Dalam penanggalan tahun China, sekarang adalah tahun ular. Ciri ular
adalah kemampuan berganti kulit. Pergantian kulit ditafsirkan oleh banyak
ahli fengsui sebagai tanda berubahnya zaman atau situasi.
Beberapa ahli bahkan memberikan serentetan bukti peristiwa-peristiwa yang
mengubah dunia beberapa puluh tahun seperti Great Depression tahun 1929,
Penyerangan Pearl Harbor, Tianamen, hingga peristiwa 9/11 yang merobohkan
Twin Tower di New York. Terlepas kebetulan atau tidak, beberapa peristiwa
yang terjadi awal tahun ini mungkin mengonfirmasi ramalan tersebut.
Ada lebih banyak tanda tanya dan kegelisahan daripada jawaban dan
kepastian, pertanda bahwa kejadian pengubah dinamika dunia sudah di depan
mata. Eropa makin panas karena Uni Eropa gagal mendorong solusi bersama
mengatasi krisis, sementara yang ikut dalam skema penyelamatan ekonomi di
sana semakin merasakan tekanan besar berupa pemotongan pajak yang tinggi
demi mendapatkan dana talangan yang konon akan menyelamatkan ekonomi
mereka.
Di AS utang Paman Sam membengkak terus karena politisinya tak urung sampai
pada kesepakatan tentang solusi jangka pendek dalam kesulitan fiskal dan
moneter yang dialami negeri itu. Para pebisnisnya memilih “jalan aman”
dengan terus beroperasi di luar negeri. Di Amerika Latin sedang terjadi
sejumlah tahap transisi karena perubahan kepemimpinan negara (Venezuela),
masa pemilu (Brasil), dan ketidakpastian ekonomi (Argentina, Kuba, dan
Kolombia).
Di Afrika dan Timur Tengah berkembang sejumlah kericuhan politik dan
ekonomi yang mengarah pada politik kekerasan dan perang saudara (Kenya,
Zimbabwe, Suriah, Mesir, dan Irak). Dengan begitu, sejumlah negara di
sekitar kawasan itu mengaku sangat resah dengan keputusan politik negara
tetangganya (seperti yang dirasakan warga Namibia dan Turki). PBB tak
bergigi, demikian pula WTO.
Hal positif dari kericuhan itu adalah momen bagi Asia mendefinisikan
sikapnya. Bila kita kembali ke teori-teori klasik seperti Teori
Ketergantungan atau Teori Sistem Dunia, ada pesimisme bahwa Asia sulit naik
kelas dari negara pinggiran (periphery)
atau semipinggiran (semi-periphery)
menjadi negara inti (core) atau
negara pusat yang maju. Para analisis dan komentator biasanya menggunakan
teori tersebut untuk menjustifikasi kelemahan atau kekurangan Asia sebagai
sesuatu yang by design dari negara-negara
core.
Asia ditakdirkan tak pernah naik kelas, begitulah kira-kira kesimpulannya.
Kesimpulan itu yang kini sedang diuji. Dengan kondisi ekonomi yang
dimilikinya saat ini, akan ke manakah Asia dalam percaturan politik global?
Tatanan dunia macam apa yang didorong oleh negara-negara di Asia? Tahun
berganti tahun ternyata pertumbuhan Asia berujung pada keresahan.
Kita lihat ada sengketa wilayah di Laut China Selatan, ketegangan di
Kepulauan Senkaku/ Diayou, di Sabah, di Myanmar, dan di perbatasan Kamboja
dan Thailand yang membuat negara-negara di luar sana bertanya-tanya, apakah
ASEAN bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah internal, regional, dan
global? Harus diakui bahwa cara penyelesaian masalah di ASEAN memang
berbeda dari di negara-negara Barat.
Di Barat penyelesaian dicari dengan mengedepankan rasio akal dan
melembagakan solusi. Mereka membuka perundingan-perundingan untuk
meletakkan agenda bersama dan memformalkan proses dialog yang berkembang
dalam side-meetings (rapat-rapat
tambahan). Di ASEAN cara tersebut tidak efektif. Jalan yang selama ini
efektif untuk ASEAN adalah membuka forum-forum besar yang sifatnya
mendeklarasikan niat-niat baik bersama dan mengajak sebanyak- banyaknya
mitra wicara.
Namun, praktik pelaksanaan niat baik tersebut harus dikawal lagi melalui
proses yang (ternyata) sulit untuk dilembagakan. Pendekatan personal memang
lebih mengemuka. Sejumlah konflik tidak diselesaikan dengan cara-cara biasa
(bahkan tidak merujuk ke penyelesaian kasus konflik lain yang pernah
terjadi di kawasan ini). Contoh terkini adalah kasus konflik perbatasan
antara Kamboja dan Thailand, di mana Indonesia menawarkan diri untuk
menjembatani kerja sama dan sempat bolak-balik melakukan shuttle diplomacy, tetapi ternyata
justru ditolak kehadirannya (terutama oleh Thailand).
Problemnya bukan karena Indonesia tidak mampu, tetapi lebih karena ada
sesuatu yang ingin dijaga oleh Thailand dalam relasinya dengan Indonesia
sehingga jalan keluar untuk konflik tersebut justru muncul dari Kamboja.
Demikian pula kasus Kesultanan Sulu (Filipina) dan Sabah (Malaysia) di mana
Malaysia memilih menutup diri dari liputan apa pun seputar kasus ini.
Protes dari luar ditanggapi dengan singkat bahwa tak ada satu pun pihak,
bahkan wartawan Malaysia, yang boleh masuk ke wilayah sengketa. Kasus klaim
kesultanan Sulu juga menunjukkan bahwa ada saja ihwal historis yang tidak
diketahui oleh generasi muda ASEAN masa kini, namun bisa tiba-tiba meletup
keluar. Solusi-solusi di atas terbukti efektif untuk jangka pendek karena
ASEAN mengutamakan nama baik bagi negara anggota dan ASEAN itu sendiri,
tetapi apakah efektif untuk jangka panjang itu pun masih tanda tanya.
ASEAN digunjingkan tak bergigi karena mengandalkan pada strategi ‘’AS pivot to Asia” sebagai alat
berjaga-jaga seandainya China memutuskan untuk melakukan serangan dan
mengusik ketenteraman di kawasan ini. Sejauh ini belum ada negara ASEAN
yang serius mengembangkan kekuatan militer demi kesiapan menghadapi
serangan kejutan. Sejumlah pengamat di AS memandang negara-negara anggota
ASEAN semata “numpang enak” (free-ride),
gratisan mendapatkan proteksi dari uang hasil pajak warga negara AS.
Tak ada analis asing yang percaya akan efektivitas strategi damai atau
nonmiliter yang disebut-sebut ASEAN dalam menyikapi agresi asing. Ini ujian
bagi Indonesia, baik sebagai negara berdaulat di kawasan ASEAN maupun
sebagai penyokong ASEAN. Kekuatan dan kesiapan individu negara ASEAN
menjadi sorotan politik global saat ini. Cara kita menyikapi konflik di
sekitar kita dan di dalam negeri menjadi ukurannya.
Terhadap China, Indonesia berada dalam posisi sangat rentan bila negeri
tirai bambu itu memutuskan untuk terus melontarkan pernyataan-pernyataan
provokatif terhadap AS, Jepang, Korea Selatan, atau bahkan Filipina. Memang
sudah ada pendekatan bilateral yang intensif antara Indonesia-China untuk
meredam China, tetapi pernyataan Presiden Xi Jinping di China memastikan
bahwa China berbulat tekad membangun diri sebagai kekuatan ekonomi yang
mapan di kawasan ini.
Tidak mustahil, visi China dibangun jauh ke depan untuk membangun
independensi ekonomi dan politik. Tambahan lagi, kondisi di dalam negeri
China memungkinkan perkembangan teknologi, infrastruktur, dan pendidikan
yang pesat. Insentif bagi warga negaranya disiapkan dengan baik antara lain
dengan memutuskan bahwa perekonomian negeri itu akan ditopang oleh lapangan
kerja yang mengandalkan produk bernilai tambah tinggi.
Artinya, Indonesia tak bisa menekan China hanya dengan imbauan normatif.
Sementara itu India bergerak cepat memperkuat jaringan infrastruktur darat
maupun laut. Seperti China dan Jepang, India bergerak cepat memperkuat
kerja sama maritim dengan sejumlah negara di Asia, bahkan sampai jauh ke
Australia. Soal perdagangan bebas, India tidak enggan ikut.
Mereka bangga pada kesiapan sumber daya manusia dan dunia pendidikannya
dalam menghadapi era persaingan ekonomi yang ketat. Pemerintah India cukup
all-out mendorong kegiatan pendidikan, pembangunan lapangan kerja, dan
pengentasan kemiskinan. Dalam tiap dialog kerja sama dengan India, ASEAN
dan Indonesia justru tampil pasif. Kita berhati-hati dalam membuka diri
terhadap India, tapi dalam kerangka ASEAN telah kita tanda tangani
kesepakatan perdagangan bebas dengan mereka dan kita abai pada pengembangan
sektor maritim.
Artinya Indonesia harus sungguh mawas diri. Segala limpahan proyek dan
investasi dari asing, terutama dari mereka yang menghindari China dan
konflik di Semenanjung Korea, bukanlah jaminan akan kesejahteraan
masyarakat. Dalam kerangka kekuatan kawasan, Indonesia belum dianggap
sebagai pemain global yang konkret, yang bisa “walk to walk, not just talk to talk” (bisa menjalankan
omongannya). ASEAN adalah payung perlindungan kita saat ini, tapi payung
itu pun harus membuktikan keampuhannya pada 2013 ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar