Ruang publik hari-hari ini gaduh oleh berita dugaan manipulasi pajak,
baik itu pajak individu maupun pajak korporasi.
Tentu saja kontroversi seputar pajak menarik dicermati. Di satu sisi
hal ini baik bagi pengembangan transparansi dan etika publik, di sisi lain
kegagalan memahami kompleksitas isu pajak berisiko menyeret perdebatan
kontraproduktif dan merugikan.
Paparan ini berupaya mendudukkan pokok persoalan pada tempatnya dan
menganalisis berdasarkan hukum dan administrasi perpajakan agar tak jatuh
dalam pergunjingan politik yang dangkal.
Adagium Purba
Konon ada adagium purba berbunyi ”tak seorang pun rela membayar pajak”.
Sejarah mencatat kisah pengelakan dan pemberontakan pajak. Lantaran negara
butuh sumber dana bagi kelangsungannya dan tak ada yang sukarela, harus
dibuat imperatif yang memaksa. Dengan demikian, sejatinya penghindaran
pajak, setidaknya upaya mengecilkan pajak yang dibayar, merupakan motif
alamiah manusia.
Namun, persoalan kemudian adalah bagaimana pajak yang bersifat
memaksa itu dapat hidup berdampingan dengan demokrasi yang mengusung
kebebasan individu, kesetaraan, dan penghormatan hak asasi. Lahirlah sistem
self-assessment yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban pajak. Sebagai
imbangannya, fiskus—aparatur perpajakan—diberi kewenangan melakukan
pengawasan dan pemeriksaan pajak untuk memastikan wajib pajak patuh
terhadap hukum. Beban pertanggungjawaban kebenaran ada pada wajib pajak,
beban pembuktian ketidakbenaran ada pada fiskus.
Norma dasar sistem self-assessment, menurut Undang-Undang (UU) Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP),
adalah wajib pajak secara sukarela mendaftarkan diri sebagai wajib pajak
untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak (NPWP), mengisi surat
pemberitahuan (SPT) dengan benar, jelas, dan lengkap, serta menandatangani
dan menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian,
SPT adalah representasi kebenaran formal dan material. Persoalannya,
bagaimana jika ternyata SPT yang disampaikan salah?
Konon, errare humanum est, salah itu manusiawi. Karena berbuat salah
itu khas manusia, UU Pajak membedakan dua macam kesalahan, yaitu karena
kealpaan (tidak sengaja, lalai, tak hati-hati) dan kesengajaan. Dirjen
Pajak diberi kewenangan untuk memberikan sanksi perpajakan.
Kesalahan yang sifatnya administratif—tidak atau terlambat lapor/bayar,
salah penghitungan/ pemotongan—dikenai sanksi administrasi, sedangkan
kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dikenai
sanksi pidana. Semangat UU KUP adalah penyelesaian sekuensial dari
administrasi ke pidana, bukan sebaliknya.
Pasal 8 UU KUP memberikan hak kepada wajib pajak untuk melakukan
pembetulan atas kemauan sendiri sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
Sejalan dengan hak tersebut, Pasal 13A mengatur, wajib pajak yang karena
kealpaannya tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT yang tidak benar tidak
dikenai sanksi pidana apabila kealpaan itu pertama kali dilakukan. Bahkan,
menurut Pasal 44B, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat
dihentikan Jaksa Agung atas permintaan Menteri Keuangan untuk kepentingan penerimaan
negara.
Jadi, prinsip dasar UU KUP adalah prioritas kepada penerimaan negara
sesuai raison d’etre pajak. Penyelesaian pidana adalah ultimum remedium,
upaya terakhir setelah proses penyelesaian administrasi dijalankan.
Pajak Pejabat Publik
Kini kita dapat cukup jernih menilai simpang siur berita dugaan
manipulasi pajak. Setiap wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang sama
berdasarkan undang-undang. Maka, kita harus merujuk pada mekanisme dalam UU
KUP dan administrasi perpajakan yang berlaku.
Sesuai prinsip ultimum remedium, wajib pajak memiliki hak untuk
melakukan pembetulan jika ada kekeliruan dalam pengisian SPT. Selanjutnya,
Dirjen Pajak berwenang memberikan sanksi administrasi yang timbul dari
pembetulan yang dilakukan apabila terdapat pajak yang kurang dibayar.
Alih-alih menyatakan dirinya sudah patuh pajak, alangkah bijaksananya
jika seorang wajib pajak meneliti kembali dan mengonsultasikan kewajiban
perpajakan dengan Ditjen Pajak untuk mendeteksi secara menyeluruh potensi
kekeliruan pengisian SPT. Mengakui adanya kekeliruan mengisi SPT bukanlah
aib karena tak banyak orang yang paham seluk-beluk teknis perpajakan yang
rumit.
Di sini kebesaran hati seorang wajib pajak yang sekaligus pejabat
publik diuji. Sama seperti warga negara lain, ia juga bisa jatuh dalam
kekeliruan khas manusia: alpa. Justru inilah momentum menggerakkan
kepedulian terhadap pajak. Meningkatkan kesadaran untuk mendaftarkan diri
sebagai wajib pajak, menyampaikan SPT dengan benar, dan ikut berpartisipasi
aktif mengawasi pemungutan pajak. Bahkan, sebaiknya, Dirjen Pajak
berinisiatif melakukan pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak yang berada
dalam posisi strategis dan mudah diguncang isu demi kepastian hukum.
Dengan kewenangan yang dimiliki untuk menghimpun data, keterangan, dan
informasi, Dirjen Pajak dapat menetapkan kewajiban pajak sesuai keadaan
yang sebenarnya. Sebaliknya, seorang wajib pajak yang sekaligus pejabat
publik diuntungkan karena mengawali proses penegakan hukum dengan baik dan
mendapatkan kepastian hukum atas kewajiban perpajakan yang digunjingkan,
bahkan mendorong seluruh pejabat negara, politisi, dan pengusaha kakap
diperiksa tanpa terkecuali.
Belantara perpajakan tak semudah yang diduga. Dengan memasuki arus
konseptual dan medan praktik yang ada, kita sekarang dapat menarik beberapa
pelajaran. Pajak sejatinya cermin bagi diri sendiri. Bak peribahasa menepuk
air didulang tepercik muka sendiri, demikian pula pelaksanaan kewajiban
perpajakan kita sangat berpotensi jatuh dalam kekeliruan. Sesuatu yang
manusiawi.
Ini adalah momen introspeksi yang harus ditindaklanjuti dengan
penegakan hukum dan penguatan institusional. Tiap pejabat publik—entah
presiden, menteri, pemimpin parpol atau anggota DPR—berkesempatan
meneguhkan komitmennya terhadap keterbukaan dan akuntabilitas publik.
Ditjen Pajak berkesempatan menebus dosa atas percikan kesalahan masa lalu.
Sebagai anak bangsa, kita pun berpeluang untuk menegaskan kembali betapa
mahalnya kejujuran; satu-satunya harta yang kiranya sanggup memperpanjang
napas harapan bangsa Indonesia.
Kita kembali diyakinkan cuaca politik Indonesia memang masih dipenuhi
omong kosong daripada kejernihan pikir. Membedakan pengemplang pajak dan
sinterklas ternyata tak semudah mencabut ilalang di ladang gandum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar