Kamis, 21 Maret 2013

Membaca Lembaran Kejahatan Kekuasaan


Membaca Lembaran Kejahatan Kekuasaan
Max Regus  ;  Peneliti S-3 The International Institute of Social Studies
Universitas Erasmus Belanda, Alumnus S-2 Sosiologi UI
REPUBLIKA, 20 Maret 2013


PUBLIK terpikat pada ujaran Anas Urba ningrum saat ia lengser dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Banyak orang ingin tahu tentang halaman-halaman baru yang akan dibuka dan dibaca bersama-sama. Di baliknya, seolah ada misteri politik yang mengguncangkan. Orang segera beralih dari riuh rendah tentang `janji Monas' menuju `babak baru' penyingkapan kejahatan kekuasaan di Indonesia. Yang ingin mengorek informasi dari Anas bukan hanya orang awam. Para politikus dan pejabat publik tidak sungkan-sungkan `mampir' ke pihak Anas demi sepotong kisah yang mungkin terucap dari salah seorang tersangka kasus Hambalang itu.

KPK, yang dianggap banyak kalangan bergerak lamban mengurus kasus Century, tidak ketinggalan berusaha mendekati sang sumber data. Setelah KPK menyebut Anas sebagai tersangka korupsi, kini orang-orang KPK sepertinya harus `merapat' ke Anas agar menemukan akurasi informasi seputar Century.
Penyebutan beberapa nama yang tersangkut kejahatan Century seolah memompa hasrat KPK. Namun, rasa geli meluncur tidak tertahankan.

Demokrasi, politik, dan hukum menghadirkan tragedi sekaligus dagelan. Politik bisa mengubah seseorang menjadi sangat perkasa, punya banyak kuasa, tetapi sekilas kemudian di hadapan hukum menjadi tersangka kejahatan. Beberapa saat kemudian, yang dianggap sebagai pesakitan seolah masih memiliki kekuatan menentukan arah demokrasi.

Media Indonesia mengulas kembali kasus Century. Itu dianggap sebagai salah satu masalah terbesar dalam periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Editorial Media Indonesia (6/3/2013), `Lembar K a sus Century', mengulas posisi Anas dalam membongkar ke jahatan kekuasaan pada skandal Bank Century. Sebetulnya, publik tidak melihat alasan yang cukup ra sional dalam hal kelam banan KPK mengusut kasus tersebut. Apalagi, di lembaga legislatif, ada tim khusus yang memantau proses hukum tragedi Century. Dengan demikian, tidak cukup beralasan juga manakala KPK be gitu ‘mengharapkan’ bantuan Anas membocorkan ‘lembaran lembaran misterius’ yang ada dalam genggamannya.

KPK dengan dukungan publik harus mampu membaca keseluruhan buku kejahatan kekuasaan dengan versi dan kepentingan yang berbeda! Kejahatan kekuasaan (korupsi) di Indonesia punya penjelasan dalam relung politik dan demokratisasi.

Pendekatan

Demokrasi liberal dengan terjemahan radikal pasca-1998 terumbar ke dalam formasi politik dan kekua saan yang amat masif. Pilihan beremokrasi dengan demokrasi dengan tumpuan utama pada sistem banyak partai menghadirkan implikasi masif yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Penyebaran kekuasaan menjadikan kekuasaan sarat kontestasi politik dan kepentingan ekonomi. Itu menggiurkan para pelaku politik. Membesarnya volume wewenang DPR menjadi salah satu isu penting untuk menjelaskan problematika praktik politik dan kekuasaan. Tumbuhnya kesejajaran antara kekuasaan yang terus membesar dan serangkaian privilese ekonomi di sebelahnya tidak terbantahkan.

Perubahan formulasi dukungan politik memengaruhi cara pandang pelaku politik terhadap demokrasi. Kandidat harus memiliki posisi tawar langsung di hadapan rakyat. Itu berbeda dengan rezim Orde Baru. Partai politik amat menentukan keterwakilan politik. Dulu dikenal apa yang disebut dengan ‘nomor kepala’ dan ‘nomor ekor’ untuk posisi pencalonan anggota legislatif. Lain halnya sekarang, semua kandidat memiliki peluang yang sama untuk memenangi pertarungan politik. Itu kemudian memberi efek dramatis pada perilaku sebagian perwakilan politik.

Kompetisi terbuka dan tidak terbatas itu mendorong setiap kandidat untuk memiliki basis-basis dukungan politik. Banyak cara digunakan untuk membangun dukungan politik. Salah satu soal penting berkaitan dengan ketertarikan politik publik kepada kandidat. Kandidat harus memiliki kekuatan untuk menarik perhatian publik. Mereka butuh dikenal publik. Pengenalan menjadi alasan penting publik memberi kepercayaan politik kepada kandidat. Keterkenalan kandidat harus dibangun.

Itu pintu masuk dari apa yang disebut dengan marketing politik. Kandidat belajar tentang iklan politik, menaikkan rating politik, dan mendongkrak elektabilitas. Demokrasi berada dalam kerangkeng popularitas kandidat! Demokrasi sama artinya dengan keterkenalan calon perwakilan politik. 

Keterpilihan politik berbanding lurus dengan popularitas kandidat. Vinneta Yadav (2013), pengajar ilmu politik dari Penn University, AS, menghubungkan pendekatan itu dengan melubernya korupsi di banyak negara yang disebut dengan `young democracies'. Secara sederhana, dengan sumber daya ekonomi-politik yang terbatas, dalam arus kebutuhan politik yang semakin besar, kandidat harus menutup biayabiaya politik.

Suporter

Di titik tersebut, kandidat harus punya banyak modal politik. Popularitas memang bisa datang dengan banyak alasan; bisa karena integritas kandidat, kredibilitas calon wakil rakyat, moralitas mumpuni para pelaku politik. Elektabilitas kandidat bisa ditentukan aspek-aspek itu. Namun, kita tahu hanya sedikit kandidat yang mungkin memiliki kualitas personal yang memenuhi standar etika politik. Kalaupun ada dalam jumlah yang cukup banyak, mereka harus berhadapan dengan kandidat lain yang punya kemampuan `kocek tebal' untuk membangun popularitas sekaligus membeli dukungan politik.

Kandidat dan perwakilan politik harus punya pamor di hadapan publ di hadapan publik. Membangun dan mempertahankan elektabilitas pada basis popularitas bukan soal murah, butuh biaya besar. Itu menggoda sebagian dari pekerja politik untuk melakukan apa pun demi menjaga keterkenalan mereka. Yang punya ambisi tapi tidak punya modal ekonomi-politik tidak segan membangun konsesi politik dengan pemilik modal. Kelas kapital akan mengisi `tangki politik' kandidat dengan jaminan proyek-proyek pembangunan sebagai imbalannya.

Sejak itulah demokrasi dan proses politik merujuk lembaran rupiah. Para pemilik kapital menemukan pintu bebas hambatan untuk mendikte demokrasi. Nubia Evertsson (2013), pengajar kriminologi pada Stockholm University, Swedia, dengan jeli melihat hubungan antara kemasifan korupsi politik dan--yang disebutnya-electoral funding. Jika sebagian kandidat perwakilan politik datang dari kelas pemilik modal dan sebagian lagi merupakan perpanjangan pemilik modal, sesungguhnya demokrasi sedang tersekap dalam borjuasi politik.

Koalisi antara kandidat dan penyedia electoral funding merupakan titian paling aman bagi penulisan lembaran-lembaran kejahatan politik dan kekuasaan. Mereka menjadi suporter satu sama lain. Saling suap antara politikus dan para penyandang dana telah menistakan demokrasi. Bukan cerita elok manakala kejahatan korupsi menjadi amunisi dari apa yang sekarang ramai kita saksikan--perang elite di jagat politik nasional. Faksi-faksi politik seolah akan saling menikam dengan rahasia kejahatan politik yang mereka pegang. Kini, proses politik dan demokrasi ditentukan misteri korupsi yang tersimpan yang tersimpan dalam lembaran lembaran kejahatan.

Kapital

Dua sisi proses pengisapan sedang SENO kita saksikan. Di sisi pertama, politik seolah sedang mengalami dahaga kapital. Bu tuh uang agar bisa terjun dalam politik. Butuh uang agar bisa mencapai posisi politik. Politik mengisap kapital (uang) tanpa batas. Itu kemudian mencip takan ketidakseimbangan dan ketidakadilan politis. Politik dan kekuasaan hanya menjadi taman bermain bagi mereka yang punya uang banyak. Yang punya uang saja yang boleh ter libat dalam politik praktis.

Di sisi kedua, mereka yang menangguk dukungan politik, entah artifisial maupun substansial, dekat dengan kenikmatan ekonomi. Mereka berdiri di bibir godaan untuk mengisap dana pembangunan demi kepentingan pribadi dan kongsi politik. Cerita lain juga marak terjadi. Para penguasa, entah di level mana pun, merasa berhak menggadaikan resources ekonomi untuk mengembalikan biaya politik atau melunasi pinjaman dana politik dari para suporter mereka. Mereka juga bisa menyediakan regulasi yang menguntungkan investasi ekonomi para penyedia dana politik.

Edward Aspinall (2013), pengajar politik dan perubahan sosial di Australian National University, menulis analisis yang bagus, The Triumph of Capital, untuk meneropong politik dan demokratisasi di Indonesia. Di tataran politik dan kekuasaan, tidak ada yang berubah dalam sesi-sesi politik nasional manakala kapital masih mengendalikan demokrasi. Politik Indonesia kelihatan seolah berubah dengan membesarnya partisipasi langsung publik. Sesungguhnya stagnasi sedang mengurung demokratisasi dan proses politik di Indonesia. Penjelasan tunggal--kapital, dana, uang--masih begitu kuat menggerakkan jiwa politik dan mentalitas para kandidat perwakilan politik.
Itulah yang menyebabkan monopoli, korupsi, penyuapan, penyelewengan kekuasaan, dan penyalahgunaan jabatan mulai pusat hingga daerah sudah lama tertulis sebagai lembaranlembaran kejahatan yang tersimpan rapi di ruang baca para penguasa lalim yang datang dan pergi di negeri ini. Kejahatan akan semakin menumpuk ketika cara pandang kita tentang politik dan demokrasi tidak mengalami revolusi radikal.
Kita harus membaca lembaran-lembaran kejahatan kekuasaan dalam cara pandang keadaban politik, bukan dari kacamata para penista demokrasi dan keadilan sosial. Publik beserta institusi negara seperti KPK dan KPU harus mendorong munculnya generasi baru dari kandidat perwakilan politik yang mau dan mampu meninggalkan lembaran-lembaran kejahatan kekuasaan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar