Agenda
Reforma Agraria
Khudori ;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
(2010-sekarang)
|
REPUBLIKA,
18 Agustus 2014
Sambil menunggu proses akhir pemilihan presiden di Mahkamah
Konstitusi, presiden terpilih Joko Widodo langsung tancap gas: membentuk Tim
Transisi. Tim untuk memuluskan proses transisi dari presiden lama ke presiden
baru. Tim yang dikomandani eks menperindag Rini Soemarno itu punya tiga
tugas. Pertama, menuntaskan pembahasan RAPBN 2015. Kedua, mengkaji
kelembagaan presiden, arsitektur kabinet dan kelompok kerja untuk mempercepat
visi dan misi. Ketiga, menyusun konsep skala prioritas jangka pendek dan
menengah berdasarkan visi, misi, dan janji-janji kampanye Jokowi-JK. Tim
transisi hanya membuat rekomendasi, keputusan akhir sepenuhnya di tangan
Jokowi-JK.
Dalam visi, misi, dan janji kampanye Jokowi-JK bertekad membawa
Indonesia berdaulat di bidang pangan. Tampak dalam visi, misi, dan program
kerja Jokowi-JK memprioritaskan soal tanah/lahan. Tanah merupakan harta tak
ternilai. Bagi petani, bukan hanya bagian hidup, tanah adalah sumber
kehidupan, simbol martabat dan identitas. Di kalangan masyarakat Jawa
terdapat prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun
sejengkal, tanah bagian kehormatan yang dibela hingga mati). Artinya,tanah
memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal
manusia dan modal uang. Tapi bagi petani, modal tanah amat menentukan akses
terhadap modal lainnya. Itu karenanya, redistribusi tanah (landreform) jadi agenda hampir semua
negara di dunia. Semua negara yang struktur politik, ekonomi, dan sosialnya
kukuh dan baik, seperti AS, Tiongkok, Jepang, atau Korea memulai pembangunan
ekonominya lewat landreform. Landreform jadi bagian penting menata struktur
politik-ekonomi-sosial yang feodalistik.
Indonesia memulai landreform
tahun 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-cita pendiri bangsa saat itu adalah
menata ulang struktur agraria nasional yang feodalistik dan kolonialistik
serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok menjadi struktur agraria yang
berkeadilan sosial. Landreform
dilakukan setelah UU Pokok Agraria No 5/1960 disahkan bersamaan lahirnya UU
Nomor 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Sayang, landreform
yang menurut Bung Karno "bagian mutlak revolusi" ternoda konflik
vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat.
Kelompok kiri pendukung landreform bersitegang dengan kelompok kanan penolak
landreform. Stabilitas politik terguncang. Landreform era Bung Karno terhenti
seiring pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto tak menjadikan
landreform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan
mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun landreform dimusuhi dan
diberangus. Bahkan, para penganjurnya dicap "kiri".
Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam (SDA) amat tepat menggambarkan kondisi agraria hasil 30 tahun Orde
Baru. Pertama, kepemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam kian
timpang. Kedua, konflik penguasaan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan
alam makin masif. Ketiga, peraturan yang terkait agraria/sumber daya alam
bersifat eksploratif, sektoral, sentralistis, lebih berpihak pada pemodal
besar dan pemegang kuasa, dan tidak ada pengaturan memadai guna melindungi
HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal. Keempat, peraturan yang terkait dengan
konservasi SDA tidak memberi jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan
fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka panjang.
Dampaknya, tumpang-tindih peraturan membuat tak jelasnya
otoritas atas SDA dan salah urus pengelolaan SDA. Akibatnya, terjadi
pengurasan dan pengerukan SDA tanpa batas. Hasilnya adalah kemiskinan
mayoritas rakyat.
Pada 2006 Presiden SBY pernah berjanji membagikan 8,15 juta
hektare lahan untuk rakyat. Secara ekonomi, landreform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas
kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen, dan
infrastruktur—yang dikenal reforma agraria—akan membuat rakyat lebih berdaya,
seperti terbukti di Jepang (Hayami,
1997), dan Zimbabwe (Waeterloos dan
Rutherford, 2004). Reforma agraria bisa jadi solusi soal-soal struktural,
seperti pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria di segelintir
orang, tingginya sengketa/konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan
energi, dan sebagainya
Delapan tahun berlalu janji tinggal janji. Struktur
sosial-ekonomi yang timpang tidak dikoreksi, bahkan kian akut. Ini tampak
dari kepemilikan lahan. Hanya 0,2 persen penduduk yang menguasai 56 persen
aset nasional dengan konsentrasi aset 87 persen dalam bentuk tanah. Ini
berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Bahkan koefesien gini
lahan sebagai alat ukur ketimpangan dalam penguasaan lahan sudah mencapai
0,536 (Winoto, 2010), melampaui
batas psikologis "titik ledak" gejolak sosial di perdesaan.
Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani
luar Jawa tunatanah. Di sisi lain, 7,3 juta hektare tanah atau 133 kali luas
negara Singapura yang dikuasai swasta dan BUMN ditelantarkan. Sekitar 1,935
juta hektare tanah yang telantar merupakan tanah hak guna usaha (Winoto, 2010). Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi
ini jauh lebih buruk ketimbang kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997).
Konsentrasi kekayaan Indonesia kini lebih parah dibandingkan negara tetangga:
3 kali lebih tinggi dari Thailand, 4 kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali
dari Singapura (Winters, 2011).
Tampaklah salah satu persoalan mendasar negeri ini sesungguhnya
ketimpangan kepemilikan sumber daya lahan. Ketimpangan itu membuat
kesenjangan kaya-miskin kian melebar, seperti terlihat dari meroketnya Gini
Rasio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2013 (kian tinggi kian timpang).
Ini pertama kalinya Gini Rasio masuk ketimpangan menengah. Tanpa menyentuh
masalah struktural ini, akan sulit untuk melepaskan warga dari jerat
kemiskinan dan pengangguran, termasuk bisa berdaulat di bidang pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar