Lebih dari lima bulan harga daging sapi
bertahan di level tinggi, rata-rata Rp 90 ribu/kg. Dibandingkan dengan harga
komoditas serupa di negara-negara tetangga, harga daging di Indonesia
tergolong tinggi. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, harga daging saat
ini tergolong anomali.
Biasanya, harga daging melonjak tinggi
menjelang dan saat Idul Adha. Setelah itu, harga turun. Siklus `normal' itu
tak terjadi. Sejak Idul Adha pada Oktober lalu, harga daging tetap bertahan
tinggi. Belum ada tanda-tanda harga bergerak menurun. Konsumen daging,
seperti penjual bakso, pengelola warung makan, dan ibu-ibu rumah tangga,
menjerit. Tekanan para penjual daging sapi di sejumlah daerah yang mogok
berjualan tidak membuat pemerintah bergerak melakukan intervensi. Konsumen
dibiarkan mencari jalan keluar sendiri-sendiri, termasuk lewat cara-cara
tidak terpuji.
Bahkan, ada pedagang yang menjual bakso
daging sapi yang telah dioplos dengan daging babi dan celeng yang harganya
lebih murah. Tingginya harga daging mendorong pelbagai tindakan aji
mumpung, baik melalui permainan impor maupun penyelundupan.
Ditilik dari sisi kesehatan, tingginya
harga daging sapi akan mengganggu upaya perbaikan gizi masyarakat. Saat
ini, konsumsi daging sapi per kapita orang Indonesia hanya 2,1 kg per orang
per tahun, jauh dari konsumsi per kapita daging di Vietnam (empat kg), Singapura
(enam kg), atau Malaysia (delapan kg).
Memang daging sapi bisa disubstitusi oleh
sumber daging lain, seperti daging ayam atau kelinci. Namun, tetap saja ada
gizi di daging sapi yang tidak ditemukan pada daging ayam atau kelinci.
Peradaban bangsa dibangun melalui kebudayaan secara intens, kontinu, dan
konsisten. Sebagai proses belajar yang tidak pernah usai, kebudayaan
membutuhkan dukungan banyak faktor, antara lain, kecukupan gizi para pelakunya.
Tanpa gizi yang cukup, kreasi kebudayaan bakal terganggu.
Salah satu hal terpenting dalam kebudayaan
adalah daya cipta atau kreativitas. Berkembangnya daya cipta amat
ditentukan oleh kondisi fisik para pelaku kebudayaan. Kondisi fisik yang
prima lebih memudahkan penyerapan dan internalisasi nilai-nilai kebudayaan,
seperti nilai-nilai etik, estetik, dan saintis (Tranggono, 2007).
Sejarah membuktikan, bangsa yang mampu
menghasilkan peradaban tinggi umumnya memiliki badan dan jiwa yang sehat.
Badan dan jiwa yang sehat dibangun dari kecukupan gizi. Agar kecukupan gizi
terjamin, akses terhadap sumber-sumber gizi menjadi amat penting.
Harga daging sapi yang tinggi membuat akses
warga terganggu. Pertanyaannya, bagaimana menekan harga daging? Lebih dari
itu, bagaimana mengendalikan harga daging? Sampai saat ini, kita belum
memiliki instrumen pengendali harga daging. Harga sepenuhnya diserahkan
mekanisme pasar.
Celakanya, pasar daging jauh dari sempurna. Dalam kondisi demikian, sekelompok
kecil orang yang mengendalikan pasokan mudah mendikte harga daging di pasar
untuk mengeruk keuntungan berlebih (windfall
profit). Menghadapi kondisi itu, negara yang seharusnya melakukan
intervensi justru absen.
Sebetulnya, meskipun belum ada instrumen
stabilisasi harga daging, pemerintah bisa memanfaatkan pelbagai kebijakan
yang ada sebagai piranti pengendali. Pertama, mengatur keseimbangan pasokan
dan permintaan (supply and demand).
Tekanan di salah satu sisi akan membuat keseimbangan harga terganggu.
Kenaikan harga daging saat ini salah satunya disumbang oleh tidak seimbangnya
supply dan demand.
Yakin dengan populasi ternak sapi 14,82
juta ekor hasil sensus pada 2011, pemerintah memangkas drastis kuota impor
(daging beku dan sapi bakalan). Pemangkasan kuota impor itu sebagai bagian
dari komitmen pemerintah untuk mencapai swasembada daging 2014. Tidak
ada yang salah dengan swasembada daging 2014. Namun, pemangkasan drastis
kuota impor tanpa mempertimbangkan kemampuan produksi daging domestik sama
saja bunuh diri. Pada 2011, kuota impor masih 35 persen dari kebutuhan
domestik. Namun, pada 2012 dan 2013 dipangkas, tinggal 17,5 persen dan 13,4
persen.
Padahal, kemampuan produksi daging domestik
belum memadai. Ilustrasinya, kebutuhan daging nasional 2012 mencapai
484.060 ton. Dari jumlah itu, sumbangan daging lokal 399.320 ton atau 2,4
juta ekor. Masalahnya, jumlah sapi jantan dewasa siap potong cuma 1,45 juta
ekor. Dari mana kekurangan 0,95 juta ekor? Pemerintah perlu cermat
menghitung supply-demand.
Kedua, melakukan tender kuota impor. Selama
ini, kuota impor ditentukan secara tertutup lewat penunjukan langsung.
Mekanisme yang tertutup ini diduga menjadi salah satu biang mahalnya harga
daging karena importir membebankan pelbagai biaya siluman, apakah itu suap
atau pungutan, menjadi bagian dari margin keuntungan.
Dengan tender, perusahaan bersaing adil dan
sehat. Peluang dan potensi korupsi bisa dicegah. Publik pun bisa ikut andil
mengawasi. Perusahaan yang biasa menyediakan daging dengan harga termurah
dan kualitas terjaga bisa ditetapkan sebagai pemenang tender. Dengan cara
ini, karena margin keuntungan ditekan, dengan sendirinya harga akan
terkendali rendah. Agar tak terjadi jual beli hasil tender, pemerintah
harus melakukan pengawasan ketat.
Ketiga, memperlancar distribusi daging dan
sapi dari sentra produsen ke sentra konsumen. Kita belum memiliki moda transportasi
khusus ternak. Selama ini, sapi dari NTT atau NTB diangkut menggunakan
kapal (umum). Ongkos angkut mahal karena saat balik, kapal kosong. Ini
salah satu yang membuat harga daging sapi lokal lebih mahal ketimbang
impor. Lagi pula, karena kapal tak didesain khusus, selama perjalanan, sapi
bisa stres dan susut bobot.
Agar gangguan distribusi bisa diminimalkan,
pemerintah harus membangun moda transportasi khusus untuk ternak sapi.
Apabila kita konsisten melakukan tiga syarat di atas, ada peluang harga
daging bisa dikendalikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar