Bergesernya Karakteristik Haji
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar Masjid Istiqlal;
Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan
Persaudaraan Imam Masjid (IPIM)
|
KOMPAS,
07 Oktober 2015
Imam al-Khatib al-Baghdadi dan Imam al-Dailami meriwayatkan
hadis dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Akan datang suatu masa bagi manusia,
orang kaya dari umatku pergi haji untuk berwisata, kelas menengah pergi haji
untuk berbisnis, ulama pergi haji untuk riya' dan popularitas, serta orang
fakir pergi haji untuk minta-minta."
Prediksi Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu tersebut tampaknya
sudah terwujud pada saat ini. Tiga musibah berturut-turut yang terjadi di
Mekkah musim haji ini telah membuat kita terperenyak sekaligus membuat kita
berpikir ulang apa yang salah dalam pelaksanaan ibadah haji selama ini?
Tragedi jatuhnya menara derek (crane) di Masjidil Haram tampaknya lebih disebabkan oleh faktor
cuaca buruk. Sementara tragedi kebakaran di sebuah hotel di Mekkah dan
terinjak-injaknya anggota jemaah haji sampai meninggal hingga mencapai 769
orang, sangat didominasi oleh faktor manusia itu sendiri.
Ketika kita berbicara tentang faktor manusia, maka yang paling
mendominasi dari munculnya tragedi tersebut adalah kepadatan jumlah manusia
yang sudah melampaui batas kewajaran daya tampung Mina. Ini diperparah
egoisme sebagian anggota jemaah yang lebih mementingkan diri sendiri tanpa
melihat bahaya yang akan menimpa, baik dirinya maupun orang lain.
Hadis di atas, kendati berupa prediksi, sejatinya merupakan
sebuah peringatan dari Nabi agar umat Islam jangan menjalankan ibadah haji
karena faktor tersebut. Peringatan Nabi ini tampaknya berlalu begitu saja
tanpa menjadi perhatian umat Islam. Kenyataannya, ibadah haji yang semestinya
tidak perlu dipromosikan karena ia merupakan kewajiban setiap Muslim yang
mampu dalam melakukan perjalanan ke Mekkah, telah dipromosikan dengan
dahsyat.
Alhasil, banyak umat Islam yang terkecoh dengan promosi tersebut,
yang akhirnya banyak yang berulang-ulang pergi haji ke Mekkah kendati hal itu
tak wajib dalam agama Islam dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Kami sering menanyakan kepada anggota jemaah haji, berapa kali ia ingin
menjalankan ibadah haji. Ternyata tidak satu pun yang menjawab dia ingin
berhaji cukup sekali, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Di antara mereka
ada yang menyatakan minimal ingin berhaji tiga kali. Ada juga yang menjawab
minimal tujuh kali.
Kami amati dari belahan dunia sebelah barat, di Maroko dan
Aljazair sampai di semua wilayah Amerika Serikat, bahkan tidak lupa di negeri
kita, Indonesia, promosi haji dan umrah sangat luar biasa. Musim haji
sekarang belum selesai, tetapi kita lihat koran-koran sudah memuat promosi
haji dan umrah untuk tahun depan. Di AS, apabila kita masuk ke sebuah
restoran halal dan atau toko halal food, kita akan dengan mudah (dan gratis)
mendapatkan aneka tabloid. Semula kami heran mengapa tabloid itu dibagikan
secara gratis, padahal hal tersebut terjadi di AS. Ternyata tabloid itu hanya
pada halaman pertama yang memuat berita, selebihnya memuat iklan tentang haji
dan umrah.
Menjadi sebuah
industri
Maka, tidak mengherankan jika keberhasilan promosi haji dan
umrah ini telah membuat Mekkah dan sekitarnya tidak mampu menampung anggota
jemaah haji. Di sisi lain, jemaah menuntut fasilitas yang berlebihan dengan
alasan agar ibadah dan istirahatnya nyaman. Maka, para penyelenggara haji pun
menyambut permintaan itu dengan menyiapkan segala fasilitas yang luar biasa,
baik penginapan, akomodasi, transportasi, kuliner, maupun tempat-tempat
belanja.
Maka, sangat pas apabila disebut bahwa karakteristik ibadah haji
telah bergeser dari sebuah ibadah yang seyogianya memiliki karakter
kekhusyukan, tidak mementingkan diri sendiri, dan sebagainya, menjadi sebuah
industri produk kapitalisme yang cenderung untuk memikirkan kepentingan
sendiri dengan menikmati fasilitas yang luar biasa.
Di sisi lain, kuota haji yang ditetapkan oleh Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI) dengan porsi dari 1.000 penduduk boleh mengirimkan 1 orang
calon haji tampaknya perlu ditinjau ulang. Penetapan kuota ini sudah
berlangsung lebih kurang 35 tahun dan tidak pernah mengalami perubahan. Tentu
saja kondisi 35 tahun lalu dengan saat ini sangat berbeda. Maka, sangat
mendesak, OKI perlu mengubah kuota ini menjadi, misalnya, dari setiap 5.000
orang boleh mengirim 1 orang untuk berhaji.
Adapun untuk mencegah orang-orang yang memiliki penyakit sosial,
yaitu mereka yang suka berulang-ulang berhaji, perlu dikeluarkan fatwa yang
bersifat internasional. Bahwa, berhaji ulang dalam kondisi perhajian yang
karut-marut, seperti saat ini, adalah haram, kecuali ada unsur kewajiban
syariat.
Seorang ulama dari Arab Saudi, Dr Syeikh Ahmad bin Nafi'
al-Muwarra'i, dalam bukunya Nazharat fi
Haj al-Tathawwu' menyebutkan bahwa berhaji ulang dalam kondisi perhajian
seperti sekarang ini adalah perbuatan zalim yang besar. Dan, kezaliman yang
besar adalah sebuah perbuatan yang diharamkan. Pemerintah Arab Saudi telah
berupaya semaksimal mungkin untuk melayani jemaah haji dengan membangun
fasilitas yang luar biasa. Semua itu agar para tamu Allah mendapatkan
kenyamanan ketika beribadah, beristirahat, dan ketika bertransportasi.
Namun, upaya yang luar biasa itu akan selalu sia-sia kalau tidak
dibarengi upaya-upaya mengurangi jumlah orang yang beribadah haji. Juga upaya
itu akan sia-sia jika tak dibarengi upaya memperbaiki mentalitas anggota
jemaah agar tidak egois dengan mementingkan diri sendiri dalam beribadah,
melainkan memberikan kesempatan kepada orang lain dalam beribadah serta
menjauhi bahaya yang mungkin menimpa dirinya dan atau orang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar