PUBLIK terpikat pada ujaran Anas Urba ningrum saat ia
lengser dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Banyak orang ingin tahu
tentang halaman-halaman baru yang akan dibuka dan dibaca bersama-sama. Di
baliknya, seolah ada misteri politik yang mengguncangkan. Orang segera
beralih dari riuh rendah tentang `janji Monas' menuju `babak baru'
penyingkapan kejahatan kekuasaan di Indonesia. Yang ingin mengorek
informasi dari Anas bukan hanya orang awam. Para politikus dan pejabat
publik tidak sungkan-sungkan `mampir' ke pihak Anas demi sepotong kisah
yang mungkin terucap dari salah seorang tersangka kasus Hambalang itu.
KPK, yang dianggap banyak kalangan bergerak lamban mengurus kasus
Century, tidak ketinggalan berusaha mendekati sang sumber data. Setelah KPK
menyebut Anas sebagai tersangka korupsi, kini orang-orang KPK sepertinya
harus `merapat' ke Anas agar menemukan akurasi informasi seputar Century.
Penyebutan beberapa nama yang tersangkut kejahatan Century seolah memompa
hasrat KPK. Namun, rasa geli meluncur tidak tertahankan.
Demokrasi, politik, dan hukum menghadirkan tragedi sekaligus dagelan.
Politik bisa mengubah seseorang menjadi sangat perkasa, punya banyak kuasa,
tetapi sekilas kemudian di hadapan hukum menjadi tersangka kejahatan.
Beberapa saat kemudian, yang dianggap sebagai pesakitan seolah masih
memiliki kekuatan menentukan arah demokrasi.
Media Indonesia mengulas kembali kasus Century. Itu dianggap sebagai
salah satu masalah terbesar dalam periode kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Editorial Media Indonesia (6/3/2013), `Lembar K a sus
Century', mengulas posisi Anas dalam membongkar ke jahatan kekuasaan pada
skandal Bank Century. Sebetulnya, publik tidak melihat alasan yang cukup ra
sional dalam hal kelam banan KPK mengusut kasus tersebut. Apalagi, di
lembaga legislatif, ada tim khusus yang memantau proses hukum tragedi
Century. Dengan demikian, tidak cukup beralasan juga manakala KPK be gitu
‘mengharapkan’ bantuan Anas membocorkan ‘lembaran lembaran misterius’ yang
ada dalam genggamannya.
KPK dengan dukungan publik harus mampu membaca keseluruhan buku
kejahatan kekuasaan dengan versi dan kepentingan yang berbeda! Kejahatan
kekuasaan (korupsi) di Indonesia punya penjelasan dalam relung politik dan
demokratisasi.
Pendekatan
Demokrasi liberal dengan terjemahan radikal pasca-1998
terumbar ke dalam formasi politik dan kekua saan yang amat masif. Pilihan
beremokrasi dengan demokrasi dengan tumpuan utama pada sistem banyak partai
menghadirkan implikasi masif yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Penyebaran
kekuasaan menjadikan kekuasaan sarat kontestasi politik dan kepentingan
ekonomi. Itu menggiurkan para pelaku politik. Membesarnya volume wewenang
DPR menjadi salah satu isu penting untuk menjelaskan problematika praktik
politik dan kekuasaan. Tumbuhnya kesejajaran antara kekuasaan yang terus
membesar dan serangkaian privilese ekonomi di sebelahnya tidak
terbantahkan.
Perubahan formulasi dukungan politik memengaruhi cara pandang pelaku
politik terhadap demokrasi. Kandidat harus memiliki posisi tawar langsung
di hadapan rakyat. Itu berbeda dengan rezim Orde Baru. Partai politik amat
menentukan keterwakilan politik. Dulu dikenal apa yang disebut dengan
‘nomor kepala’ dan ‘nomor ekor’ untuk posisi pencalonan anggota legislatif.
Lain halnya sekarang, semua kandidat memiliki peluang yang sama untuk
memenangi pertarungan politik. Itu kemudian memberi efek dramatis pada
perilaku sebagian perwakilan politik.
Kompetisi terbuka dan tidak terbatas itu mendorong
setiap kandidat untuk memiliki basis-basis dukungan politik. Banyak cara
digunakan untuk membangun dukungan politik. Salah satu soal penting
berkaitan dengan ketertarikan politik publik kepada kandidat. Kandidat
harus memiliki kekuatan untuk menarik perhatian publik. Mereka butuh
dikenal publik. Pengenalan menjadi alasan penting publik memberi
kepercayaan politik kepada kandidat. Keterkenalan kandidat harus dibangun.
Itu pintu masuk dari apa yang disebut dengan marketing politik.
Kandidat belajar tentang iklan politik, menaikkan rating politik, dan
mendongkrak elektabilitas. Demokrasi berada dalam kerangkeng popularitas
kandidat! Demokrasi sama artinya dengan keterkenalan calon perwakilan
politik.
Keterpilihan politik berbanding lurus dengan popularitas kandidat.
Vinneta Yadav (2013), pengajar ilmu politik dari Penn University, AS,
menghubungkan pendekatan itu dengan melubernya korupsi di banyak negara
yang disebut dengan `young democracies'. Secara sederhana, dengan sumber
daya ekonomi-politik yang terbatas, dalam arus kebutuhan politik yang semakin
besar, kandidat harus menutup biayabiaya politik.
Suporter
Di titik tersebut, kandidat harus punya banyak modal politik.
Popularitas memang bisa datang dengan banyak alasan; bisa karena integritas
kandidat, kredibilitas calon wakil rakyat, moralitas mumpuni para pelaku
politik. Elektabilitas kandidat bisa ditentukan aspek-aspek itu. Namun,
kita tahu hanya sedikit kandidat yang mungkin memiliki kualitas personal
yang memenuhi standar etika politik. Kalaupun ada dalam jumlah yang cukup
banyak, mereka harus berhadapan dengan kandidat lain yang punya kemampuan
`kocek tebal' untuk membangun popularitas sekaligus membeli dukungan
politik.
Kandidat dan perwakilan politik harus punya pamor di hadapan publ di
hadapan publik. Membangun dan mempertahankan elektabilitas pada basis
popularitas bukan soal murah, butuh biaya besar. Itu menggoda sebagian dari
pekerja politik untuk melakukan apa pun demi menjaga keterkenalan mereka.
Yang punya ambisi tapi tidak punya modal ekonomi-politik tidak segan
membangun konsesi politik dengan pemilik modal. Kelas kapital akan mengisi
`tangki politik' kandidat dengan jaminan proyek-proyek pembangunan sebagai
imbalannya.
Sejak itulah demokrasi dan proses politik merujuk lembaran rupiah.
Para pemilik kapital menemukan pintu bebas hambatan untuk mendikte
demokrasi. Nubia Evertsson (2013), pengajar kriminologi pada Stockholm
University, Swedia, dengan jeli melihat hubungan antara kemasifan korupsi
politik dan--yang disebutnya-electoral funding. Jika sebagian kandidat
perwakilan politik datang dari kelas pemilik modal dan sebagian lagi
merupakan perpanjangan pemilik modal, sesungguhnya demokrasi sedang
tersekap dalam borjuasi politik.
Koalisi antara kandidat dan penyedia electoral funding merupakan
titian paling aman bagi penulisan lembaran-lembaran kejahatan politik dan
kekuasaan. Mereka menjadi suporter satu sama lain. Saling suap antara
politikus dan para penyandang dana telah menistakan demokrasi. Bukan cerita
elok manakala kejahatan korupsi menjadi amunisi dari apa yang sekarang
ramai kita saksikan--perang elite di jagat politik nasional. Faksi-faksi
politik seolah akan saling menikam dengan rahasia kejahatan politik yang mereka
pegang. Kini, proses politik dan demokrasi ditentukan misteri korupsi yang
tersimpan yang tersimpan dalam lembaran lembaran kejahatan.
Kapital
Dua sisi proses pengisapan sedang SENO kita saksikan. Di sisi pertama,
politik seolah sedang mengalami dahaga kapital. Bu tuh uang agar bisa
terjun dalam politik. Butuh uang agar bisa mencapai posisi politik. Politik
mengisap kapital (uang) tanpa batas. Itu kemudian mencip takan
ketidakseimbangan dan ketidakadilan politis. Politik dan kekuasaan hanya
menjadi taman bermain bagi mereka yang punya uang banyak. Yang punya uang
saja yang boleh ter libat dalam politik praktis.
Di sisi kedua, mereka yang menangguk dukungan politik, entah
artifisial maupun substansial, dekat dengan kenikmatan ekonomi. Mereka
berdiri di bibir godaan untuk mengisap dana pembangunan demi kepentingan
pribadi dan kongsi politik. Cerita lain juga marak terjadi. Para penguasa,
entah di level mana pun, merasa berhak menggadaikan resources ekonomi untuk mengembalikan biaya politik atau
melunasi pinjaman dana politik dari para suporter mereka. Mereka juga bisa
menyediakan regulasi yang menguntungkan investasi ekonomi para penyedia
dana politik.
Edward Aspinall (2013), pengajar politik dan perubahan sosial di Australian National University,
menulis analisis yang bagus, The
Triumph of Capital, untuk meneropong politik dan demokratisasi di
Indonesia. Di tataran politik dan kekuasaan, tidak ada yang berubah dalam
sesi-sesi politik nasional manakala kapital masih mengendalikan demokrasi.
Politik Indonesia kelihatan seolah berubah dengan membesarnya partisipasi
langsung publik. Sesungguhnya stagnasi sedang mengurung demokratisasi dan
proses politik di Indonesia. Penjelasan tunggal--kapital, dana, uang--masih
begitu kuat menggerakkan jiwa politik dan mentalitas para kandidat
perwakilan politik.
Itulah yang menyebabkan monopoli, korupsi, penyuapan, penyelewengan
kekuasaan, dan penyalahgunaan jabatan mulai pusat hingga daerah sudah lama
tertulis sebagai lembaranlembaran kejahatan yang tersimpan rapi di ruang
baca para penguasa lalim yang datang dan pergi di negeri ini. Kejahatan
akan semakin menumpuk ketika cara pandang kita tentang politik dan
demokrasi tidak mengalami revolusi radikal.
Kita harus membaca lembaran-lembaran kejahatan kekuasaan dalam cara
pandang keadaban politik, bukan dari kacamata para penista demokrasi dan
keadilan sosial. Publik beserta institusi negara seperti KPK dan KPU harus
mendorong munculnya generasi baru dari kandidat perwakilan politik yang mau
dan mampu meninggalkan lembaran-lembaran kejahatan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar