolapsnya TPP sebagai kolapsnya kebijakan ekonomi AS di Asia. Hal itu bisa berefek negatif pula bagi perekonomian global. Bertahun-tahun sudah negara-negara kaya memotong aneka tarif jika ada halangan dan membuat regulasi-regulasi untuk melawan perusahaan-perusahaan asing. TPP ingin agar penghalang-penghalang itu dibuka sejatinya.

Merujuk data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tahun 2016 untuk kali pertama perdagangan dunia bergerak lebih lamban dalam 15 tahun ketimbang pertumbuhan domestik bruto (PDB). Ekspor di Asia diperkirakan hanya tumbuh 0,3 persen dilihat dari volumenya, di bawah tingkat rata-rata sekitar 8 persen dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Padahal, bagi negara-negara yang relatif miskin, ekspor adalah harapan untuk terjadinya pembangunan di dalam negeri. Jika kepemimpinan Trump benar-benar menaikkan tarif bagi negara-negara lain, terutama Tiongkok, jalan ke depan pun terasa semakin sempit bagi negara-negara lain.

Hanya ada sedikit kandidat yang siap mengisi kehampaan yang ditinggalkan TPP. Satu kemungkinan adalah peran yang diambil 11 pemerintah yang ada yang telah menyepakati kemitraan itu minus AS. Bagaimanapun peran AS sangat vital sehingga negara seperti Jepang pun melihat TPP tidak akan berjalan tanpa AS. Ketika Jepang membuka akses ke negara lain untuk komoditas beras dan daging sapi, misalnya, berarti ada keterbukaan atas produk-produk lain bagi negara lain itu.

Inisiatif Tiongkok

Fokus pun beralih pada sejauh mana Tiongkok akan maju dan masuk pada kesepakatan perdagangan sebagai alternatif. Tiongkok maju selangkah dengan pakta perdagangan regional yang lebih besar, yakni Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP). Pakta itu mencoba mengikat kerja sama perdagangan bagi 21 negara, termasuk AS.

Namun, suara sumbang pun telah terdengar. Kelompok oposisi di AS berkata bahwa dengan AS yang memimpin saja sudah terdengar penolakan-penolakan, apalagi jika dipimpin Tiongkok?

Kelompok yang lebih optimistis melihat adanya celah baik di depan. Setidaknya ada satu pakta kerja sama perdagangan yang hampir selesai, yakni Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Kawasan (RCEP) yang mencakup Tiongkok, India, Jepang, 10 negara ASEAN, Australia, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Pakta itu mencakup hampir sepertiga dari perekonomian global dan jauh lebih besar dilihat dari jumlah warganya ketimbang mereka yang sedianya bergabung di TPP.

Namun, tetap saja, pakta itu dinilai tidak seambisius TPP. Sebab, kerja sama itu hanya fokus pada hal dasar di bisnis, seperti pemotongan tarif, daripada regulasi-regulasi yang lebih kompleks. Tarif-tarif di Asia dinilai masih relatif tinggi sehingga menguranginya dinilai akan sangat membantu.

Bagaimanapun diharapkan ada terobosan khusus. Kerja sama RCEP yang lemah hanya akan berarti sedikit bagi Asia kecuali jika Tiongkok berupaya seoptimal mungkin agar kerja sama dalam pakta itu menghasilkan hal-hal yang lebih besar.

Publik tidak bisa menafikan beragamnya kesepakatan perdagangan yang telah dan tengah dihasilkan. Bukan hanya di tingkat regional atau global, melainkan juga di tingkat bilateral dalam tingkat lebih kecil. Di Asia, saat ini terdapat tidak kurang dari 147 kerja sama, berkembang dari 82 kesepakatan dalam kurun waktu satu dekade lalu. Selain itu, setidaknya ada 68 kesepakatan yang tengah disusun.

Dari teori perdagangan, hal itu mungkin kurang optimal, saling tumpah tindih antara satu dan yang lain. Namun, dalam praktik, situasi tersebut bisa menjadi harapan bagi Asia. Semakin banyak barang dan jasa, sekaligus bisnis di belakangnya, yang akan bertebaran di kawasan ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar