Proses
pemilihan Gubernur Bank Indonesia berjalan antiklimaks. Masih kalah jauh
meriah berita dan peristiwa politik korupsi di negeri ini. Ironisnya, berita
kenaikan harga-harga kebutuhan rumah tangga yang meroket mampu menutupi
masalah serius tentang gubernur Bank Indonesia itu sendiri. Proses
pemilihan gubernur Bank Indonesia pada akhirnya berjalan dengan keputusan aklamasi
dalam sidang Komisi XI DPR RI. Karena itu, nama Agus DW Martowardojo
terpilih aklamasi dan menjadi satu-satunya calon gubernur Bank Indonesia
(BI) yang diterima DPR.
Kendati
keputusan itu aklamatif dan meredam pro-kontra yang selama ini beredar
tentang gubernur BI, justru sorotan tentang gubernur BI itu tidak makin
pudar dan melemah. Sorotan itu setidaknya mengarah pada dua pandangan besar
yang mesti dicermati.
Pertama,
keputusan aklamasi di gedung DPR melalui Komisi XI itu terkesan kepentingan
politik jangka pendek begitu kuat dan mengabaikan soal kompetensi personal
yang selama ini diperbincangkan banyak kalangan.
Kedua, tugas dan peran BI yang jauh lebih besar dan berat di tengah
momentum ekonomi Indonesia yang positif.
Calon
gubernur BI satu-satunya yang diajukan pemerintah makin menegaskan bahwa
Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono (SBY) memiliki kuasa penuh untuk
mengamankan kepentingan jangka pendek. Utamanya Pemilu 2014. Bagi publik,
fenomena ini tentu menjadi perhatian serius.
Meskipun
memiliki latar belakang sebagai bankir, Agus DW Martowardojo jika
benar-benar terpilih menjadi gubernur BI akan berhadapan dengan berbagai
masalah serius yang tak lagi ringan, yakni stabilisasi ekonomi. Sebagai
gubernur bank sentral di Indonesia, dituntut memiliki pemahaman yang kuat
dan utuh tentang stabilisasi ekonomi Indonesia.
Berulang
kali, Presiden SBY merasa risau masih kuatnya praktik inefisien anggaran
dan lembaga negara dalam layanan publik. Peristiwa ini, secara ekonomi seolah
membuka kembali pikiran yang kini sedang dibahas intensif tentang
ketangguhan fiskal.
Bahasan
ini makin kencang terutama sejak krisis ekonomi terjadi. Krisis ekonomi
telah membuat Pemerintah Indonesia terbelit utang yang berat untuk menutup
defisit APBN. Utang pemerintah telah bertambah menjadi tiga sampai empat
kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga perempat dari
pertambahan ini meru- pakan utang dalam negeri yang harus dibayar untuk
restrukturisasi perbankan (Boediono, 2009).
Secara
konseptual, APBN dikatakan berkesinambungan apabila ia memiliki kemampuan
untuk membiayai seluruh belanjanya selama jangka waktu yang tidak terbatas
(Langenus, 2006; Yeyati dan Sturzenegger, 2007). Konsekuensinya,
kesinambungan fiskal harus mampu pula memperhitungkan risiko fiskal. Stabilitas
makroekonomi merupakan salah satu syarat perlu bagi kesinambungan
pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, upaya untuk memahami sumber-sumber
instabilitas kondisi makroekonomi merupakan salah satu tantangan yang
senantiasa mendapatkan perhatian penting dalam ranah ilmu ekonomi.
Peran
sektor finansial dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi telah lama menjadi
kajian serius, khususnya sejak Schumpeter (1912). Berdasarkan kajian
terhadap berbagai penelitian yang telah dilakukan, hubungan antara
perkembangan sektor finansial dan pertumbuhan ekonomi cenderung tidak
konklusif.
Kebijakan Jangka Panjang
Stabilisasi
ekonomi, jangkar kebijakan yang tidak boleh disepelekan adalah masalah kebijakan
fiskal dan moneter untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal fokus
pada alokasi sumber daya ekonomi yang termaktub dalam APBN, sedangkan
kebijakan moneter fokus untuk memegaruhi kegiatan eko nomi melalui
instrumen uang beredar, inflasi, suku bunga, neraca pembayaran, dan nilai
tukar.
Kebijakan
fiskal memiliki peran yang terbatas karena anggaran negara jumlahnya amat
kecil dibandingkan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan. Karena itu,
kebijakan moneter diharapkan menjadi tumpuan yang kuat untuk mengisi
keterbatasan kebijakan fiskal tersebut.
Kebijakan
moneter memiliki peran strategis untuk memulihkan perekonomian. Dalam
situasi inilah, gubenur BI yang baru harus memenuhi kualifikasi kebijakan
jangka panjang bukan semata-mata untuk mengamankan kepentingan jangka
pendek.
Ekonomi
Indonesia saat ini tidak bisa dimungkiri sedang berada dalam momentum yang
baik dan positif. Akan tetapi, masalah ekonomi yang serius hingga kini
masih lamban untuk disikapi dan ditangani. Misalnya, masalah infrastruktur
dan sektor riil yang bisa memicu kegiatan ekonomi. Lubang ini menjadi makin
menambah pekerjaan di sisi moneter, yakni kebijakan moneter yang bisa
memengaruhi kegiatan sektor riil.
Dalam
kaitan tersebut, ada tiga tugas penting BI. Tugas pertama memperpendek
jarak sektor riil dengan sektor moneter. Kedua, tata kelola sektor keuangan
yang peduli pelaku ekonomi pada umumnya. Ketiga, masalah independensi BI
yang bisa dan memiliki kerangka lembaga keuangan negara yang berpihak pada
jangka panjang, bukan untuk kepentingan jangka pendek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar