Senin, 18 Maret 2013

Demokrasi dan Pembentukan Daerah Pemilihan


Demokrasi dan Pembentukan Daerah Pemilihan
Ramlan Surbakti  ;  Guru Besar Perbandingan Politik FISIP Universitas Airlangga
KOMPAS, 18 Maret 2013

  
Demokrasi, kata Abraham Lincoln, merupakan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang memungkinkan rakyat memerintah diri mereka.
Karena jumlah penduduk, luas wilayah, dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, negara modern tidak lagi memungkinkan rakyat memerintah diri mereka secara langsung dalam semua bidang kehidupan. Jalan keluar yang ditempuh adalah demokrasi perwakilan dan representasi politik.

Yang memerintah bukan lagi rakyat pemilik pemerintahan secara langsung, tetapi mereka yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum, baik yang berasal dari partai politik maupun perseorangan alias independen. Ironisnya, demokrasi perwakilan dan representasi politik justru memungkinkan demokrasi modern menyingkirkan rakyat pemilik kekuasaan pemerintahan dari institusi yang memerintah mereka. Mereka yang dipilih mewakili rakyat mengambil keputusan atas nama rakyat tanpa mendengarkan atau berkonsultasi sama sekali dengan rakyat.

Untuk mencegah rakyat pemilik kekuasaan pemerintahan tersingkir dari penjabat publik yang mereka pilih untuk memerintah, dibentuklah daerah pemilihan (dapil), tidak saja sebagai wilayah tempat penjabat publik dipilih, tetapi juga sebagai lingkup pemilih yang akan menentukan siapa yang terpilih mewakili rakyat di wilayah tersebut.

Untuk menjamin agar demokrasi perwakilan dan representasi politik tidak mengasingkan rakyat dari penjabat publik yang mereka pilih, dibentuklah dapil dengan jumlah kursi/wakil yang jelas. Dengan demikian, konstituen mengetahui siapa yang mewakili mereka dan kepada siapa mereka menuntut akuntabilitas. Wakil rakyat juga akan mengetahui dengan jelas konstituen yang diwakili dan kepada siapa dia harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Dengan dapil yang jelas, rakyat pemilik kedaulatan akan mengetahui tidak saja kepada siapa mereka menyampaikan aspirasi dan tuntutan, tetapi juga dapat memengaruhi apa yang akan diputuskan oleh wakil rakyat tersebut.

Dasar Pemilihan

Daerah pemilihan dibentuk berdasarkan wilayah administrasi dan/atau jumlah penduduk. Setiap dapil diwakili satu kursi (single-member constituency) atau lebih (multi-member constituency).
Salah satu unsur yang membedakan sistem pemilihan umum adalah lingkungan dapil (district magnitude) tersebut. Partai politik dan/atau perseorangan bersaing dalam pemilihan umum untuk memenangkan kursi mewakili dapil tersebut. Namun, pemilih yang terdaftar di dapil tersebut sajalah yang berhak menentukan siapa pemenang di dapil tersebut melalui pemilihan umum.

Daerah pemilihan yang jelas akan memungkinkan warga negara yang berhak memilih dan terdaftar sebagai pemilih secara sah dihargai sebelum, saat, dan setelah memilih wakil mereka.
Daerah pemilihan macam apakah yang mampu menjamin rakyat pemilik kedaulatan menentukan wakil yang siap menerima masukan pada setiap kebijakan yang akan diputuskan?

Pertama, pembentukan dapil harus berdasarkan prinsip persamaan kedudukan antar-warga negara dalam hukum dan pemerintahan yang dalam kajian pemilihan umum disebut ”satu orang, satu suara, dengan nilai setara (one person, one vote, one value)”.

Aplikasinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum tampak pada penentuan alokasi kursi untuk setiap dapil, yaitu setiap dapil mendapat alokasi kursi sesuai dengan jumlah penduduk yang berdomisili di wilayah tersebut. Prinsip ini diwujudkan untuk mencegah kemunculan dapil yang ”kurang terwakili” (under-represented) ataupun dapil yang ”terwakili secara berlebihan” (over-represented).

Karena dalam praktik tidak mungkin setiap dapil memiliki jumlah penduduk yang persis sama, biasanya terdapat konvensi batas toleransi perbedaan jumlah penduduk sebesar plus-minus 10 persen.
Prinsip utama tersebut belum terjamin baik dalam penetapan lingkup dapil anggota DPR yang merupakan lampiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, ataupun dalam penetapan lingkup dapil anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota oleh KPU (Keputusan KPU Nomor 08/Kpts/KPU/2013).

Lingkup dapil anggota DPR belum disusun berdasarkan prinsip persamaan yang dijamin Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 karena sejumlah provinsi terwakili secara berlebihan. Misalnya, Sulawesi Selatan (+5), Papua (+3), Sumatera Barat (+3), Aceh (+2), dan Nusa Tenggara Timur (+2). Sebaliknya, ada provinsi kurang terwakili, seperti Riau (-2), Kepulauan Riau (-1), Jawa Barat (-6), Sumatera Utara (-1), dan Nusa Tenggara Barat (-1).

Lingkup dapil anggota DPRD yang ditetapkan KPU juga tidak berdasarkan prinsip persamaan itu, terutama karena menggunakan data jumlah penduduk yang sangat tidak akurat untuk sejumlah daerah.

Data Penduduk

Data jumlah penduduk sejumlah provinsi yang digunakan KPU berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) 2012 tidak akurat dibandingkan hasil Sensus Penduduk 2010.

Jumlah penduduk DKI Jakarta dalam dua tahun menurun dari 9.607.787 berdasarkan Sensus Penduduk 2010 menjadi 9.603.417 berdasarkan data Kemendagri. Jumlah penduduk Jawa Tengah dalam dua tahun bertambah dari 32.382.657 berdasarkan Sensus Penduduk 2010 menjadi 32.578.357 berdasarkan data Kemendagri.

Jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta dalam dua tahun bertambah sebanyak 1.500 orang dari tahun 2010 ke tahun 2012. Sementara jumlah penduduk Jawa Timur dalam dua tahun berkurang menjadi 37.269.885 pada tahun 2012 dari 37.476.757 berdasarkan Sensus Penduduk 2010. Jumlah penduduk Indonesia dalam dua tahun bertambah kurang lebih 14 juta (3 persen tiap tahun) dari 237.641.326 (Sensus 2010) menjadi 251.857.940 (Kemendagri).

Apabila jumlah kursi dan jumlah penduduk setiap provinsi dibandingkan, suara pemilih yang tinggal di dapil yang over-represented bernilai lebih tinggi daripada suara pemilih yang tinggal di dapil yang under-represented. Harga satu kursi di dapil yang terwakili berlebihan lebih rendah daripada harga kursi di dapil yang kurang terwakili. Karena itu, alokasi kursi untuk Dapil tersebut belum menjamin equality of voting strength.

Kedua, setiap dapil harus merupakan suatu kesatuan wilayah yang utuh sehingga tidak saja mempermudah penyelenggaraan pemilu, baik dari sisi peserta pemilu dalam melakukan kampanye dan pendekatan dengan penduduk maupun dari segi penyelenggara pemilu, tetapi juga menunjukkan suatu komunitas kepentingan.

Penggabungan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur menjadi satu dapil melangkahi Kabupaten Bogor dan penggabungan Kota Banjarmasin dengan Kota Banjar Baru menjadi satu dapil melangkahi Kabupaten Banjar merupakan dua contoh dapil yang melanggar prinsip kedua.

Ketiga, menjamin perasaan diwakili (representativeness) dalam arti dapil dibentuk berdasarkan suatu komunitas yang memiliki karakteristik dan kepentingan yang lebih kurang sama, dan/atau yang tinggal di suatu wilayah yang penduduknya mengalami kemudahan dalam transportasi dan komunikasi. Konstituen dengan dapil seperti ini berkesempatan memilih kandidat yang mereka pandang cocok mewakili mereka.

Keempat, pembentukan dapil tidak bersifat diskriminatif (non-discrimination), yaitu tidak merugikan kelompok minoritas tertentu (tidak mencegah kelompok masyarakat tertentu terwakili dalam lembaga perwakilan rakyat) dan tidak menerapkan gerrymandering dalam pembentukan dapil. Karena KPU yang menetapkan lingkup dapil anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota, KPU-lah yang harus menjamin pelaksanaan prinsip ini.

Jika sebagian terbesar warga suatu kelompok etnik tertentu tinggal di dua kecamatan tetapi tidak satu pun kecamatan itu memenuhi syarat menjadi satu dapil tersendiri, KPU tidak boleh memisahkan dua kecamatan tersebut menjadi bagian dari dua dapil yang berbeda. KPU harus menggabungkan kedua kecamatan itu menjadi satu dapil. Jika dua atau lebih wilayah yang terpisah tetapi dua atau lebih wilayah itu menjadi basis pendukung suatu partai politik, dua atau lebih wilayah itu tidak boleh dipaksakan menjadi satu dapil, kecuali memenuhi ketiga prinsip tersebut di atas.

Kelima, penetapan dapil dilakukan imparsial oleh satu institusi yang bertindak nonpartisan (independen), proses pembentukan dapil bersifat transparan, dan dilakukan konsultasi publik dengan semua pemangku kepentingan pemilu secara demokratis sebelum menetapkan suatu dapil (partisipatif). Lingkup dapil anggota DPR tidak hanya ditetapkan partai politik peserta pemilu (DPR dan pemerintah) yang jelas bertindak partisan (memperoleh kursi sebanyak-banyaknya) dan tidak bersifat imparsial, tetapi juga tidak transparan dan partisipatif. Karena itu, lingkup dapil anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota akan dilakukan KPU.

KPU terikat untuk melaksanakan kriteria kelima ini ketika membentuk dapil DPRD di setiap provinsi dan dapil DPRD kabupaten/kota di setiap kabupaten/kota.

Keenam, jumlah penduduk yang digunakan adalah hasil sensus penduduk yang dilakukan setiap 10 tahun sekali, dan perubahan dapil dilakukan segera setelah hasil sensus penduduk diumumkan. Sensus penduduk diselenggarakan lembaga nonkementerian yang terdiri atas kalangan profesional sehingga akurasi dan imparsialitasnya lebih dapat diandalkan daripada dilakukan suatu kementerian yang dipimpin politisi yang memiliki kepentingan politik tertentu. Perubahan dapil tidak dilakukan setiap menjelang pemilu, tetapi setiap 10 tahun sekali sehingga perubahan distribusi penduduk dapat diakomodasi dalam pembentukan dapil. UU Nomor 8 Tahun 2012 justru mengharuskan KPU menggunakan data yang dihimpun Kemendagri dari pemda sehingga tidak saja kurang akurat, tetapi juga dilandasi kepentingan partai untuk meningkatkan jumlah anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Akhirnya, UU yang mengatur lingkup dapil harus mengandung setidak-tidaknya enam aspek berikut: (a) besaran dapil, (b) kriteria pembentukan dapil, (c) sumber data penduduk yang digunakan, (d) frekuensi perubahan dapil, (e) institusi yang berwenang menetapkan dapil, dan (f) derajat bentuk partisipasi publik dalam proses penetapan dapil.

Dari keenam aspek di atas, hanya aspek (a), (c), dan (e) yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012. Namun, pengaturan ketiganya juga belum memadai. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar