Memancung Penyebab Tragedi Mina
Agil Oktaryal ; Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO)
Fakultas Hukum Unand
|
MEDIA
INDONESIA, 29 September 2015
DUKA yang teramat dalam baru saja menyinggahi
jutaan umat muslim di dunia. Lautan putih manusia di Mina, Arab Saudi, yang
sedang melaksanakan ibadah lempar jamrah tiba-tiba berjatuhan dan seketika
tak bernyawa. Kabar duka itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru bumi
pada Kamis (24/9). Sebanyak 769 jemaah haji dikabarkan meninggal dunia akibat
terinjakinjak oleh jemaah lain. Tak kurang 934 jemaah luka parah, bahkan dari
total keseluruhan terdapat 34 orang WNI wafat, 6 orang luka berat, dan 112
orang belum ditemukan (Kemenkes Arab Saudi, 27/9).
Banyak spekulasi berkembang tentang penyebab tragedi
Mina. Misalnya, dari askar (aparat keamanan Arab Saudi) yang mengalihkan arus
dari Jalan 223 ke Jalan 204 sehingga Jalan 204 over capacity dan insiden terjadi, ketidakpatuhan jemaah
mengikuti aturan lempar jamrah yang telah ditetapkan penyelenggara haji,
hingga penyebab yang coba ditutupi, yaitu adanya konvoi rombongan putra Raja
Salman yang juga wakil putra mahkota, Mohammad bin Salman Al Saud, yang
dikawal 200 tentara dan 150 polisi, kemudian memerintahkan jemaah haji untuk
berpindah arah sehingga muncul kepanikan jemaah dan insiden tak terelakkan,
seperti yang dikabarkan surat kabar Libanon, Al-Diyar.
Apapun penyebabnya, dengan cepat Raja Salman
melalui Pengadilan Syariat memutuskan tragedi Mina disebabkan kelalaian 28
orang petugas lapangan. Sebagai ganjaran, mereka akan dihukum pancung (qishas) di hadapan keseluruhan jemaah
haji. Spekulasi makin
menjadi ketika kritikan atas keputusan Raja Salman menghukum pancung 28
petugas itu merupakan upaya menutupi kesalahan keluarga kerajaan. Terlepas
dari itu, kenapa begitu mudah Arab Saudi menjatuhkan hukuman mati tanpa melalui
proses hukum yang panjang seperti Indonesia?
Kedaulatan Arab Saudi
Arab Saudi merupakan negara berbentuk
pemerintahan monarki konstitusional (kerajaan), kekuasaan tertinggi berada di
tangan raja. Selain itu, Arab Saudi menganut paham kedaulatan Tuhan
(teokrasi) yang di banyak literatur menyatakan penganut teori ini pada pertengahan
abad ke XV ialah Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Teokrasi ialah
kedaulatan seorang penguasa di suatu negara berasal langsung dari Tuhan (God sovereignty), berbeda dengan
negara demokrasi yang kekuasaan pemerintahnya berasal dari rakyat.
Menurut teori teokrasi, negara di bentuk Tuhan
dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk Tuhan. Raja dan pemimpin-pemimpin
negara hanya bertanggung jawab kepada Tuhan dan tidak pada siapa pun. Karena
mewakili Tuhan, segala perilaku raja atau paus selalu terjaga dari kesalahan
atau suci. Jadi, negara teokrasi yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan
merupakan negara yang dipimpin raja, seperti Raja Arab Saudi atau gerejawan,
Paus di Vatikan. Maka dari itu, yang mereka tetapkan atau penguasa lakukan di
bumi ialah atas kehendak Tuhan mereka. Apa yang diharamkan di langit tentu
mereka haramkan pula di dunia sehingga pelanggaran terhadap kekuasaan raja
merupakan pelanggaran terhadap Tuhan dan kitab Tuhan.
Sebagai
negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis, Kerajaan Arab Saudi telah
menyatakan bahwa ‘kaidah-kaidah pokok yang terkandung dalam Alquran dianggap
sebagai UUD Kerajaan Arab Saudi. Dengan kata lain, Alquran merupakan konstitusi
tertulis Kerajaan Arab Saudi. Akhirnya, itu berimplikasi pada keterikatan Arab
Saudi terhadap syariat-syariat atau hukum Islam. Karena itu, Kerajaan Arab
Saudi menerapkan semua ketentuan syariat Islam dan secara khusus semua
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan nomokrasi Islam, termasuk melaksanakan
seperti apa yang diserukan melalui Sabda Nabi.
Itu sebabnya kita tidak perlu heran kenapa
Raja Arab Saudi dengan mudah dan cepat melalui Pengadilan Syariat berdasarkan
keyakinannya menjatuhi hukuman pancung kepada 28 orang petugas yang
dinyatakan bersalah karena lalai menjaga ketertiban jemaah haji dalam
perjalanan menuju Jamarat untuk melempar jamrah.
Kelumrahan itu didasarkan pada Alquran Surah
Albaqarah ayat 178 yang menyatakan, “Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishas berkenaan
dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya
dengan ham ba sahaya, perempuan dengan pe rempuan. Namun, barang siapa mem
peroleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan
membayar diat (tebusan) ke padanya dengan baik (pula). Yang de mikian itu
keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu,
ia akan mendapat azab yang sangat pedih.”
Karena Kerajaan Arab Saudi menerapkan hukum
Islam dan berkonstitusi pada Alquran, qishas
tentu dapat dibenarkan. Namun, yang menjadi kritikan selama ini ialah tidak
adanya hukum acara yang mengatur bagaimana cara pembuktian si pelaku di
peradilan dan tidak adanya sistem peradilan yang transparan untuk dapat
diikuti semua orang. Apakah cara mereka memahami hukum Islam yang salah?
Tentu tidak karena hal tersebut merupakan karakter bangsa, model
kepemimpinan, dan struktur pemerintahan mereka sendiri yang sangat dipahami
dan telah sesuai dengan nomokrasi Islam. Meskipun dalam mengambil keputusan harus
tetap berpedoman pada Sabda Nabi, yang diriwayatkan Ibnu Hiban dan Imam Al
Baihaqi, yang berbunyi, “Harus diberi
maaf apabila yang membunuhnya karena lupa, terpaksa, dan bersalah”,
tindakan Raja Salman tidak bisa disalahkan karena merujuk pada Al quran yang
memiliki kedudukan hukum lebih tinggi.
Meskipun telah diputus demikian, hingga
tulisan ini dibuat, 28 orang petugas tersebut belum dieksekusi mati. Terlepas
dari itu semua, ada harapan mahabesar dari umat Islam di seluruh dunia akan
keseriusan Arab Saudi mengungkap penyebab tragedi ini. Pada titik yang
terdekat, publik tentu berharap sesegera mungkin identifikasi jenazah, korban
luka, dan jemaah hilang bisa segera dirampungkan dan diumumkan ke publik demi
kenyaman keluarga di negara masing-masing dan di Tanah Air pada khususnya.
Adanya keterlibatan Organisasi Kerja Sama
Islam (OKI) sebagai organisasi yang menaungi negara-negara Islam dunia untuk
ikut dalam penyelidikan kasus ini agar tidak ada manipulasi dan kebohongan
demi menutupi dugaan kesalahan keluarga kerajaan tentu sangat diharapkan. Jadi, menghukum pancung penyebab tragedi Mina bukan
menjadi cerita akhir dari tragedi berdarah ini. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar