Senin, 02 Januari 2017

Antisipasi Risiko Ekonomi 2017

Antisipasi Risiko Ekonomi 2017
Ronny P. Sasmita  ;   Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional RI
                                                  JAWA POS, 30 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

LANGKAH pemerintah menunda kenaikan tarif listrik dan BBM tampaknya sangat tepat sebagai upaya untuk menjaga daya beli masyarakat. Kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah (administered price) seperti listrik dan BBM diperkirakan akan memberikan efek domino dan menyeret inflasi. Dampak buruknya adalah kenaikan suku bunga. Karena itu, kebijakan penundaan layak dianggap sebagai strategi yang cukup baik untuk mengakhiri tahun 2016.

Sebagaimana diketahui, komponen inflasi meliputi tiga kelompok barang dan jasa. Pertama adalah barang dan jasa yang diatur pemerintah. Kedua adalah kelompok pangan yang harganya kerap fluktuatif dan bergejolak (volatile food). Ketiga adalah sisanya, semua kelompok barang dan jasa di luar itu atau yang selama ini dikenal dengan inflasi inti (core inflation).
Jadi, tekanan inflasi tahun depan selain bersumber dari kenaikan tarif listrik dan harga BBM, juga berasal dari potensi kenaikan harga pangan (volatile food). Nah, tahun ini inflasi relatif terkendali karena harga barang yang diatur pemerintah tercatat tidak naik.

Selain itu, tekanan inflasi 2017 juga terkait dengan potensi pelemahan nilai tukar rupiah, sebagai imbas dari kenaikan suku bunga global yang dimotori Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed). The Fed sudah mengisyaratkan kenaikan suku bunga tiga kali pada tahun depan, yang berpotensi memicu keluarnya arus modal dari negara pasar berkembang ( emerging markets), termasuk Indonesia. Fenomena tersebut diperkirakan juga akan menekan kurs rupiah.

Dengan gambaran seperti itu, semua pemangku kepentingan harus bersinergi untuk meredam tekanan inflasi pada tahun depan, baik pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Pemerintah harus mampu mengendalikan harga pangan, terutama yang kerap bergejolak karena kelangkaan suplai, baik akibat rendahnya produksi maupun ulah kartel yang kerap mempermainkan harga barang tertentu.

Sedangkan untuk mengendalikan inflasi yang bersumber dari pelemahan kurs, pemerintah harus mengundang sebanyak-banyaknya investasi asing (foreign direct investment), mendorong asing masuk pasar modal, menggenjot ekspor, serta membangun industri yang kandungan impornya tinggi. Dengan demikian, arus modal masuk mampu memperkuat kurs rupiah dan menambah cadangan devisa. Pendeknya, inflasi tinggi harus dijinakkan, karena bukan hanya menggerus daya beli masyarakat, tapi juga menghambat perwujudan suku bunga satu digit yang akhir-akhir ini susah payah diupayakan pemerintah dan Bank Indonesia.

Menjelang tutup tahun, mayoritas ekonom, lembaga riset, dan lembaga keuangan domestik maupun internasional memprediksi kondisi perekonomian tahun depan sedikit lebih baik daripada tahun ini. Memang tidak ada kenaikan yang signifikan karena mesin dan motor pertumbuhan ekonomi global tampaknya belum terlalu pulih. Bahkan, tak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa tahun depan ketidakpastian masih akan menyelimuti.

Demikian pula Indonesia. Peme- rintah hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi yang relatif sama dengan tahun ini, sekitar 5,1 persen. Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 5,1–5,3 persen. Yang menarik, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memiliki optimisme lebih besar daripada pemerintah, yang mematok pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen tahun depan.

Optimisme kondisi perekonomian tahun depan terutama bersumber dari kekuatan ekonomi domestik. Konsumsi domestik masih menjadi penopang pertumbuhan utama, sekitar 55 persen. Investasi diharapkan juga lebih baik. Belanja APBN pun relatif lebih baik daripada tahun ini, khususnya kenaikan anggaran infrastruktur dan dana transfer daerah. Sedangkan ekspor belum terlalu bisa diharapkan.

Namun, ada hal krusial yang mengancam perekonomian tahun depan, yakni laju inflasi. Hal tersebut terkait dengan rencana kenaikan tarif listrik untuk golongan menengah atas dan pencabutan subsidi bagi jutaan golongan pelanggan kelas 900 VA yang selama ini sejatinya tidak layak mendapatkannya. Pencabutan subsidi kelompok itu akan menghe- mat subsidi sekitar Rp 20 triliun.

Ancaman kedua bersumber dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), seiring dengan tren kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional. Pemangkasan produksi yang ditempuh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) serta permintaan minyak global yang meningkat adalah pemicu kenaikan tersebut. Tapi, layak diberi apresiasi, pemerintah tampaknya segera menyadari bahaya ancaman inflasi.
Presiden Joko Widodo segera memerintah menteri ESDM untuk menunda kenaikan tarif listrik dan harga BBM setidaknya sampai Maret 2017. Dengan demikian, harga BBM bersubsidi dan penugasan tidak bergerak sejak 1 April 2016.

Konsekuensinya, Pertamina mungkin akan menanggung kerugian sementara. Jika harga minyak berada pada level USD 50–60 per barel, Pertamina harus nombok jika harga solar tetap dipatok pada level saat ini, yakni Rp 5.150 per liter. Untuk harga premium, relatif tidak ada masalah dengan harga jual Rp 6.450 per liter. Karena itu, Pertamina harus melakukan efisiensi agar tidak menanggung kerugian lebih besar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar