Rabu, 20 Maret 2013

Ujian bagi Indonesia 2013


Ujian bagi Indonesia 2013
Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 20 Maret 2013


Dalam penanggalan tahun China, sekarang adalah tahun ular. Ciri ular adalah kemampuan berganti kulit. Pergantian kulit ditafsirkan oleh banyak ahli fengsui sebagai tanda berubahnya zaman atau situasi. 

Beberapa ahli bahkan memberikan serentetan bukti peristiwa-peristiwa yang mengubah dunia beberapa puluh tahun seperti Great Depression tahun 1929, Penyerangan Pearl Harbor, Tianamen, hingga peristiwa 9/11 yang merobohkan Twin Tower di New York. Terlepas kebetulan atau tidak, beberapa peristiwa yang terjadi awal tahun ini mungkin mengonfirmasi ramalan tersebut. 

Ada lebih banyak tanda tanya dan kegelisahan daripada jawaban dan kepastian, pertanda bahwa kejadian pengubah dinamika dunia sudah di depan mata. Eropa makin panas karena Uni Eropa gagal mendorong solusi bersama mengatasi krisis, sementara yang ikut dalam skema penyelamatan ekonomi di sana semakin merasakan tekanan besar berupa pemotongan pajak yang tinggi demi mendapatkan dana talangan yang konon akan menyelamatkan ekonomi mereka. 

Di AS utang Paman Sam membengkak terus karena politisinya tak urung sampai pada kesepakatan tentang solusi jangka pendek dalam kesulitan fiskal dan moneter yang dialami negeri itu. Para pebisnisnya memilih “jalan aman” dengan terus beroperasi di luar negeri. Di Amerika Latin sedang terjadi sejumlah tahap transisi karena perubahan kepemimpinan negara (Venezuela), masa pemilu (Brasil), dan ketidakpastian ekonomi (Argentina, Kuba, dan Kolombia). 

Di Afrika dan Timur Tengah berkembang sejumlah kericuhan politik dan ekonomi yang mengarah pada politik kekerasan dan perang saudara (Kenya, Zimbabwe, Suriah, Mesir, dan Irak). Dengan begitu, sejumlah negara di sekitar kawasan itu mengaku sangat resah dengan keputusan politik negara tetangganya (seperti yang dirasakan warga Namibia dan Turki). PBB tak bergigi, demikian pula WTO. 

Hal positif dari kericuhan itu adalah momen bagi Asia mendefinisikan sikapnya. Bila kita kembali ke teori-teori klasik seperti Teori Ketergantungan atau Teori Sistem Dunia, ada pesimisme bahwa Asia sulit naik kelas dari negara pinggiran (periphery) atau semipinggiran (semi-periphery) menjadi negara inti (core) atau negara pusat yang maju. Para analisis dan komentator biasanya menggunakan teori tersebut untuk menjustifikasi kelemahan atau kekurangan Asia sebagai sesuatu yang by design dari negara-negara core. 

Asia ditakdirkan tak pernah naik kelas, begitulah kira-kira kesimpulannya. Kesimpulan itu yang kini sedang diuji. Dengan kondisi ekonomi yang dimilikinya saat ini, akan ke manakah Asia dalam percaturan politik global? Tatanan dunia macam apa yang didorong oleh negara-negara di Asia? Tahun berganti tahun ternyata pertumbuhan Asia berujung pada keresahan. 

Kita lihat ada sengketa wilayah di Laut China Selatan, ketegangan di Kepulauan Senkaku/ Diayou, di Sabah, di Myanmar, dan di perbatasan Kamboja dan Thailand yang membuat negara-negara di luar sana bertanya-tanya, apakah ASEAN bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah internal, regional, dan global? Harus diakui bahwa cara penyelesaian masalah di ASEAN memang berbeda dari di negara-negara Barat. 

Di Barat penyelesaian dicari dengan mengedepankan rasio akal dan melembagakan solusi. Mereka membuka perundingan-perundingan untuk meletakkan agenda bersama dan memformalkan proses dialog yang berkembang dalam side-meetings (rapat-rapat tambahan). Di ASEAN cara tersebut tidak efektif. Jalan yang selama ini efektif untuk ASEAN adalah membuka forum-forum besar yang sifatnya mendeklarasikan niat-niat baik bersama dan mengajak sebanyak- banyaknya mitra wicara. 

Namun, praktik pelaksanaan niat baik tersebut harus dikawal lagi melalui proses yang (ternyata) sulit untuk dilembagakan. Pendekatan personal memang lebih mengemuka. Sejumlah konflik tidak diselesaikan dengan cara-cara biasa (bahkan tidak merujuk ke penyelesaian kasus konflik lain yang pernah terjadi di kawasan ini). Contoh terkini adalah kasus konflik perbatasan antara Kamboja dan Thailand, di mana Indonesia menawarkan diri untuk menjembatani kerja sama dan sempat bolak-balik melakukan shuttle diplomacy, tetapi ternyata justru ditolak kehadirannya (terutama oleh Thailand). 

Problemnya bukan karena Indonesia tidak mampu, tetapi lebih karena ada sesuatu yang ingin dijaga oleh Thailand dalam relasinya dengan Indonesia sehingga jalan keluar untuk konflik tersebut justru muncul dari Kamboja. Demikian pula kasus Kesultanan Sulu (Filipina) dan Sabah (Malaysia) di mana Malaysia memilih menutup diri dari liputan apa pun seputar kasus ini. 

Protes dari luar ditanggapi dengan singkat bahwa tak ada satu pun pihak, bahkan wartawan Malaysia, yang boleh masuk ke wilayah sengketa. Kasus klaim kesultanan Sulu juga menunjukkan bahwa ada saja ihwal historis yang tidak diketahui oleh generasi muda ASEAN masa kini, namun bisa tiba-tiba meletup keluar. Solusi-solusi di atas terbukti efektif untuk jangka pendek karena ASEAN mengutamakan nama baik bagi negara anggota dan ASEAN itu sendiri, tetapi apakah efektif untuk jangka panjang itu pun masih tanda tanya. 

ASEAN digunjingkan tak bergigi karena mengandalkan pada strategi ‘’AS pivot to Asia” sebagai alat berjaga-jaga seandainya China memutuskan untuk melakukan serangan dan mengusik ketenteraman di kawasan ini. Sejauh ini belum ada negara ASEAN yang serius mengembangkan kekuatan militer demi kesiapan menghadapi serangan kejutan. Sejumlah pengamat di AS memandang negara-negara anggota ASEAN semata “numpang enak” (free-ride), gratisan mendapatkan proteksi dari uang hasil pajak warga negara AS. 

Tak ada analis asing yang percaya akan efektivitas strategi damai atau nonmiliter yang disebut-sebut ASEAN dalam menyikapi agresi asing. Ini ujian bagi Indonesia, baik sebagai negara berdaulat di kawasan ASEAN maupun sebagai penyokong ASEAN. Kekuatan dan kesiapan individu negara ASEAN menjadi sorotan politik global saat ini. Cara kita menyikapi konflik di sekitar kita dan di dalam negeri menjadi ukurannya. 

Terhadap China, Indonesia berada dalam posisi sangat rentan bila negeri tirai bambu itu memutuskan untuk terus melontarkan pernyataan-pernyataan provokatif terhadap AS, Jepang, Korea Selatan, atau bahkan Filipina. Memang sudah ada pendekatan bilateral yang intensif antara Indonesia-China untuk meredam China, tetapi pernyataan Presiden Xi Jinping di China memastikan bahwa China berbulat tekad membangun diri sebagai kekuatan ekonomi yang mapan di kawasan ini. 

Tidak mustahil, visi China dibangun jauh ke depan untuk membangun independensi ekonomi dan politik. Tambahan lagi, kondisi di dalam negeri China memungkinkan perkembangan teknologi, infrastruktur, dan pendidikan yang pesat. Insentif bagi warga negaranya disiapkan dengan baik antara lain dengan memutuskan bahwa perekonomian negeri itu akan ditopang oleh lapangan kerja yang mengandalkan produk bernilai tambah tinggi. 

Artinya, Indonesia tak bisa menekan China hanya dengan imbauan normatif. Sementara itu India bergerak cepat memperkuat jaringan infrastruktur darat maupun laut. Seperti China dan Jepang, India bergerak cepat memperkuat kerja sama maritim dengan sejumlah negara di Asia, bahkan sampai jauh ke Australia. Soal perdagangan bebas, India tidak enggan ikut. 

Mereka bangga pada kesiapan sumber daya manusia dan dunia pendidikannya dalam menghadapi era persaingan ekonomi yang ketat. Pemerintah India cukup all-out mendorong kegiatan pendidikan, pembangunan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan. Dalam tiap dialog kerja sama dengan India, ASEAN dan Indonesia justru tampil pasif. Kita berhati-hati dalam membuka diri terhadap India, tapi dalam kerangka ASEAN telah kita tanda tangani kesepakatan perdagangan bebas dengan mereka dan kita abai pada pengembangan sektor maritim. 

Artinya Indonesia harus sungguh mawas diri. Segala limpahan proyek dan investasi dari asing, terutama dari mereka yang menghindari China dan konflik di Semenanjung Korea, bukanlah jaminan akan kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka kekuatan kawasan, Indonesia belum dianggap sebagai pemain global yang konkret, yang bisa “walk to walk, not just talk to talk” (bisa menjalankan omongannya). ASEAN adalah payung perlindungan kita saat ini, tapi payung itu pun harus membuktikan keampuhannya pada 2013 ini. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar