Kamis, 08 Oktober 2015

Perempuan

Perempuan

James Luhulima ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 03 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tanggal 12 September lalu, di Konsulat Jenderal Republik Indonesia untuk Victoria dan Tasmania di Melbourne, Australia, diselenggarakan seminar bertema ”Kepemimpinan Perempuan di Indonesia”. Yang menarik dari seminar tersebut adalah pembahasan tentang perempuan Indonesia itu tidak dibatasi pada topik kesetaraan jender saja, tetapi juga mencakup seluruh persoalan yang dihadapi perempuan Indonesia, termasuk kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan tingginya angka kematian ibu melahirkan.

Dalam seminar yang diselenggarakan Ikatan Warga Indonesia di Victoria (Ikawiria) itu hadir sebagai pembicara Konsul Jenderal RI di Melbourne Dewi Savitri Wahab, penulis dan wartawan senior Dewi Anggraeni, serta penulis yang juga peneliti masalah jender dan media Lily Yulianti Farid.

Dalam seminar itu dipaparkan, jika melihat kondisi Indonesia saat ini, memang sudah banyak perempuan yang menjadi pemimpin. Yang tertinggi adalah pencapaian Megawati Soekarnoputri sebagai presiden kelima RI (2001-2004).

Saat ini pun ada delapan menteri perempuan dalam Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi perlu mendapatkan pujian karena pada masa lalu, kalaupun ada menteri perempuan, paling-paling menduduki jabatan Menteri Urusan Peranan Wanita, Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan Hidup, atau Menteri Sosial. Di luar itu, sempat ada juga Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Menteri Perdagangan.

Namun, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, ada delapan menteri perempuan, yakni Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarmo, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.

Khusus tentang terpilihnya Megawati Soekarnoputri diberikan catatan tersendiri, yakni Megawati terpilih bukan melalui pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, melainkan dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat mendampingi Presiden Abdurrahman Wahib sebagai Wakil Presiden. Megawati kemudian menjadi Presiden karena Abdurrahman Wahid dimundurkan oleh MPR.

Disebutkan, jika Megawati terpilih melalui pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, barulah Indonesia bisa bangga dengan mengatakan bahwa persoalan perempuan atau laki-laki bukanlah masalah lagi bagi bangsa Indonesia.

Sayangnya, Megawati gagal dalam Pemilihan Presiden 2004 dan Pemilihan Presiden 2009. Tahun 2014, Megawati tidak lagi mencalonkan diri dan menetapkan Jokowi sebagai calon presiden. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa persoalan perempuan atau laki-laki masih merupakan masalah di Indonesia. Paling tidak hingga kini.

”Bersedia mengalah”

Dalam banyak hal, sesungguhnya sejak perjuangan yang dilakukan RA Kartini dan pejuang-pejuang emansipasi perempuan lain, kehidupan perempuan sudah jauh lebih baik. Sudah banyak perempuan yang kini dapat menduduki posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang tadinya hanya dikuasai laki-laki.

Namun, dalam meniti kariernya, terutama setelah menikah, jalan yang harus dilalui seorang perempuan sungguh berat. Oleh karena seorang perempuan dituntut untuk meniti kariernya hingga ke puncak dengan tetap menjadi istri dan ibu yang baik. Di antara peserta seminar itu, banyak yang menyatakan bersyukur karena suami mereka ”bersedia mengalah” untuk sementara pada saat mereka (para istri) menempuh pendidikan atau meniti karier di luar negeri. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada mereka apabila suami tidak mau mengalah?

Yang paling memprihatinkan adalah pada saat perempuan-perempuan Indonesia sudah ada yang menjadi presiden, atau menjadi menteri, ada banyak perempuan lain di Indonesia yang masih harus melepaskan diri dari jeratan-jeratan yang membelitnya, seperti kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik dan maupun nonfisik, serta tingginya angka kematian ibu melahirkan.

Sangat disesalkan, pada saat Indonesia merayakan 70 tahun kemerdekaannya, ternyata Indonesia gagal mewujudkan target angka kematian ibu melahirkan tahun 2015 sebagaimana yang ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), yakni 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

Setelah MDG berakhir, kini Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Dan, Wakil Presiden Jusuf Kalla di New York, Amerika Serikat, mengatakan, apa yang dicanangkan SDG sudah dikerjakan Indonesia melalui berbagai program dalam Nawa Cita walaupun diakui bahwa program pemerintah itu perlu penajaman, termasuk tingkat kematian ibu dan anak.

Kementerian Kesehatan menyebut buruknya layanan kesehatan yang diakibatkan oleh buruknya infrastruktur dan minimnya fasilitas kesehatan menjadi penyebab utama tingginya angka kematian ibu melahirkan. Jika masalahnya sudah diidentifikasi, tentunya yang kita tunggu adalah strategi untuk mengatasinya. Dokter terbang mungkin bisa menjadi salah satu alternatif pilihan.

Jika hingga saat ini kesetaraan jender masih menjadi masalah, dalam batas-batas tertentu itu masih dapat kita terima mengingat masalah itu dilatarbelakangi oleh masalah struktural dan kebudayaan yang sulit untuk diubah. Berbeda dengan kematian ibu melahirkan. Itu sebabnya, kita berharap pemerintah lebih sungguh-sungguh berupaya menekan angka kematian ibu melahirkan sesegera mungkin. Menunggu 70 tahun sudah terlalu lama....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar