Jumat, 15 Maret 2013

Kepantasan


Kepantasan
Kurnia JR  ;  Pujangga
KOMPAS, 15 Maret 2013

  
Bahasa bukan semata-mata persoalan gramatikal, leksikal, dan ejaan. Ketika dipakai dalam komunikasi antara dua orang atau lebih, bukan hanya wacana yang bermain di situ, tetapi juga aspek ekstrinsik yang mencakup status para pelaku ujaran, relasionalitas antarpelaku, konteks situasional, juga nada yang menampilkan aspek emosional.
Suatu kalimat dengan diksi tertentu mungkin pantas dilontarkan seseorang yang tidak atau kurang berpendidikan, tetapi ditanggapi sebagai tindakan tercela kalau diucapkan oleh orang yang seharusnya ketat menjaga perilaku berkat statusnya yang terpandang di masyarakat.
Suatu kalimat menurut aturan tata bahasa mungkin dinilai baik dan benar, tetapi apabila tak memenuhi asas kepantasan, tentu mengusik hati nurani penanggap, publik. Apabila kalimat itu terlontar dari mulut pejabat atau wakil rakyat, tidak layak dibiarkan begitu saja. Kesempurnaan berbahasa tidak hanya mencakup soal baik dan benar, tetapi juga etis dan indah. Jika kedua hal itu terpenuhi, agunglah suatu bangsa di mata bangsa-bangsa lain.
Nama Alimin, anggota Komisi VII DPR, disebut dalam sebuah artikel di situs berita Republika Online, Rabu (6/2) yang berjudul ”DPR Tuding Dahlan Iskan Pencuri”. Dalam rapat dengar pendapat DPR tentang inefisiensi PLN 2009-2011 dia dikutip telah mengatakan, ”Bagaimana bisa pencuri menjadi Dirut PLN, lalu Menteri BUMN dan nanti mau jadi presiden.”
Dari telaah ekstrinsik atas kalimat itu bisa disimpulkan bahwa sasaran yang dimaksud (Dahlan Iskan) ialah pencuri dengan asumsi ia telah terbukti secara hukum melakukan pencurian. Padahal, fakta yang menjadi syarat untuk itu belum jelas sebab pembuktian menurut hukum belum dilakukan.
Menurut artikel itu, ”Hal ini terkait peristiwa tahun 2001, saat tim operasi penertiban aliran listrik dari rayon PLN menemukan kekurangan bayar di gedung kantor Jawa Pos yang dipimpin Dahlan, gedung Graha Pena, Surabaya.”
Landasan bagi wacana Alimin: ”Pencurian listrik tersebut mencapai 1.600 kilovolt-ampere dan menyebabkan denda hingga Rp 2 miliar.”
Di sisi lain, ”Direktur Utama PLN Nur Pamudji membantah isu pencurian ini. ’Yang ditemukan ada kerusakan kabel di gardu PLN, yang gardunya melayani Graha Pena,’ katanya. Ini berpengaruh pada ukuran energi gedung Graha Pena. Karenanya ia menolak hal tersebut dikatakan pencurian, tetapi hanya kekurangan daya saja.”
Anggota DPR itu juga berkata, ”Naga Bonar itu preman yang menjadi jenderal, jadi nggak ngerti.” Buktinya, kata dia, Dahlan membuat keputusan yang berujung pada inefisiensi PLN.
Apakah benar perusahaan Dahlan mencuri, itu harus dibuktikan di pengadilan. Yang patut disesalkan, Alimin lepas kendali sehingga terucap kata-kata pencuri dan preman di ruang sidang yang terhormat itu. Juga, perumpamaan Dahlan dengan Naga Bonar memperburuk citra kurang terhormat yang seharusnya tidak melekat pada diri sang politikus. Aspek ekstrinsik telah membuat cacat bahasanya kendati secara gramatikal nyaris tidak ada kesalahan yang berarti. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar