50 Tahun ”Proklamasi” Kedua
Zen RS ; Esais
|
JAWA
POS, 30 September 2015
JIKA waktu-sejarah dunia dibelah melalui
pencacahan yang berporos pada kelahiran Isa Almasih, sebelum Masehi dan
setelah Masehi, bisakah waktu-sejarah Indonesia dicacah dengan warsa 1965
sebagai porosnya: sebelum 1965 dan setelah 1965?
Tahun 1965 menjadi garis batas yang mengubah
paras Indonesia dengan dramatis. Semangat antikolonialisme dan imperialisme
yang begitu kuat melambari kehidupan politik Indonesia sejak 1945 dibabat
habis-habisan. Indonesia, dengan nyaris tiba-tiba, menjadi begitu ramah
kepada Barat dan amat terbuka kepada kekuatan ekonomi-politik yang sebelumnya
menjadi musuh bersama: neo-kolonialisme dan neo-imperialisme.
Sedikit yang ingat bahwa undang-undang
pertama yang dilahirkan rezim Soeharto adalah Undang-Undang No 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA), bukan undang-undang yang lain. Begitu beleid itu ditandatangani, Indonesia
yang sebelumnya demikian sulit dimasuki modal asing menjelma menjadi tambang
yang gampang dikeruk perusahaan asing mana pun.
Freeport, yang belakangan menjadi lambang dari
kekuatan modal asing, menjadi korporasi pertama yang langsung mencicipi
lezatnya kue Indonesia. Pada tahun yang sama
dengan diterbitkannya UU PMA, selang 24 hari seusai Soekarno menyerahkan
kekuasaannya, Freeport langsung mendapatkan konsesi untuk mengeksplorasi bumi
Papua melalui kontrak yang ditandatangani pada 7 April 1967.
Sejak itulah, Indonesia, yang sebelumnya
begitu liat untuk ditaklukkan oleh modal asing, mulai menjadi (ber)sahabat
modal asing. Semangat antikolonialisme dan imperialisme, yang akar tunjangnya
menancap dalam pengalaman sebagai bangsa terjajah, bisa dibilang (nyaris)
raib dengan seketika.
Dan bukan hanya itu! Secara bertahap,
depolitisasi pun dilakukan. Politik mesti tunduk kepada ekonomi –dan ekonomi
di situ nyaris sepenuhnya merujuk ekonomi liberal. Rakyat dijauhkan dengan
politik, jika perlu antipolitik. Politik hanya dibutuhkan ketika pemilu. Itu
pun pemilu yang sudah disederhanakan: Secara kuantitas partai-partai
disederhanakan hanya menjadi tiga, secara kualitas disederhanakan hanya
menjadi Golkar.
Politik lalu menjadi demikian sederhana:
pemerintah. Mendukung pemerintah disebut ”berpolitik dengan bertanggung
jawab” atau ”politik Pancasilais”, sedangkan tidak mendukung pemerintah atau
bahkan sekadar mengkritik pemerintah didakwa sebagai ”politik yang tidak
bertanggung jawab” atau ”anti-Pancasila”.
Untuk semua perubahan itu, titik baliknya
terjadi pada pagi 1 Oktober 1965 –satu hari lagi tepat 50 tahun yang lalu.
Penculikan dan pembunuhan tujuh perwira TNI Angkatan Darat di Lubang Buaya menjadi pemicu utama
dilakukannya operasi plastik besar-besaran terhadap wajah Indonesia.
Perubahan dramatis itu bisa diwakilkan melalui
sosok Soekarno: tokoh utama yang terus-menerus menggali pengalaman sebagai
bangsa terjajah untuk mengampanyekan antikolonialisme dan imperialisme
di/terpaksa menepi dari gelanggang.
Berbarengan dengan tersingkirnya Soekarno,
nasib tragis juga menimpa semua anasir yang sebelumnya gigih menyuarakan
semangat antikolonialisme dan imperialisme.
Jika pada tahap pertama ”kiri”
diidentifikasikan sebagai komunis, pada tahap kedua kemudian dilekatkan
kepada para Soekarnois (anggota PNI atau bukan). Selanjutnya, cap itu,
anehnya, berkembang ke mana-mana secara membabi buta. Dan itu masih
berlangsung hingga hari ini.
Dengan mudahnya seseorang dicap ”komunis”
hanya karena, misalnya, mendiskusikan Marxisme. Masih mending mendiskusikan
Marxisme yang memang masih bertemali dengan komunisme, bahkan sekadar
menuntut negara bertanggung jawab atas kekerasan yang pernah dilakukan negara
pun bisa dicap ”komunis”.
Pemusnahan ”kiri” itulah yang lantas menjelma
sebagai hamparan karpet merah bagi masuknya modal asing di Indonesia. Dan sejak
itu pula, wajah Indonesia berubah dengan seketika: semangat 1945 yang, hingga
taraf tertentu, berwatak antikolonialisme dan imperialisme nyaris musnah dari
wajah (pemerintahan) Indonesia.
Perubahan wajah, dalam proses yang alami,
biasanya berlangsung seiring dengan merambatnya usia. Namun, perubahan yang
drastis nan dramatis hanya bisa dilakukan melalui sejenis operasi plastik
yang menggunakan pisau bedah –dan karenanya berdarah.
Jika 1945 adalah proklamasi yang pertama,
bisakah menerima kalau 1965 adalah proklamasi kedua yang menentukan dan
mengubah Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar