Kamis, 01 Oktober 2015

Memancung Penyebab Tragedi Mina

Memancung Penyebab Tragedi Mina

Agil Oktaryal ;   Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Unand
                                           MEDIA INDONESIA, 29 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DUKA yang teramat dalam baru saja menyinggahi jutaan umat muslim di dunia. Lautan putih manusia di Mina, Arab Saudi, yang sedang melaksanakan ibadah lempar jamrah tiba-tiba berjatuhan dan seketika tak bernyawa. Kabar duka itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru bumi pada Kamis (24/9). Sebanyak 769 jemaah haji dikabarkan meninggal dunia akibat terinjakinjak oleh jemaah lain. Tak kurang 934 jemaah luka parah, bahkan dari total keseluruhan terdapat 34 orang WNI wafat, 6 orang luka berat, dan 112 orang belum ditemukan (Kemenkes Arab Saudi, 27/9).

Banyak spekulasi berkembang tentang penyebab tragedi Mina. Misalnya, dari askar (aparat keamanan Arab Saudi) yang mengalihkan arus dari Jalan 223 ke Jalan 204 sehingga Jalan 204 over capacity dan insiden terjadi, ketidakpatuhan jemaah mengikuti aturan lempar jamrah yang telah ditetapkan penyelenggara haji, hingga penyebab yang coba ditutupi, yaitu adanya konvoi rombongan putra Raja Salman yang juga wakil putra mahkota, Mohammad bin Salman Al Saud, yang dikawal 200 tentara dan 150 polisi, kemudian memerintahkan jemaah haji untuk berpindah arah sehingga muncul kepanikan jemaah dan insiden tak terelakkan, seperti yang dikabarkan surat kabar Libanon, Al-Diyar.

Apapun penyebabnya, dengan cepat Raja Salman melalui Pengadilan Syariat memutuskan tragedi Mina disebabkan kelalaian 28 orang petugas lapangan. Sebagai ganjaran, mereka akan dihukum pancung (qishas) di hadapan keseluruhan jemaah haji. Spekulasi makin menjadi ketika kritikan atas keputusan Raja Salman menghukum pancung 28 petugas itu merupakan upaya menutupi kesalahan keluarga kerajaan. Terlepas dari itu, kenapa begitu mudah Arab Saudi menjatuhkan hukuman mati tanpa melalui proses hukum yang panjang seperti Indonesia?

Kedaulatan Arab Saudi

Arab Saudi merupakan negara berbentuk pemerintahan monarki konstitusional (kerajaan), kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Selain itu, Arab Saudi menganut paham kedaulatan Tuhan (teokrasi) yang di banyak literatur menyatakan penganut teori ini pada pertengahan abad ke XV ialah Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Teokrasi ialah kedaulatan seorang penguasa di suatu negara berasal langsung dari Tuhan (God sovereignty), berbeda dengan negara demokrasi yang kekuasaan pemerintahnya berasal dari rakyat.

Menurut teori teokrasi, negara di bentuk Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk Tuhan. Raja dan pemimpin-pemimpin negara hanya bertanggung jawab kepada Tuhan dan tidak pada siapa pun. Karena mewakili Tuhan, segala perilaku raja atau paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci. Jadi, negara teokrasi yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan merupakan negara yang dipimpin raja, seperti Raja Arab Saudi atau gerejawan, Paus di Vatikan. Maka dari itu, yang mereka tetapkan atau penguasa lakukan di bumi ialah atas kehendak Tuhan mereka. Apa yang diharamkan di langit tentu mereka haramkan pula di dunia sehingga pelanggaran terhadap kekuasaan raja merupakan pelanggaran terhadap Tuhan dan kitab Tuhan.

Sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis, Kerajaan Arab Saudi telah menyatakan bahwa ‘kaidah-kaidah pokok yang terkandung dalam Alquran dianggap sebagai UUD Kerajaan Arab Saudi. Dengan kata lain, Alquran merupakan konstitusi tertulis Kerajaan Arab Saudi. Akhirnya, itu berimplikasi pada keterikatan Arab Saudi terhadap syariat-syariat atau hukum Islam. Karena itu, Kerajaan Arab Saudi menerapkan semua ketentuan syariat Islam dan secara khusus semua prinsip-prinsip yang berkaitan dengan nomokrasi Islam, termasuk melaksanakan seperti apa yang diserukan melalui Sabda Nabi.
Itu sebabnya kita tidak perlu heran kenapa Raja Arab Saudi dengan mudah dan cepat melalui Pengadilan Syariat berdasarkan keyakinannya menjatuhi hukuman pancung kepada 28 orang petugas yang dinyatakan bersalah karena lalai menjaga ketertiban jemaah haji dalam perjalanan menuju Jamarat untuk melempar jamrah.

Kelumrahan itu didasarkan pada Alquran Surah Albaqarah ayat 178 yang menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan ham ba sahaya, perempuan dengan pe rempuan. Namun, barang siapa mem peroleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) ke padanya dengan baik (pula). Yang de mikian itu keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, ia akan mendapat azab yang sangat pedih.”

Karena Kerajaan Arab Saudi menerapkan hukum Islam dan berkonstitusi pada Alquran, qishas tentu dapat dibenarkan. Namun, yang menjadi kritikan selama ini ialah tidak adanya hukum acara yang mengatur bagaimana cara pembuktian si pelaku di peradilan dan tidak adanya sistem peradilan yang transparan untuk dapat diikuti semua orang. Apakah cara mereka memahami hukum Islam yang salah? Tentu tidak karena hal tersebut merupakan karakter bangsa, model kepemimpinan, dan struktur pemerintahan mereka sendiri yang sangat dipahami dan telah sesuai dengan nomokrasi Islam. Meskipun dalam mengambil keputusan harus tetap berpedoman pada Sabda Nabi, yang diriwayatkan Ibnu Hiban dan Imam Al Baihaqi, yang berbunyi, “Harus diberi maaf apabila yang membunuhnya karena lupa, terpaksa, dan bersalah”, tindakan Raja Salman tidak bisa disalahkan karena merujuk pada Al quran yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi.

Meskipun telah diputus demikian, hingga tulisan ini dibuat, 28 orang petugas tersebut belum dieksekusi mati. Terlepas dari itu semua, ada harapan mahabesar dari umat Islam di seluruh dunia akan keseriusan Arab Saudi mengungkap penyebab tragedi ini. Pada titik yang terdekat, publik tentu berharap sesegera mungkin identifikasi jenazah, korban luka, dan jemaah hilang bisa segera dirampungkan dan diumumkan ke publik demi kenyaman keluarga di negara masing-masing dan di Tanah Air pada khususnya.

Adanya keterlibatan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sebagai organisasi yang menaungi negara-negara Islam dunia untuk ikut dalam penyelidikan kasus ini agar tidak ada manipulasi dan kebohongan demi menutupi dugaan kesalahan keluarga kerajaan tentu sangat diharapkan. Jadi, menghukum pancung penyebab tragedi Mina bukan menjadi cerita akhir dari tragedi berdarah ini. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar