Pekerja
Migran Dalam Kecamuk Pandemik Covid-19 Wahyu Susilo ; Direktur Eksekutif
Migrant CARE |
KOMPAS, 1 Mei 2021
Kecamuk pandemik Covid-19 sudah berlangsung
lebih dari setahun dan peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) tahun ini
suasananya masih seperti tahun lalu yang ditandai dengan kemunculan
kerentanan-kerentanan baru yang dihadapi kaum pekerja (termasuk didalamnya
pekerja migran). Selain itu juga muncul pertanyaan kritis apakah kebijakan
pemulihan pandemik Covid-19 sudah berpihak pada kaum pekerja migran. Kaji cepat (rapid assessment) Human
Development UNDP mengenai dampak pandemik COVID-19 terhadap migrasi tenaga
kerja yang berjudul "Human Mobility: Share Opportunities" memastikan
bahwa migrasi tenaga kerja internasional mengalami pelambanan yang membawa
implikasi ekonomi global pada penurunan volume remitansi. Kaji cepat ini juga menegaskan kembali
relasi antara migrasi tenaga kerja dan kontribusinya pada indeks pembangunan manusia
baik di negara asal maupun negara tujuan. Jika tata kelola migrasi global
mengarah pada perlindungan hak pekerja migran maka akan berkontribusi positif
pada indeks pembangunan manusia, demikian sebaliknya jika tata kelolanya
buruk juga berdampak negatif. Pandemik Covid-19 menjadi tantangan baru
untuk membangun kembali tata kelola migrasi tenaga kerja yang lebih baik dan
berpihak pada pekerja migran. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Antonio Gutteres, menyatakan bahwa tidak ada kerjasama internasional yang
bermutu dan bermanfaat tanpa ada perwujudan tata kelola migrasi global yang
adil, setara dan berbasis pada hak asasi manusia. Dalam kenyataannya, pekerja migran adalah
bagian dari kelompok pekerja marginal yang terjauhkan dari akses layanan
kesehatan dan vaksinasi, sebuah kebutuhan vital menghadapi pandemik Covid-19
di negara tujuan. Pandemik Covid-19 membuat semua negara di
muka ini kembali menjadi lebih nasionalistis dengan memprioritaskan layanan
warga negaranya dan menomorduakan para pendatang (apalagi pekerja migran
kerah biru) yang sebenarnya merupakan pekerja garda depan yang berhadapan
langsung dengan ancaman virus ganas ini. Sebaliknya, dalam kebijakan pembatasan
mobilitas dan pembatasan kerumunan, para pekerja migran menjadi kelompok yang
dekat dengan kriminalisasi atas nama kebijakan pencegahan Covid-19 didasari
pada prasangka dan stigma sebagai pembawa virus. Kemunculan sentimen anti Asia di Amerika
baru-baru ini salah satu pemicunya adalah stigma warga Asia sebagai pembawa
virus berkawin-mawin dengan ideologi white-supremacy yang tumbuh subur pada
masa rezim populis kanan Donald Trump. Bagaimana dengan kondisi pekerja migran
Indonesia selama masa pandemik Covid-19? Berdasarkan pemantauan Migrant CARE,
sepanjang masa pandemik Covid-19, pemerintah Indonesia tentu tidak berdiam
diri dalam merespons kecamuk pandemik Covid-19 dan dampaknya pada pekerja
migran Indonesia. Ketika hari-hari ini kita disibukkan untuk
mengantisipasi mudik pekerja migran Indonesia menjelang Lebaran, seharusnya
kita bisa belajar pada pengalaman mitigasi pemulangan pekerja migran
Indonesia pada awal masa kecamuk Covid-19 tahun lalu. Saat itu, sekitar 176.000 pekerja migran
Indonesia (menurut data BP2MI) harus pulang ke tanah air dengan berbagai alasan,
antara lain kehilangan pekerjaan karena Covid-19, habis masa kontrak dan cuti
mudik Lebaran. Walau di awal ada kekisruhan karena masalah
kelangkaan moda transportasi penghubung dari bandara ke kampung halaman dan
laporan pengaduan adanya layanan diskriminatif, secara umum kepulangan
176.000 pekerja migran Indonesia pada tahun pertama ini tidak memunculkan
kluster penularan Covid-19 di kampung halaman. Ini bisa menjadi panduan untuk
memperbaiki mitigasi pemudik pekerja migran Indonesia menjelang Lebaran tahun
ini. Namun demikian, serangkaian kebijakan
pemerintah Indonesia yang spesifik terkait ketenagakerjaan dan dampak
pandemik malah belum secara signifikan memenuhi standar pelindungan dan
pemenuhan hak pekerja migran Indonesia. Berkali-kali Menteri Luar Negeri RI
menyatakan bahwa Indonesia aktif dalam melakukan diplomasi vaksin agar merata
dan tidak ada monopoli negara tertentu. Langkah ini patut diapresiasi, namun
yang juga harus diprioritaskan dalam diplomasi vaksin ini adalah mendesak
negara tujuan bekerja pekerja migran Indonesia membuka akses vaksin bagi
pekerja migran untuk memastikan keselamatan dan partisipasi pekerja migran
dalam membentuk kekebalan komunitas global (global herd immunity). Harus diakui, kebijakan ketenagakerjaaan
terkait dampak pandemik Covid-19 sangat bias pada pekerja formal. Skema
subsidi upah yang digulirkan Kemnaker RI hanya bisa diakses oleh pekerja
formal yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Skema ini seharusnya didorong
inklusif mencakup pekerja informal dan pekerja migran (kelompok yang paling
parah terdampak) sebagai skema progresif menjaga daya beli pekrja di masa
pandemik Covid-19. APBN Perubahan 2020 dan APBN 2021 yang
porsi terbesarnya didedikasikan untuk anggaran pemulihan kesehatan dan
perlindungan sosial ternyata juga belum memperlihatkan anggaran yang
signifikan untuk memastikan alokasi perlindungan sosial bagi pekerja migran
terdampak dan antisipasi pelambanan migrasi tenaga kerja global. Kebijakan tutup-buka penempatan pekerja
migran Indonesia yang tidak komprehensif dan antisipatif bahkan telah
menambahkan kerentanan pekerja migran menjadi kelinci percobaan saat krisis
kesehatan Covid-19 masih berada di puncak. Di daerah basis pekerja migran,
kebijakan ini mendorong praktek perekrutan ugal-ugalan yang berujung pada
perdagangan manusia. Menteri Ketenagakerjaan RI pada masa awal
Covid-19 sempat menghentikan sementara penempatan pekerja migran untuk
mencegah penularan COVID-19 dengan menerbitkan Kepmenaker No. 151/2020. Namun
seiring dengan euphoria “new normal”, pada awal Agustus 2020 mencabut
larangan tersebut dan menerbitkan Kepmenaker 294/2020 untuk memayungi
kebijakan penempatan pekerja migran di masa adaptasi dan kenormalan baru. Walau kebijakan ini menetapkan syarat dan
ketentuan yang ketat serta membatasi jumlah negara tujuan, tetap saja
menimbulkan resiko bagi (calon) pekerja migran, apalagi hingga saat ini
secara global belum ada penurunan kurva pandemik Covid-19. Kekhawatiran ini terbukti ketika terungkap
adanya pekerja migran Indonesia yang ditempatkan ke Taiwan dinyatakan
tertular Covid-19 setelah dilakukan tes ulang kesehatan. Hal ini tentu
mempertaruhkan kredibilitas tata laksana pemeriksaan Covid-19 di Indonesia.
Ini juga berdampak pada penolakan Taiwan untuk menerima pekerja migran Indonesia. Akibat lain yang ditimbulkan dari kebijakan
ini adalah maraknya perekrutan ugal-ugalan dengan legitimasi Kepmenaker
294/2020, padahal kenyataannya perekrutan tersebut tidak sesuai dengan syarat
dan ketentuan yang berlaku. Calon pekerja migran direkrut untuk negara tujuan
dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan Kepmenaker 294/2020. Meski ekses kebijakan ini menambah
kerentanan bagi (calon) pekerja migran dan anggota keluarganya, tidak membuat
pemerintah Indonesia mengevaluasi kebijakan ini. Bahkan secara gradual,
kebijakan penempatan pekerja migran di masa krisis kesehatan ini malah
berlipat tiga kali dari 17 negara (saat ditetapkan awal Agustus 2020) menjadi
52 negara (pada April 2021). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar