Kamis, 08 Oktober 2015

KIH-KMP, Masih Relevan?

KIH-KMP, Masih Relevan?

Agnes Theodora Wolkh Wagunu ;   Wartawan Kompas
                                                       KOMPAS, 03 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Satu tahun berlalu sejak 560 anggota DPR periode 2014-2019 dilantik pasca pertarungan sengit Pemilu Presiden 2014. Parlemen pun langsung terbelah antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat hingga saling mengunci satu-sama lain. Apa benar kedua koalisi tersebut kini tak lagi relevan?

Sehari setelah resmi mengumumkan bergabung bersama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Rabu (2/9), Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan berkata, "Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah tidak relevan."

Bergabungnya PAN ke pemerintahan turut mencairkan kebekuan Parlemen yang sempat terbelah antardua koalisi. Peta politik di DPR pun berubah.

Bergabungnya PAN bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membuat KIH, yang mendukung pemerintah, kini menguasai 256 kursi dari 560 kursi DPR.

Keputusan PAN cukup menggoyang KMP. Maklum, KMP awalnya dibentuk untuk mendukung Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa sebagai calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Presiden 2014.

Dengan melompatnya PAN ke "kapal" lain, KMP kini hanya didukung secara penuh oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra. Seperti diketahui, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan masih dirundung konflik internal yang belum usai.

Sporadis

Dengan perubahan komposisi di Parlemen itu, apakah KIH dan KMP masih relevan di peta perpolitikan internal DPR?

Kalau diperhatikan, berbeda dengan paruh pertama masa jabatnya, peta politik DPR pada lima bulan terakhir memang lebih sporadis. KIH dan KMP tidak selalu kompak.

Hal itu paling tidak terlihat dari sejumlah sikap dan keputusan yang diambil di internal DPR. Sebagai contoh, saat Presiden Joko Widodo memilih membatalkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Maret lalu.

Meski pada akhirnya semua fraksi mencapai kata sepakat lewat rapat konsultasi dengan Presiden, DPR sempat terbelah menyikapi keputusan itu. Bedanya, perbedaan sikap itu tidak lagi berdasarkan koalisi.

Sejumlah fraksi KIH, sebagai partai pengusung pemerintah, justru sempat berseberangan dengan Presiden. PDI-P dan Hanura dari KIH bersama tiga fraksi dari KMP (Golkar, PKS, Gerindra) meminta Presiden tetap melantik Budi. Sementara Partai Demokrat, Nasdem, PAN, dan PPP tidak keberatan jika Presiden batal melantik Budi.

Sebelumnya, dikotomi KIH dan KMP sangat jelas pada tiga bulan awal pemerintahan, bulan Oktober sampai Desember 2014. Sebagai dampak dari revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), DPR saat itu praktis tidak bisa bekerja karena sibuk mengurus "bagi-bagi kursi" pimpinan alat kelengkapan DPR.

Kebuntuan itu baru sedikit mencair pada masa sidang kedua, Januari 2015, setelah UU MD3 kembali direvisi untuk mengakomodasi KIH dalam pembagian kursi pimpinan alat kelengkapan DPR. Dengan revisi yang menambah jumlah pimpinan alat kelengkapan itu, perwakilan dari KIH akhirnya dapat ikut memimpin komisi dan badan bersama KMP.

Sekat dikotomi yang jelas di Parlemen juga terlihat saat April lalu, fraksi-fraksi pendukung KMP bersatu mendukung Fraksi Partai Golkar menggulirkan hak angket terhadap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, yang juga politisi PDI-P. Saat itu, 116 anggota DPR menandatangani surat usulan penggunaan hak angket.

Mereka adalah F-PG (55 orang), Gerindra (37 orang), PKS (20 orang), PPP (2 orang), dan PAN (2 orang). KIH, saat itu, menolak ikut menandatangani dan memasang badan membela Yasonna. Hak angket itu akhirnya menggantung setelah sejumlah fraksi KIH meminta wacana itu ditunda.

Namun, batas antara KIH dan KMP yang disebut tidak relevan itu tetap saja beberapa kali muncul. Akhir-akhir ini, misalnya, perbedaan antarkoalisi itu kembali terlihat setelah Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon diduga melanggar kode etik DPR saat hadir di jumpa pers politik bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Kamis (3/9) lalu. Sejumlah politisi PDI-P sontak melaporkan Setya dan Fadli ke Mahkamah Kehormatan Dewan.

Momentum "blunder" politik yang diduga dilakukan politisi Golkar dan Gerindra itu berdekatan dengan kejadian politik lain. Pertama, PAN yang memutuskan merapat ke pemerintah. Kedua, wacana politisi PDI-P mendorong revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

Rebutan kursi

Tak mengherankan, di tengah pelaporan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan itu, isu revisi UU MD3 digaungkan sejumlah politisi KIH. Seiring dengan itu, isu kocok ulang kursi pimpinan DPR dan kursi pimpinan alat kelengkapan pun ikut menguat.

Pada suatu kesempatan, saat Setya masih di AS dan isu revisi UU MD3 kian menguat, Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS Fahri Hamzah sampai mengatakan, "Jijik saya dengan rebutan kursi ini. Padahal, ekonomi sedang begini. Siapa yang mau ambil kursi saya, ambil saja sekarang. Mumpung Pak Novanto dan Pak Fadli tidak ada."

Sikap Fahri tentunya berbeda dari sejumlah fraksi KIH yang mayoritas mendukung revisi UU MD3. Mereka menilai, revisi UU MD3 bukan berkaitan dengan kepentingan politik pragmatis KIH untuk kembali menduduki kursi kepemimpinan di DPR, melainkan demi peningkatan kualitas demokrasi Indonesia.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai, isu KIH dan KMP di Parlemen cenderung dimainkan dalam jangka pendek untuk kepentingan dan keuntungan politik setiap pihak. Hal itu menunjukkan bahwa batas antara KIH dan KMP sesungguhnya belum sepenuhnya mencair. "Di beberapa momen, KIH-KMP memang tidak lagi relevan, batas koalisi melebur. Di momen lain, KIH-KMP masih terlihat," kata Siti.

Menurut dia, iklim politik yang terlihat di DPR saat ini bersifat pragmatis. "Yang namanya politik tidak bisa lepas dari nuansa pragmatisme dan oportunis. Jangan lupa, ini lembaga politik," kata Siti.

KIH dan KMP kini lebih mirip koalisi "bunglon". Mereka berkoalisi meski sikapnya mengikuti hal yang abadi dalam politik, yakni kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar