Bahasa bukan semata-mata persoalan
gramatikal, leksikal, dan ejaan. Ketika dipakai dalam komunikasi antara dua
orang atau lebih, bukan hanya wacana yang bermain di situ, tetapi juga
aspek ekstrinsik yang mencakup status para pelaku ujaran, relasionalitas
antarpelaku, konteks situasional, juga nada yang menampilkan aspek
emosional.
Suatu kalimat dengan diksi
tertentu mungkin pantas dilontarkan seseorang yang tidak atau kurang
berpendidikan, tetapi ditanggapi sebagai tindakan tercela kalau diucapkan
oleh orang yang seharusnya ketat menjaga perilaku berkat statusnya yang
terpandang di masyarakat.
Suatu kalimat menurut aturan tata
bahasa mungkin dinilai baik dan benar, tetapi apabila tak memenuhi asas
kepantasan, tentu mengusik hati nurani penanggap, publik. Apabila kalimat
itu terlontar dari mulut pejabat atau wakil rakyat, tidak layak dibiarkan
begitu saja. Kesempurnaan berbahasa tidak hanya mencakup soal baik dan
benar, tetapi juga etis dan indah. Jika kedua hal itu terpenuhi, agunglah
suatu bangsa di mata bangsa-bangsa lain.
Nama Alimin, anggota Komisi VII
DPR, disebut dalam sebuah artikel di situs berita Republika Online, Rabu
(6/2) yang berjudul ”DPR Tuding
Dahlan Iskan Pencuri”. Dalam rapat dengar pendapat DPR tentang
inefisiensi PLN 2009-2011 dia dikutip telah mengatakan, ”Bagaimana bisa pencuri menjadi Dirut
PLN, lalu Menteri BUMN dan nanti mau jadi presiden.”
Dari telaah ekstrinsik atas
kalimat itu bisa disimpulkan bahwa sasaran yang dimaksud (Dahlan Iskan)
ialah pencuri dengan asumsi ia telah terbukti secara hukum melakukan
pencurian. Padahal, fakta yang menjadi syarat untuk itu belum jelas sebab
pembuktian menurut hukum belum dilakukan.
Menurut artikel itu, ”Hal ini terkait peristiwa tahun 2001,
saat tim operasi penertiban aliran listrik dari rayon PLN menemukan
kekurangan bayar di gedung kantor Jawa Pos yang dipimpin Dahlan, gedung
Graha Pena, Surabaya.”
Landasan bagi wacana Alimin: ”Pencurian listrik tersebut mencapai
1.600 kilovolt-ampere dan menyebabkan denda hingga Rp 2 miliar.”
Di sisi lain, ”Direktur Utama PLN Nur Pamudji membantah isu pencurian ini. ’Yang
ditemukan ada kerusakan kabel di gardu PLN, yang gardunya melayani Graha
Pena,’ katanya. Ini berpengaruh pada ukuran energi gedung Graha Pena.
Karenanya ia menolak hal tersebut dikatakan pencurian, tetapi hanya
kekurangan daya saja.”
Anggota DPR itu juga berkata, ”Naga Bonar itu preman yang menjadi
jenderal, jadi nggak ngerti.” Buktinya, kata dia, Dahlan membuat
keputusan yang berujung pada inefisiensi PLN.
Apakah benar perusahaan Dahlan
mencuri, itu harus dibuktikan di pengadilan. Yang patut disesalkan, Alimin
lepas kendali sehingga terucap kata-kata pencuri dan preman di ruang sidang
yang terhormat itu. Juga, perumpamaan Dahlan dengan Naga Bonar memperburuk
citra kurang terhormat yang seharusnya tidak melekat pada diri sang politikus.
Aspek ekstrinsik telah membuat cacat bahasanya kendati secara gramatikal
nyaris tidak ada kesalahan yang berarti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar