Teolog Jerman, Hans Kung, pernah menulis bahwa atas dasar investigasi
literatur yang dilakukan pada lima pokok ajaran Islam; sahadat, shalat,
pembayaran zakat, puasa, dan haji merupakan hal yang esensial untuk menuju
paradigma teologi harapan pascapemerintahan Islam masa kenabian, khulafaur
rasyidin, dan para sahabat dengan perspektif baru (Hans Kung, 2008).
Kutipan di atas sengaja dipergunakan untuk memulai tulisan ini. Hal
itu penting karena setelah masa kenabian, khulafaur rasyidin, dan sahabat
salafus salih, Islam sering kali mengalami banyak distorsi dalam praktik
dan penyebarannya di Indonesia. Bahkan, pasca-Perang Dunia I dan Perang
Dingin, Islam di Indonesia seakan-akan menjadi Islam yang memiliki
penampilan galak dan sadis.
Islam hadir di Indonesia penuh dengan kekerasan dan kurang bersahabat
dengan sesama pemeluk agama Tuhan di bumi Indonesia. Sebagai agama
mayoritas, Islam di Indonesia bahkan menampakkan seakan-akan sebagai agama
yang penuh dengan persoalan internal sehingga kontribusinya untuk
perkembangan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia mengalami kebuntuan.
Komunitas Muslim Indonesia non-arus utama (bukan Muhammadiyah dan NU)
sering menampakkan aktivitas yang cenderung menakutkan sesama umat Muslim.
Komunitas non-arus utama sering melakukan aktivitas ritual dan pengajian
yang sangat mengutamakan fashion. Fashion dalam maknanya yang serba glamor,
bukan yang sederhana dan merakyat.
Islam Indonesia yang dianut para elite politik benar-benar berbeda
dengan teladan yang ditinggalkan khulafaur rasyidin dan para sahabat
segenerasi mereka yang kita sebut kaum salafus salih. Islam yang dianut
para elite politik Indonesia penuh kepalsuan. Meski menganut Islam, para
tersangka korupsi dan terpidana korupsi tetap mampu tersenyum di depan
kamera televisi dan tanpa beban berkomentar bahwa peristiwa ini adalah
fitnah. Peristiwa yang sedang menimpa dianggap sebagai pembunuhan karakter
anak bangsa, serta kalimat lain yang jelas sekali sebagai pembelaan.
Perhatikan peristiwa yang mengenaskan dan terus menghantui kaum
minoritas Ahmadiyah di Lombok. Perhatikan pula peristiwa yang menimpa
Jemaah Syiah (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) di Madura yang menjadi
bulan-bulanan Islam mayoritas. Kaum Muslim di dua daerah tersebut
seakan-akan tidak rela atas kehadiran Ahmadiyah dan Jamaah Syiah. Padahal,
dua komunitas itu hadir sejak lama di sana. Pertanyaannya, mengapa baru-baru
ini saja mereka mengalami perlakuan yang mengerikan, diusir dari tanah
airnya sendiri oleh kaum mayoritas?
Islam ke Depan
Lalu, teologi macam apa yang kita harapkan tumbuh dan berkembang dari
Islam di Indonesia? Di sinilah relevansi kutipan dari teolog Hans Kung
perlu mendapatkan perhatian serius kalangan Muslim Indonesia.
Perspektif baru berteologi Islam ke depan adalah paradigma Islam yang
mampu berdialog dengan dunia nyata. Islam harus mampu dihadirkan untuk
dialog dengan kondisi kekinian. Islam harus mampu dihadirkan untuk
membangun dialog sebab dengan dialog Islam akan mampu memberi kontribusi
bagi perkembangan peradaban dunia. Peradaban dunia merupakan karakter dari
keislaman yang membela kemanusiaan, bukan Islam yang bertentangan dan
melawan kemanusiaan.
Islam yang sesuai dengan kemanusiaan itulah Islam yang berperadaban,
bukan Islam yang monopolistik, tiranik, apalagi sadis dan teroris. Islam
yang sesuai dengan kemanusiaan merupakan Islam yang dianut kaum Muslim yang
panjang akal, bukan kaum Muslim yang pendek akal.
Islam panjang akal jelas merupakan keinginan sebagian besar bangsa di
muka bumi, khususnya bumi Indonesia yang tercinta. Sementara Islam pendek
akal merupakan Islam yang berkarakter menipu, tirani, ingin benar sendiri,
dan tidak menghargai kehadiran umat lain yang sama-sama menanamkan
kebajikan. Umat lain, sekalipun berbuat bajik, tetap saja dihakimi dengan
caranya sendiri sebagai pengkhianat dan ingkar akan Tuhan.
Sungguh sebuah perspektif keislaman yang harus segera ditinggalkan agar
Islam beranjak dari buritan menuju peradaban yang utama, peradaban yang
menghargai keragaman dan kebajikan umat lain yang berbeda keyakinan. Muslim
pendek akal hanya akan mendistorsi otentisitas dan semangat kemanusiaan.
Ringkasnya, Muslim panjang akal merupakan aktualisasi Islam yang
santun, ramah, damai, dan menyejahterakan sesama umat Tuhan. Sementara itu,
Muslim pendek akal merupakan aktualisasi Islam yang ”belepotan” dengan
kebencian, penipuan, kepalsuan belaka, kecurigaan, dan pertumpahan darah karena
semangatnya menghabisi dan merendahkan liyan.
Karena itu, paradigma keislaman yang kita harapkan sebagai bentuk
konkret dari teologi pengharapan seperti disarankan Hans Kung adalah Islam
yang tidak mengumbar janji-janji politik kepada publik. Harapan atas
teologi Islam ke depan adalah Islam yang mengajarkan sekaligus mengamalkan
ajaran menyejahterakan umat manusia sebagai bentuk kebajikan. Sebab, kelak
lebih baik ketimbang sekarang di muka Bumi, wal akhiratu khairu laka minal
dunya, dan di akhirat kelak lebih baik daripada di dunia!
Oleh karena itulah, mari kita sambut gagasan teologi harapan versi
Islam Indonesia sebab kontribusinya sangat diharapkan sebagai agama besar
di Indonesia. Ketika Islam gagal menghadirkan teologi harapan, ancaman
perang antarperadaban yang akan membumihanguskan kemanusiaan akan semakin
nyata.
Di Indonesia, Islam amat penting kontribusi dan kehadirannya. Islam
sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini akan turut menentukan maju dan
hancurnya bangsa yang sedang tercabik-cabik pelbagai macam kepalsuan para
elite politik. Kepada para ulama, kaum terdidik, dan pendakwah yang
tercerahkan, Islam masa depan sebagai harapan. Islam Indonesia tidak bisa
diharapkan dari mereka yang pendek akal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar