Demokrasi, kata Abraham Lincoln, merupakan pemerintahan dari, oleh,
dan untuk rakyat. Demokrasi adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang
memungkinkan rakyat memerintah diri mereka.
Karena jumlah penduduk, luas wilayah, dan kompleksitas permasalahan
yang dihadapi, negara modern tidak lagi memungkinkan rakyat memerintah diri
mereka secara langsung dalam semua bidang kehidupan. Jalan keluar yang
ditempuh adalah demokrasi perwakilan dan representasi politik.
Yang memerintah bukan lagi rakyat pemilik pemerintahan secara
langsung, tetapi mereka yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum, baik
yang berasal dari partai politik maupun perseorangan alias independen.
Ironisnya, demokrasi perwakilan dan representasi politik justru
memungkinkan demokrasi modern menyingkirkan rakyat pemilik kekuasaan
pemerintahan dari institusi yang memerintah mereka. Mereka yang dipilih
mewakili rakyat mengambil keputusan atas nama rakyat tanpa mendengarkan
atau berkonsultasi sama sekali dengan rakyat.
Untuk mencegah rakyat pemilik kekuasaan pemerintahan tersingkir dari
penjabat publik yang mereka pilih untuk memerintah, dibentuklah daerah
pemilihan (dapil), tidak saja sebagai wilayah tempat penjabat publik
dipilih, tetapi juga sebagai lingkup pemilih yang akan menentukan siapa
yang terpilih mewakili rakyat di wilayah tersebut.
Untuk menjamin agar demokrasi perwakilan dan representasi politik
tidak mengasingkan rakyat dari penjabat publik yang mereka pilih,
dibentuklah dapil dengan jumlah kursi/wakil yang jelas. Dengan demikian,
konstituen mengetahui siapa yang mewakili mereka dan kepada siapa mereka
menuntut akuntabilitas. Wakil rakyat juga akan mengetahui dengan jelas
konstituen yang diwakili dan kepada siapa dia harus mempertanggungjawabkan
kekuasaannya. Dengan dapil yang jelas, rakyat pemilik kedaulatan akan
mengetahui tidak saja kepada siapa mereka menyampaikan aspirasi dan
tuntutan, tetapi juga dapat memengaruhi apa yang akan diputuskan oleh wakil
rakyat tersebut.
Dasar Pemilihan
Daerah pemilihan dibentuk berdasarkan wilayah administrasi dan/atau
jumlah penduduk. Setiap dapil diwakili satu kursi (single-member constituency) atau lebih (multi-member constituency).
Salah satu unsur yang membedakan sistem pemilihan umum adalah
lingkungan dapil (district magnitude)
tersebut. Partai politik dan/atau perseorangan bersaing dalam pemilihan
umum untuk memenangkan kursi mewakili dapil tersebut. Namun, pemilih yang
terdaftar di dapil tersebut sajalah yang berhak menentukan siapa pemenang
di dapil tersebut melalui pemilihan umum.
Daerah pemilihan yang jelas akan memungkinkan warga negara yang
berhak memilih dan terdaftar sebagai pemilih secara sah dihargai sebelum,
saat, dan setelah memilih wakil mereka.
Daerah pemilihan macam apakah yang mampu menjamin rakyat pemilik
kedaulatan menentukan wakil yang siap menerima masukan pada setiap
kebijakan yang akan diputuskan?
Pertama, pembentukan dapil harus berdasarkan prinsip persamaan
kedudukan antar-warga negara dalam hukum dan pemerintahan yang dalam kajian
pemilihan umum disebut ”satu orang, satu suara, dengan nilai setara (one person, one vote, one value)”.
Aplikasinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum tampak pada
penentuan alokasi kursi untuk setiap dapil, yaitu setiap dapil mendapat
alokasi kursi sesuai dengan jumlah penduduk yang berdomisili di wilayah
tersebut. Prinsip ini diwujudkan untuk mencegah kemunculan dapil yang
”kurang terwakili” (under-represented)
ataupun dapil yang ”terwakili secara berlebihan” (over-represented).
Karena dalam praktik tidak mungkin setiap dapil memiliki jumlah
penduduk yang persis sama, biasanya terdapat konvensi batas toleransi
perbedaan jumlah penduduk sebesar plus-minus 10 persen.
Prinsip utama tersebut belum terjamin baik dalam penetapan lingkup
dapil anggota DPR yang merupakan lampiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, ataupun dalam penetapan
lingkup dapil anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota oleh KPU
(Keputusan KPU Nomor 08/Kpts/KPU/2013).
Lingkup dapil anggota DPR belum disusun berdasarkan prinsip persamaan
yang dijamin Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 karena sejumlah provinsi terwakili
secara berlebihan. Misalnya, Sulawesi Selatan (+5), Papua (+3), Sumatera
Barat (+3), Aceh (+2), dan Nusa Tenggara Timur (+2). Sebaliknya, ada
provinsi kurang terwakili, seperti Riau (-2), Kepulauan Riau (-1), Jawa
Barat (-6), Sumatera Utara (-1), dan Nusa Tenggara Barat (-1).
Lingkup dapil anggota DPRD yang ditetapkan KPU juga tidak berdasarkan
prinsip persamaan itu, terutama karena menggunakan data jumlah penduduk
yang sangat tidak akurat untuk sejumlah daerah.
Data Penduduk
Data jumlah penduduk sejumlah provinsi yang digunakan KPU berdasarkan
data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) 2012 tidak akurat dibandingkan
hasil Sensus Penduduk 2010.
Jumlah penduduk DKI Jakarta dalam dua tahun menurun dari 9.607.787
berdasarkan Sensus Penduduk 2010 menjadi 9.603.417 berdasarkan data
Kemendagri. Jumlah penduduk Jawa Tengah dalam dua tahun bertambah dari
32.382.657 berdasarkan Sensus Penduduk 2010 menjadi 32.578.357 berdasarkan
data Kemendagri.
Jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta dalam dua tahun bertambah
sebanyak 1.500 orang dari tahun 2010 ke tahun 2012. Sementara jumlah
penduduk Jawa Timur dalam dua tahun berkurang menjadi 37.269.885 pada tahun
2012 dari 37.476.757 berdasarkan Sensus Penduduk 2010. Jumlah penduduk
Indonesia dalam dua tahun bertambah kurang lebih 14 juta (3 persen tiap
tahun) dari 237.641.326 (Sensus 2010) menjadi 251.857.940 (Kemendagri).
Apabila jumlah kursi dan jumlah penduduk setiap provinsi
dibandingkan, suara pemilih yang tinggal di dapil yang over-represented
bernilai lebih tinggi daripada suara pemilih yang tinggal di dapil yang
under-represented. Harga satu kursi di dapil yang terwakili berlebihan
lebih rendah daripada harga kursi di dapil yang kurang terwakili. Karena
itu, alokasi kursi untuk Dapil tersebut belum menjamin equality of voting
strength.
Kedua, setiap dapil harus merupakan suatu kesatuan wilayah yang utuh
sehingga tidak saja mempermudah penyelenggaraan pemilu, baik dari sisi
peserta pemilu dalam melakukan kampanye dan pendekatan dengan penduduk
maupun dari segi penyelenggara pemilu, tetapi juga menunjukkan suatu
komunitas kepentingan.
Penggabungan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur menjadi satu dapil
melangkahi Kabupaten Bogor dan penggabungan Kota Banjarmasin dengan Kota
Banjar Baru menjadi satu dapil melangkahi Kabupaten Banjar merupakan dua
contoh dapil yang melanggar prinsip kedua.
Ketiga, menjamin perasaan diwakili (representativeness) dalam arti
dapil dibentuk berdasarkan suatu komunitas yang memiliki karakteristik dan
kepentingan yang lebih kurang sama, dan/atau yang tinggal di suatu wilayah
yang penduduknya mengalami kemudahan dalam transportasi dan komunikasi.
Konstituen dengan dapil seperti ini berkesempatan memilih kandidat yang
mereka pandang cocok mewakili mereka.
Keempat, pembentukan dapil tidak bersifat diskriminatif
(non-discrimination), yaitu tidak merugikan kelompok minoritas tertentu
(tidak mencegah kelompok masyarakat tertentu terwakili dalam lembaga
perwakilan rakyat) dan tidak menerapkan gerrymandering dalam pembentukan
dapil. Karena KPU yang menetapkan lingkup dapil anggota DPRD provinsi dan
anggota DPRD kabupaten/kota, KPU-lah yang harus menjamin pelaksanaan
prinsip ini.
Jika sebagian terbesar warga suatu kelompok etnik tertentu tinggal di
dua kecamatan tetapi tidak satu pun kecamatan itu memenuhi syarat menjadi
satu dapil tersendiri, KPU tidak boleh memisahkan dua kecamatan tersebut menjadi
bagian dari dua dapil yang berbeda. KPU harus menggabungkan kedua kecamatan
itu menjadi satu dapil. Jika dua atau lebih wilayah yang terpisah tetapi
dua atau lebih wilayah itu menjadi basis pendukung suatu partai politik,
dua atau lebih wilayah itu tidak boleh dipaksakan menjadi satu dapil,
kecuali memenuhi ketiga prinsip tersebut di atas.
Kelima, penetapan dapil dilakukan imparsial oleh satu institusi yang
bertindak nonpartisan (independen), proses pembentukan dapil bersifat
transparan, dan dilakukan konsultasi publik dengan semua pemangku
kepentingan pemilu secara demokratis sebelum menetapkan suatu dapil
(partisipatif). Lingkup dapil anggota DPR tidak hanya ditetapkan partai
politik peserta pemilu (DPR dan pemerintah) yang jelas bertindak partisan (memperoleh
kursi sebanyak-banyaknya) dan tidak bersifat imparsial, tetapi juga tidak
transparan dan partisipatif. Karena itu, lingkup dapil anggota DPRD
provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota akan dilakukan KPU.
KPU terikat untuk melaksanakan kriteria kelima ini ketika membentuk
dapil DPRD di setiap provinsi dan dapil DPRD kabupaten/kota di setiap
kabupaten/kota.
Keenam, jumlah penduduk yang digunakan adalah hasil sensus penduduk
yang dilakukan setiap 10 tahun sekali, dan perubahan dapil dilakukan segera
setelah hasil sensus penduduk diumumkan. Sensus penduduk diselenggarakan
lembaga nonkementerian yang terdiri atas kalangan profesional sehingga
akurasi dan imparsialitasnya lebih dapat diandalkan daripada dilakukan
suatu kementerian yang dipimpin politisi yang memiliki kepentingan politik
tertentu. Perubahan dapil tidak dilakukan setiap menjelang pemilu, tetapi
setiap 10 tahun sekali sehingga perubahan distribusi penduduk dapat
diakomodasi dalam pembentukan dapil. UU Nomor 8 Tahun 2012 justru
mengharuskan KPU menggunakan data yang dihimpun Kemendagri dari pemda
sehingga tidak saja kurang akurat, tetapi juga dilandasi kepentingan partai
untuk meningkatkan jumlah anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Akhirnya, UU yang mengatur lingkup dapil harus mengandung
setidak-tidaknya enam aspek berikut: (a) besaran dapil, (b) kriteria
pembentukan dapil, (c) sumber data penduduk yang digunakan, (d) frekuensi
perubahan dapil, (e) institusi yang berwenang menetapkan dapil, dan (f)
derajat bentuk partisipasi publik dalam proses penetapan dapil.
Dari keenam aspek di atas, hanya aspek (a), (c), dan (e) yang diatur
dalam UU Nomor 8 Tahun 2012. Namun, pengaturan ketiganya juga belum
memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar