Kamis, 01 Oktober 2015

Setengah Abad G30S

Setengah Abad G30S

FS Swantoro ;   Peneliti dari PARA Syndicate Jakarta
                                            SUARA MERDEKA, 30 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TANGGAL 1 Oktober 1965, setengah abad silam, tujuh perwira angkatan darat (AD), termasuk menteri/Panglima AD Letjen Ahmad Yani dibunuh sekelompok orang bersenjata. Pada saat bersamaan, Menteri Keamanan Nasional, Jenderal AH Nasution juga dicoba dibunuh tapi bisa meloloskan diri. Peristiwa itu mengakibatkan situasi keamanan kacau-balau dan menimbulkan kegoncangan politik sangat hebat.

Sejarah terus bergulir namun masih menyisakan banyak pertanyaan yang tak terjawab. Apa yang sesungguhnya terjadi waktu itu? Apa yang dilakukan Bung Karno ketika berada di Pangkalan Udara Halim? Siapa yang bertanggung jawab di balik peristiwa 1965: Bung Karno, Soeharto, Partai Komunis Indonesia (PKI), tentara AD, atau siapa? Apa benar peristiwa itu dirancang CIA?

Dalam era Orde Baru ketika negara memosisikan sebagai monopoli tafsir sejarah, semua hanya diperkenankan mengakses satu versi tunggal produk pemerintah. Menurut pemerintah, PKI yang bertanggung jawab. Bahkan singkatan G30S/PKI jadi label resmi peristiwa itu. Pengungkapan kembali tragedi berdarah ini penting untuk pelurusan sejarah bangsa karena bisa memulihkan derita batin jutaan rakyat yang akibat tuduhan terlibat PKI tanpa melalui proses pengadilan.

Peranan CIA

Ada beberapa versi pemikiran seputar peristiwa berdarah itu. Pertama, Peter Dale Scott, profesor dari University of California, Berkeley, AS, membuat tulisan ’’The United States and the Overthrow of Soekarno 1965-1967’’. Karyanya dimuat di Journal Pacific Affairs 1984, yang menelusuri peranan Central Intelligence Agency (CIA). Menurutnya, CIA terlibat menggerakkan angkatan darat lewat Seskoad. Scott berkesimpulan peristiwa 1965 adalah kudeta yang dilakukan tentara.

Kedua, Antonie CA Dake, penulis In Spirit of the Red Banteng terbitan 1974 dari Den Haag, Belanda. Dake berhasil mendapat copy pemeriksaan BAP Bambang Widjanarko. Ia sampai pada kesimpulan Bung Karno telah memutuskan pengamanan para jenderal yang tidak loyal, dalam rapat rahasia di Bali, Juni 1965 dan merundingkan dengan Letkol Untung, Agustus 1965. Pada 23 September 1965, Komandan Cakrabirawa, Jenderal Sabur, diperintah mengambil tindakan tegas terhadap jenderal yang tak loyal kepada Sukarno. Buku Dake menunjuk ’’keterlibatan’’ Bung Karno dalam tragedi ini, atau minimal mengetahuinya.

Ketiga, Buku Putih terbitan Sekretariat Negara (1994), serta karya Noegroho Notosoesanto dan Ismail Saleh (1968) yang menyimpulkan peristiwa berdarah 1965 dilakukan PKI. Partai itu mengudeta dengan merekrut perwira AD untuk menghancurkan jenderal yang ingin merebut kekuasaan dari Soekarno. Bung Karno dinilai mengetahui peristiwa ini karena berteman dekat dengan Ketua Umum PKI, DN Aidit dan tinggal di Halim, dekat Lubang Buaya, tempat para jenderal disiksa, lalu jasadnya dibuang di sumur tua itu.

Awal tragedi ini dipicu kemerosotan kesehatan Bung Karno. Ada kekhawatiran Presiden bisa meninggal mendadak bila tidak dirawat intensif. Dua pekan kemudian muncul pamflet mengungkap detail rapat PKI dan pembahasan pengambilalihan kekuasaan andai Bung Karno meninggal. Isi pamflet itu menimbulkan kekhawatiran di kalangan perwira AD karena memuat daftar nama jenderal yang akan dihabisi. Sebaliknya, pimpinan PKI menerima pamflet berisi rencana Dewan Jenderal merebut kekuasaan dan mengeksekusi pimpinan PKI.

Akibatnya muncul konflik terbuka antara PKI vs AD yang kemudian menimbulkan pertumpahan darah dan pembunuhan massal. Lebih sejuta anggota PKI dibunuh di Jawa, Bali, dan daerah lain tanpa proses pengadilan. Pembantaian itu sebagai genosida paling berdarah dalam sejarah kita. Konflik PKI vs AD juga dipicu penolakan petinggi AD terhadap rencana PKI membentuk angkatan kelima dari buruh dan tani yang dipersenjatai.

Dua minggu sebelum tragedi 1965 berkecamuk, Dubes AS di Jakarta, Marshall Green minta CIA meningkatkan propaganda menyerang Bung Karno. Juga laporan intelijen Inggris menyiarkan berita menyesatkan. Muncul berita kapal bermuatan senjata dari Tiongkok untuk PKI sedang menuju Jakarta (Ralph McGehee; The Indonesian Massacres and the CIA). Mantan agen CIA itu menyebut ada rekayasa disinformasi, kemudian dibuat dokumen palsu hingga sulit dibedakan mana yang asli, terkait daftar para jenderal yang akan dibunuh.

Keempat, Wertheim dalam Soeharto and the Untung Coup the Missing Link, tahun 1970. Wertheim berkesimpulan tentara angkatan darat mengudeta. Ia sangat ragu akan keterlibatan PKI mengingat partai itu sedang berada di puncak kekuasaan.

Kelima, Anderson dan McVey dalam Cornell Paper yang menyebut ‘’tragedi berdarah 1965 merupakan persoalan intern AD, dan bukan PKI yang mendalangi tapi saat terakhir ada usaha memancing PKI agar terlibat. Andaikan PKI terlibat, keterlibatannya tidak direncanakan. Artikel yang terbit 10 Januari 1966 ini menyimpulkan, ”PKI dan Sukarno tidak terlibat peristiwa berdarah itu, tapi jadi korban gerakan tersebut.”

Kini saatnya elite politik dan TNI melakukan rekonsiliasi dan mengatakan yang sebenarnya. Peristiwa yang masih gelap ini harus ditempatkan dalam sejarah bangsa seutuhnya. Sudah saatnya atas nama kedewasaan bangsa, kita perlu merekonstruksi peristiwa 1965 lewat lembaga tinggi negara dengan melibatkan semua komponen dan tokoh bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar