Kamis, 21 Maret 2013

Gubernur BI dan Pemilu 2014


Gubernur BI dan Pemilu 2014
Yunan Syaifullah  ;  Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang 
REPUBLIKA, 19 Maret 2013


Proses pemilihan Gubernur Bank Indonesia berjalan antiklimaks. Masih kalah jauh meriah berita dan peristiwa politik korupsi di negeri ini. Ironisnya, berita kenaikan harga-harga kebutuhan rumah tangga yang meroket mampu menutupi masalah serius tentang gubernur Bank Indonesia itu sendiri. Proses pemilihan gubernur Bank Indonesia pada akhirnya berjalan dengan keputusan aklamasi dalam sidang Komisi XI DPR RI. Karena itu, nama Agus DW Martowardojo terpilih aklamasi dan menjadi satu-satunya calon gubernur Bank Indonesia (BI) yang diterima DPR. 

Kendati keputusan itu aklamatif dan meredam pro-kontra yang selama ini beredar tentang gubernur BI, justru sorotan tentang gubernur BI itu tidak makin pudar dan melemah. Sorotan itu setidaknya mengarah pada dua pandangan besar yang mesti dicermati. 

Pertama, keputusan aklamasi di gedung DPR melalui Komisi XI itu terkesan kepentingan politik jangka pendek begitu kuat dan mengabaikan soal kompetensi personal yang selama ini diperbincangkan banyak kalangan.
Kedua, tugas dan peran BI yang jauh lebih besar dan berat di tengah momentum ekonomi Indonesia yang positif. 

Calon gubernur BI satu-satunya yang diajukan pemerintah makin menegaskan bahwa Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono (SBY) memiliki kuasa penuh untuk mengamankan kepentingan jangka pendek. Utamanya Pemilu 2014. Bagi publik, fenomena ini tentu menjadi perhatian serius. 

Meskipun memiliki latar belakang sebagai bankir, Agus DW Martowardojo jika benar-benar terpilih menjadi gubernur BI akan berhadapan dengan berbagai masalah serius yang tak lagi ringan, yakni stabilisasi ekonomi. Sebagai gubernur bank sentral di Indonesia, dituntut memiliki pemahaman yang kuat dan utuh tentang stabilisasi ekonomi Indonesia. 

Berulang kali, Presiden SBY merasa risau masih kuatnya praktik inefisien anggaran dan lembaga negara dalam layanan publik. Peristiwa ini, secara ekonomi seolah membuka kembali pikiran yang kini sedang dibahas intensif tentang ketangguhan fiskal. 

Bahasan ini makin kencang terutama sejak krisis ekonomi terjadi. Krisis ekonomi telah membuat Pemerintah Indonesia terbelit utang yang berat untuk menutup defisit APBN. Utang pemerintah telah bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga perempat dari pertambahan ini meru- pakan utang dalam negeri yang harus dibayar untuk restrukturisasi perbankan (Boediono, 2009).

Secara konseptual, APBN dikatakan berkesinambungan apabila ia memiliki kemampuan untuk membiayai seluruh belanjanya selama jangka waktu yang tidak terbatas (Langenus, 2006; Yeyati dan Sturzenegger, 2007). Konsekuensinya, kesinambungan fiskal harus mampu pula memperhitungkan risiko fiskal. Stabilitas makroekonomi merupakan salah satu syarat perlu bagi kesinambungan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, upaya untuk memahami sumber-sumber instabilitas kondisi makroekonomi merupakan salah satu tantangan yang senantiasa mendapatkan perhatian penting dalam ranah ilmu ekonomi. 

Peran sektor finansial dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi telah lama menjadi kajian serius, khususnya sejak Schumpeter (1912). Berdasarkan kajian terhadap berbagai penelitian yang telah dilakukan, hubungan antara perkembangan sektor finansial dan pertumbuhan ekonomi cenderung tidak konklusif. 

Kebijakan Jangka Panjang

Stabilisasi ekonomi, jangkar kebijakan yang tidak boleh disepelekan adalah masalah kebijakan fiskal dan moneter untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal fokus pada alokasi sumber daya ekonomi yang termaktub dalam APBN, sedangkan kebijakan moneter fokus untuk memegaruhi kegiatan eko nomi melalui instrumen uang beredar, inflasi, suku bunga, neraca pembayaran, dan nilai tukar. 

Kebijakan fiskal memiliki peran yang terbatas karena anggaran negara jumlahnya amat kecil dibandingkan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan. Karena itu, kebijakan moneter diharapkan menjadi tumpuan yang kuat untuk mengisi keterbatasan kebijakan fiskal tersebut. 
Kebijakan moneter memiliki peran strategis untuk memulihkan perekonomian. Dalam situasi inilah, gubenur BI yang baru harus memenuhi kualifikasi kebijakan jangka panjang bukan semata-mata untuk mengamankan kepentingan jangka pendek.

Ekonomi Indonesia saat ini tidak bisa dimungkiri sedang berada dalam momentum yang baik dan positif. Akan tetapi, masalah ekonomi yang serius hingga kini masih lamban untuk disikapi dan ditangani. Misalnya, masalah infrastruktur dan sektor riil yang bisa memicu kegiatan ekonomi. Lubang ini menjadi makin menambah pekerjaan di sisi moneter, yakni kebijakan moneter yang bisa memengaruhi kegiatan sektor riil.

Dalam kaitan tersebut, ada tiga tugas penting BI. Tugas pertama memperpendek jarak sektor riil dengan sektor moneter. Kedua, tata kelola sektor keuangan yang peduli pelaku ekonomi pada umumnya. Ketiga, masalah independensi BI yang bisa dan memiliki kerangka lembaga keuangan negara yang berpihak pada jangka panjang, bukan untuk kepentingan jangka pendek. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar