KIH-KMP, Masih Relevan?
Agnes Theodora Wolkh Wagunu ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
03 Oktober 2015
Satu tahun berlalu sejak 560
anggota DPR periode 2014-2019 dilantik pasca pertarungan sengit Pemilu
Presiden 2014. Parlemen pun langsung terbelah antara Koalisi Merah Putih dan
Koalisi Indonesia Hebat hingga saling mengunci satu-sama lain. Apa benar
kedua koalisi tersebut kini tak lagi relevan?
Sehari setelah resmi mengumumkan
bergabung bersama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Rabu (2/9), Ketua
Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan berkata, "Koalisi Merah Putih
dan Koalisi Indonesia Hebat sudah tidak relevan."
Bergabungnya PAN ke pemerintahan
turut mencairkan kebekuan Parlemen yang sempat terbelah antardua koalisi.
Peta politik di DPR pun berubah.
Bergabungnya PAN bersama Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membuat KIH, yang
mendukung pemerintah, kini menguasai 256 kursi dari 560 kursi DPR.
Keputusan PAN cukup menggoyang
KMP. Maklum, KMP awalnya dibentuk untuk mendukung Ketua Dewan Pembina Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dan Ketua Umum PAN Hatta
Rajasa sebagai calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Presiden
2014.
Dengan melompatnya PAN ke
"kapal" lain, KMP kini hanya didukung secara penuh oleh Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra. Seperti diketahui, Partai
Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan masih dirundung konflik internal yang
belum usai.
Sporadis
Dengan perubahan komposisi di
Parlemen itu, apakah KIH dan KMP masih relevan di peta perpolitikan internal
DPR?
Kalau diperhatikan, berbeda dengan
paruh pertama masa jabatnya, peta politik DPR pada lima bulan terakhir memang
lebih sporadis. KIH dan KMP tidak selalu kompak.
Hal itu paling tidak terlihat dari
sejumlah sikap dan keputusan yang diambil di internal DPR. Sebagai contoh,
saat Presiden Joko Widodo memilih membatalkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan
sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Maret lalu.
Meski pada akhirnya semua fraksi
mencapai kata sepakat lewat rapat konsultasi dengan Presiden, DPR sempat
terbelah menyikapi keputusan itu. Bedanya, perbedaan sikap itu tidak lagi
berdasarkan koalisi.
Sejumlah fraksi KIH, sebagai
partai pengusung pemerintah, justru sempat berseberangan dengan Presiden.
PDI-P dan Hanura dari KIH bersama tiga fraksi dari KMP (Golkar, PKS,
Gerindra) meminta Presiden tetap melantik Budi. Sementara Partai Demokrat,
Nasdem, PAN, dan PPP tidak keberatan jika Presiden batal melantik Budi.
Sebelumnya, dikotomi KIH dan KMP
sangat jelas pada tiga bulan awal pemerintahan, bulan Oktober sampai Desember
2014. Sebagai dampak dari revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3),
DPR saat itu praktis tidak bisa bekerja karena sibuk mengurus "bagi-bagi
kursi" pimpinan alat kelengkapan DPR.
Kebuntuan itu baru sedikit mencair
pada masa sidang kedua, Januari 2015, setelah UU MD3 kembali direvisi untuk
mengakomodasi KIH dalam pembagian kursi pimpinan alat kelengkapan DPR. Dengan
revisi yang menambah jumlah pimpinan alat kelengkapan itu, perwakilan dari
KIH akhirnya dapat ikut memimpin komisi dan badan bersama KMP.
Sekat dikotomi yang jelas di
Parlemen juga terlihat saat April lalu, fraksi-fraksi pendukung KMP bersatu
mendukung Fraksi Partai Golkar menggulirkan hak angket terhadap Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, yang juga politisi PDI-P. Saat itu,
116 anggota DPR menandatangani surat usulan penggunaan hak angket.
Mereka adalah F-PG (55 orang),
Gerindra (37 orang), PKS (20 orang), PPP (2 orang), dan PAN (2 orang). KIH,
saat itu, menolak ikut menandatangani dan memasang badan membela Yasonna. Hak
angket itu akhirnya menggantung setelah sejumlah fraksi KIH meminta wacana
itu ditunda.
Namun, batas antara KIH dan KMP
yang disebut tidak relevan itu tetap saja beberapa kali muncul. Akhir-akhir
ini, misalnya, perbedaan antarkoalisi itu kembali terlihat setelah Ketua DPR
dari Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi
Partai Gerindra Fadli Zon diduga melanggar kode etik DPR saat hadir di jumpa
pers politik bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Kamis (3/9)
lalu. Sejumlah politisi PDI-P sontak melaporkan Setya dan Fadli ke Mahkamah
Kehormatan Dewan.
Momentum "blunder"
politik yang diduga dilakukan politisi Golkar dan Gerindra itu berdekatan
dengan kejadian politik lain. Pertama, PAN yang memutuskan merapat ke
pemerintah. Kedua, wacana politisi PDI-P mendorong revisi Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MD3.
Rebutan
kursi
Tak mengherankan, di tengah
pelaporan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan itu, isu revisi UU MD3
digaungkan sejumlah politisi KIH. Seiring dengan itu, isu kocok ulang kursi
pimpinan DPR dan kursi pimpinan alat kelengkapan pun ikut menguat.
Pada suatu kesempatan, saat Setya
masih di AS dan isu revisi UU MD3 kian menguat, Wakil Ketua DPR dari Fraksi
PKS Fahri Hamzah sampai mengatakan, "Jijik saya dengan rebutan kursi
ini. Padahal, ekonomi sedang begini. Siapa yang mau ambil kursi saya, ambil
saja sekarang. Mumpung Pak Novanto dan Pak Fadli tidak ada."
Sikap Fahri tentunya berbeda dari
sejumlah fraksi KIH yang mayoritas mendukung revisi UU MD3. Mereka menilai,
revisi UU MD3 bukan berkaitan dengan kepentingan politik pragmatis KIH untuk
kembali menduduki kursi kepemimpinan di DPR, melainkan demi peningkatan
kualitas demokrasi Indonesia.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai, isu KIH dan KMP di Parlemen cenderung
dimainkan dalam jangka pendek untuk kepentingan dan keuntungan politik setiap
pihak. Hal itu menunjukkan bahwa batas antara KIH dan KMP sesungguhnya belum
sepenuhnya mencair. "Di beberapa momen, KIH-KMP memang tidak lagi
relevan, batas koalisi melebur. Di momen lain, KIH-KMP masih terlihat,"
kata Siti.
Menurut dia, iklim politik yang
terlihat di DPR saat ini bersifat pragmatis. "Yang namanya politik tidak
bisa lepas dari nuansa pragmatisme dan oportunis. Jangan lupa, ini lembaga
politik," kata Siti.
KIH dan KMP kini lebih mirip
koalisi "bunglon". Mereka berkoalisi meski sikapnya mengikuti hal
yang abadi dalam politik, yakni kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar