Anatomi
Tekanan Sosial, Sebuah Refleksi Kritis Reza A.A Wattimena ; Peneliti Bidang
Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur |
KOMPAS, 30 April 2021
Tak ada yang sungguh asli dalam hidup kita.
Tubuh kita peroleh dari makanan yang kita makan, dan minuman yang kita minum.
Pikiran kita peroleh dari hubungan kita dengan dunia sosial yang terjadi
setiap saat. Namun, ada kalanya, secuil kebebasan tampil ke depan. Kita bisa sadar, dan memilih dalam hidup
kita. Kita bisa belajar tentang berbagai hal baru secara sadar. Kita bisa
membentuk cara berpikir dan kebiasaan hidup baru secara sadar. Di dalam dunia
yang tak pernah asli, kita bisa mengambil keputusan yang memutus pola, dan mengubah
kebiasaan. Namun, di Indonesia, kesadaran untuk
memilih ini kerap berhadapan dengan konservatisme agama maupun tradisi. Pandangan baru tak jarang dianggap melawan
tradisi, tetapi juga diancam dengan hukuman api neraka. Ketakutan dan hukuman
semu, yang berpijak diatas tradisi maupun agama konservatif, mampu menghambat
kesadaran untuk memilih bangsa ini. Filsafat
Kerumunan Perkembangan filsafat penuh dengan kajian
terhadap hal ini. Ada lima hal yang bisa diperhatikan. Pertama, Soren
Kierkegaard, pemikir Denmark, menyebut ini sebagai hidup yang tak otentik.
Orang menyerahkan pilihannya pada tradisi dan agama, tanpa kesadaran yang
penuh. Orang kehilangan hidupnya sendiri, dan menjadi manusia palsu yang jauh
dari otentisitas. Dua, Martin Heidegger, pemikir Jerman,
melihat ini sebagai fenomena Das Man. Manusia kehilangan orientasi nilainya.
Manusia kehilangan keberaniannya untuk berpikir kritis dan mandiri. Ia
menjadi manusia sehari-hari yang tunduk patuh pada aturan-aturan kaku tradisi
maupun agama. Ia menjadi manusia yang kehilangan kemanusiaannya. Tiga, juga menurut Heidegger, ini berakar
pada sebab yang lebih dalam, yakni ketidakberpikiran (Gedankenglosigkeit).
Orang bisa cerdas, dan memiliki pendidikan yang tinggi. Namun, jika ia tak
berani menggunakan pemikirannya secara kritis, ia menjadi mahluk yang tak
berpikir. Ia hanya mampu berpikir secara teknis, menjalankan perintah dan
mengikuti tradisi secara buta. Empat, konsep mental kerumunan dari Elias
Canetti, pemikir Bulgaria, kiranya bisa memberikan pencerahan. Di dalam
kerumunan, orang kehilangan jati dirinya. Ia mengambil pola pikir dan
kebiasaan kelompoknya, sambil mengorbankan otentisitasnya. Ia pun menjadi
massa yang kerap kehilangan akal sehat, serta mampu bersikap jahat terhadap
orang maupun mahluk hidup lain. Lima, di dalam teori-teori sosial, hal ini
disebut juga sebagai konformisme sosial. Artinya, orang bersikap dengan
mengikuti orang lain, atau kelompoknya, tanpa sadar. Orang bersikap patuh
buta terhadap tekanan sosial kelompoknya, atau orang lain. Dalam jangka waktu
tertentu, ia kehilangan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai hal secara
kritis dan mandiri. Sikap
kritis Dalam hal ini, ada lima hal yang perlu
diperhatikan. Yang pertama adalah minimnya sikap kritis. Orang malas
mempertanyakan kebiasaaan masyarakat sekitarnya. Ia memilih untuk hanyut buta
dalam gelombang konservatisme tradisi dan agama yang kerap berlawanan dengan
akal sehat. Dua, sikap kritis tak berkembang, karena
orang takut. Di dalam masyarakat terbelakang, pertanyaan dianggap berbahaya.
Sikap kritis dianggap sebagai musuh yang mesti dibasmi. Dalam jangka waktu
tertentu, sikap patuh buta menjadi budaya, dan masyarakat pun terjebak dalam
kebodohan maupun kemiskinan. Tiga, jika takut tak hadir, kerinduan ganjil
lainnya yang hadir, yakni kerinduan untuk dijajah. Di dalam pribadi yang
lemah, kemandirian adalah upaya berat. Sikap kritis membutuhkan daya upaya
yang menguras energi batin. Maka, orang dengan pribadi lemah cenderung rela
untuk dijajah dan ditipu oleh tekanan kelompoknya. Empat, di dalam ketidakpastian, orang
berpegang pada apa yang sudah ada. Inilah yang kiranya terjadi di masyarakat.
Kegagalan pemerintah untuk menciptakan keadilan, kemakmuran dan kecerdasan
bagi warganya menciptakan suasana ketidakpastian yang mencekam. Ini ditambah
dengan berkembangnya radikalisme agama maupun pandemik yang tak kunjung usai.
Di dalam keadaan krisis semacam ini, orang cenderung rela menyerahkan
kebebasan maupun sikap kritisnya kepada tradisi maupun agama yang sudah ada. Lima, seringkali dalam kehidupan bersama di
masyarakat kita tak pernah sungguh boleh menjadi diri sendiri. Kita harus
mengikuti teladan orang tertentu, tanpa sikap kritis. Biasanya, nilai agama
yang konservatif ataupun kekayaan material belaka, sering hasil korupsi atau
memperbodoh banyak orang) menjadi tolok ukur utama. Di dalam masyarakat serba
palsu semacam ini, orang sulit untuk jujur pada dirinya sendiri, dan menjadi
pribadi yang otentik. Hidup
yang hanya sekejap mata Di hadapan semua itu, satu-satunya yang
merawat kebebasan maupun kewarasan kita sebagai manusia adalah sikap kritis.
Tak heran, kemampuan berpikir kritis dipandang sebagai kecerdasan terpenting
di abad 21 ini. Wujud nyatanya adalah orang tak lagi sekedar ikut
kecenderungan kelompoknya. Ia menelaah secara sadar dengan akal sehat dan
nurani yang jernih, sebelum memercayai ataupun mengikuti pola hidup tertentu. Ia berani bertanya. Ia berani
mempertanyakan berbagai kebiasaan yang ada. Ia tak mudah terpukau oleh
slogan-slogan yang tampak luhur namun menyembunyikan kepentingan pragmatis
atau ideologis tertentu yang mengemuka di ruang publik. Ia melihat semuanya
dengan kaca mata akal sehat dan hati nurani, sebelum mengambil keputusan
lebih jauh. Di dalam sejarah, orang-orang semacam itu kerap
disalahpahami. Mereka dikucilkan, dan bahkan dihukum mati. Namun, sejarah
justru berkembang, karena para pemikir kritis ini. Merekalah tokoh-tokoh
besar yang namanya kerap kita baca di berbagai buku sejarah. Di bumi ini, hidup hanya sekejap mata. Sebagai
manusia, usia tubuh kita pendek sekali, jika dibandingkan dengan usia bumi,
tata surya maupun alam semesta. Apakah kita ingin menjalani hidup tanpa sikap
kritis di tengah arus deras kepalsuan serta kepatuhan buta pada masyarakat?
Apakah kita ingin hidup di dalam ketakutan, akibat tekanan sosial yang tak
sepenuhnya menjadikan kita pribadi yang otentik? Ini yang mesti sungguh kita
renungkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar