Kamis, 21 Maret 2013

Stabilisasi Harga Daging


Stabilisasi Harga Daging
Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat 
REPUBLIKA, 19 Maret 2013


Lebih dari lima bulan harga daging sapi bertahan di level tinggi, rata-rata Rp 90 ribu/kg. Dibandingkan dengan harga komoditas serupa di negara-negara tetangga, harga daging di Indonesia tergolong tinggi. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, harga daging saat ini tergolong anomali. 

Biasanya, harga daging melonjak tinggi menjelang dan saat Idul Adha. Setelah itu, harga turun. Siklus `normal' itu tak terjadi. Sejak Idul Adha pada Oktober lalu, harga daging tetap bertahan tinggi. Belum ada tanda-tanda harga bergerak menurun. Konsumen daging, seperti penjual bakso, pengelola warung makan, dan ibu-ibu rumah tangga, menjerit. Tekanan para penjual daging sapi di sejumlah daerah yang mogok berjualan tidak membuat pemerintah bergerak melakukan intervensi. Konsumen dibiarkan mencari jalan keluar sendiri-sendiri, termasuk lewat cara-cara tidak terpuji. 

Bahkan, ada pedagang yang menjual bakso daging sapi yang telah dioplos dengan daging babi dan celeng yang harganya lebih murah. Tingginya harga daging mendorong pelbagai tindakan aji mumpung, baik melalui permainan impor maupun penyelundupan.

Ditilik dari sisi kesehatan, tingginya harga daging sapi akan mengganggu upaya perbaikan gizi masyarakat. Saat ini, konsumsi daging sapi per kapita orang Indonesia hanya 2,1 kg per orang per tahun, jauh dari konsumsi per kapita daging di Vietnam (empat kg), Singapura (enam kg), atau Malaysia (delapan kg). 

Memang daging sapi bisa disubstitusi oleh sumber daging lain, seperti daging ayam atau kelinci. Namun, tetap saja ada gizi di daging sapi yang tidak ditemukan pada daging ayam atau kelinci. Peradaban bangsa dibangun melalui kebudayaan secara intens, kontinu, dan konsisten. Sebagai proses belajar yang tidak pernah usai, kebudayaan membutuhkan dukungan banyak faktor, antara lain, kecukupan gizi para pelakunya. Tanpa gizi yang cukup, kreasi kebudayaan bakal terganggu.

Salah satu hal terpenting dalam kebudayaan adalah daya cipta atau kreativitas. Berkembangnya daya cipta amat ditentukan oleh kondisi fisik para pelaku kebudayaan. Kondisi fisik yang prima lebih memudahkan penyerapan dan internalisasi nilai-nilai kebudayaan, seperti nilai-nilai etik, estetik, dan saintis (Tranggono, 2007). 

Sejarah membuktikan, bangsa yang mampu menghasilkan peradaban tinggi umumnya memiliki badan dan jiwa yang sehat. Badan dan jiwa yang sehat dibangun dari kecukupan gizi. Agar kecukupan gizi terjamin, akses terhadap sumber-sumber gizi menjadi amat penting.

Harga daging sapi yang tinggi membuat akses warga terganggu. Pertanyaannya, bagaimana menekan harga daging? Lebih dari itu, bagaimana mengendalikan harga daging? Sampai saat ini, kita belum memiliki instrumen pengendali harga daging. Harga sepenuhnya diserahkan mekanisme pasar.
Celakanya, pasar daging jauh dari sempurna. Dalam kondisi demikian, sekelompok kecil orang yang mengendalikan pasokan mudah mendikte harga daging di pasar untuk mengeruk keuntungan berlebih (windfall profit).  Menghadapi kondisi itu, negara yang seharusnya melakukan intervensi justru absen.

Sebetulnya, meskipun belum ada instrumen stabilisasi harga daging, pemerintah bisa memanfaatkan pelbagai kebijakan yang ada sebagai piranti pengendali. Pertama, mengatur keseimbangan pasokan dan permintaan (supply and demand).  Tekanan di salah satu sisi akan membuat keseimbangan harga terganggu.  Kenaikan harga daging saat ini salah satunya disumbang oleh tidak seimbangnya supply dan demand

Yakin dengan populasi ternak sapi 14,82 juta ekor hasil sensus pada 2011, pemerintah memangkas drastis kuota impor (daging beku dan sapi bakalan). Pemangkasan kuota impor itu sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk mencapai swasembada daging 2014.  Tidak ada yang salah dengan swasembada daging 2014. Namun, pemangkasan drastis kuota impor tanpa mempertimbangkan kemampuan produksi daging domestik sama saja bunuh diri. Pada 2011, kuota impor masih 35 persen dari kebutuhan domestik. Namun, pada 2012 dan 2013 dipangkas, tinggal 17,5 persen dan 13,4 persen. 

Padahal, kemampuan produksi daging domestik belum memadai. Ilustrasinya, kebutuhan daging nasional 2012 mencapai 484.060 ton. Dari jumlah itu, sumbangan daging lokal 399.320 ton atau 2,4 juta ekor. Masalahnya, jumlah sapi jantan dewasa siap potong cuma 1,45 juta ekor. Dari mana kekurangan 0,95 juta ekor? Pemerintah perlu cermat menghitung supply-demand.

Kedua, melakukan tender kuota impor. Selama ini, kuota impor ditentukan secara tertutup lewat penunjukan langsung. Mekanisme yang tertutup ini diduga menjadi salah satu biang mahalnya harga daging karena importir membebankan pelbagai biaya siluman, apakah itu suap atau pungutan, menjadi bagian dari margin keuntungan. 

Dengan tender, perusahaan bersaing adil dan sehat. Peluang dan potensi korupsi bisa dicegah. Publik pun bisa ikut andil mengawasi. Perusahaan yang biasa menyediakan daging dengan harga termurah dan kualitas terjaga bisa ditetapkan sebagai pemenang tender. Dengan cara ini, karena margin keuntungan ditekan, dengan sendirinya harga akan terkendali rendah. Agar tak terjadi jual beli hasil tender, pemerintah harus melakukan pengawasan ketat.

Ketiga, memperlancar distribusi daging dan sapi dari sentra produsen ke sentra konsumen. Kita belum memiliki moda transportasi khusus ternak. Selama ini, sapi dari NTT atau NTB diangkut menggunakan kapal (umum). Ongkos angkut mahal karena saat balik, kapal kosong. Ini salah satu yang membuat harga daging sapi lokal lebih mahal ketimbang impor. Lagi pula, karena kapal tak didesain khusus, selama perjalanan, sapi bisa stres dan susut bobot. 

Agar gangguan distribusi bisa diminimalkan, pemerintah harus membangun moda transportasi khusus untuk ternak sapi. Apabila kita konsisten melakukan tiga syarat di atas, ada peluang harga daging bisa dikendalikan.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar