Rabu, 04 Januari 2017

Mendidik dengan Rendah Hati

Mendidik dengan Rendah Hati
Iqbal Aji Daryono   ;   Praktisi Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, untuk menemani istri yang menempuh studi doktoralnya
                                                  DETIKNEWS, 03 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"Jadi bentuknya dinosaurus tuh seperti ini, Pak," kata Hayun, anak saya. Ia mengucapkannya sambil menunjukkan beberapa patung binatang masa lalu tersebut, saat kami tengah berjalan-jalan di Melbourne Museum. "Tapi it can be right, it can be wrong." Bisa benar, bisa salah, katanya.

Lho, siapa yang bilang begitu? Saya bertanya.

"Ya guruku, Mrs Alison," jawab Hayun. "Bentuk yang ini bisa benar, bisa salah. Soalnya hewan-hewan ini sudah nggak ada yang hidup lagi, dan scientist cuma guessing aja pakai tulang-tulang."

Wow. Saya langsung terkesan dengan jawaban itu. Lebih tepatnya, saya terkesan dengan penjelasan guru sekolah Hayun. Murid kelas satu SD sudah diberi bonus keterangan, bahwa apa yang dipaparkan guru mereka adalah hal yang relatif, sekaligus rapuh. Bisa benar, namun bisa juga salah. Entahlah, apakah itu memang metode pengajaran standar di Australia, ataukah cuma karena gurunya Hayun saja yang kebetulan luar biasa.

Saya tidak tahu apa istilah pedagogisnya. Bolehkah saya sebut dengan... mmm... pendidikan yang rendah hati? Hehehe. Terdengar kurang akademis, ya. Namun saya kira itu bisa jadi satu poin menarik.

Selama ini, kita selalu resah melihat orang-orang yang berpikiran ekstrem, khususnya dalam hal keyakinan beragama. Kita galau melihat mereka seolah ingin memaksakan tafsir kebenaran versi mereka sendiri kepada segenap umat manusia, bahkan kerapkali kekerasan yang jadi jalannya. Namun pernahkah kita gelisah menyaksikan orang yang juga tak kalah ekstremnya dalam menjunjung tinggi tafsir pengetahuan menurut apa yang ia dapatkan di bangku pendidikannya?

Bersikap fanatik buta kepada ilmu pengetahuan justru melanggar fitrah ilmu itu sendiri. Ilmu adalah sesuatu yang terus berkembang. Terus berdialog, saling berbantahan, dan membentuk ilmu baru. Demikian terus menerus yang terjadi sepanjang sejarah. Pengondisian anak didik untuk memposisikan kebenaran ilmiah yang ia dapatkan sebagai kebenaran final, rasa-rasanya agak berbahaya. Akibatnya bukan cuma kejumudan, melainkan juga ketakutan untuk bertanya.

Dengan ketakutan untuk bertanya, produk pendidikan yang kita hasilkan hanyalah mesin-mesin penghafal, mesin-mesin peng-copy-paste. Rangsangan untuk membuat eksplorasi lebih jauh jadi minim. Motivasi untuk membuat karya-karya baru juga rendah.

Barangkali saya lebay. Namun saya punya contoh yang paling sederhana. Saya ingat, ketika saya SD, seorang teman disalahkan guru kami karena mengatakan kucing makan tulang. "Yang benar kucing makan... tikuuus," begitu kata Bu Guru. Belasan tahun setelahnya, lembar jawaban keponakan saya dicoret oleh gurunya, karena dia menyebut bahwa yang mencuci baju di rumah adalah ayah. "Yang benar, yang mencuci baju adalah ibu," begitu teori dari gurunya.

Repotnya, karena teori-teori tersebut diposisikan sebagai kebenaran final, maka murid tak bisa memprotes. Kakak ipar saya memang sampai-sampai datang ke sekolah untuk menggugat teori "Hanya ibu yang mencuci baju." Namun tetap saja upaya dialog yang agak keras mesti dijalankan dulu, meyakinkan Bu Guru bahwa memang di rumah kakak ipar saya itu ayahlah yang mencuci baju, hingga akhirnya pihak guru menerimanya.

Kenapa sampai segitunya? Kira-kira, ada dua sebabnya. Pertama, karena guru dan buku sekolah hanya punya satu versi tunggal atas "kebenaran". Kedua, karena belum pernah terdengar semangat mendidik yang berendah hati dengan mengatakan "Anak-anak, bisa jadi apa yang Ibu-Bapak Guru sampaikan ini benar, namun bisa jadi juga ini salah."

Sependek yang pernah saya baca, pendidikan bukanlah semata proses mengoleksi dan menjejalkan hal-hal baru ke otak anak didik. Jauh di atas itu, pendidikan adalah perkara membentuk pola pikir. Pada titik inilah, sikap berendah hati dalam mendidik naga-naganya mulai perlu diperhatikan. Saya jadi ingat kalimat luar biasa dari Pak Guru J Sumardianta, salah satu guru paling keren di Jogja. Dalam sebuah kesempatan ngopi-ngopi lebih dari setahun silam, beliau bersabda di hadapan saya,

"Di zaman ini, kebutuhan murid kepada gurunya bukan lagi knowledge, melainkan wisdom. Lha kalau cuma pengetahuan, wong lewat Google, lewat Wikipedia, mereka dengan gampang mengakses pengetahuan, kok. Mereka hanya butuh wisdom. Kearifan." Itu dia. Itu dia.

Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk menggambarkan bahwa pendidikan di negeri kita buruk sekali. Sama sekali tidak. Toh, peristiwa-peristiwa kecil yang saya ceritakan di atas terjadi bertahun-tahun silam. Saya yakin, seiring zaman yang terus bergerak, pelan-pelan semua akan berubah. Guru era sekarang sudah memiliki sistem remunerasi sendiri, yang berbeda dengan guru-guru di masa lalu. Hukum pasar tenaga kerja akan membuktikan, semakin guru sejahtera, profesi ini akan semakin diminati. Dengan demikian, bibit-bibit muda yang tajir dan cerdas tak akan lagi malu-malu untuk berkompetisi menjadi guru.

Kemudian, satu lagi. Pada penerbangan menuju Jakarta beberapa pekan lalu, saya dipertemukan Tuhan dengan selembar koran gratisan. Di salah satu halamannya tampak satu berita penting namun kurang ramai dibicarakan. Dikabarkan, Direktorat Sejarah pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah menyiapkan satu buku babon sebagai panduan guru untuk pendampingan pendidikan sejarah, mulai jenjang sekolah dasar hingga menengah. Dengan buku tersebut, diharapkan perbedaan sudut pandang dalam materi pelajaran sejarah dapat terjelaskan.

Ini menarik, dan wajib kita dukung. Sejak dulu, pelajaran sejarah di sekolah disajikan dalam versi tunggal. Anak didik tak banyak yang tahu bahwa sejarah adalah tafsir, ilmuwan sejarah tak cuma satu, dan kerapkali setiap kelompok sejarawan menggali dan membangun interpretasi masing-masing atas peristiwa demi peristiwa.

Situasi semacam ini rentan memunculkan kegagapan, saat murid mulai masuk ke lingkungan perbincangan yang lebih luas dan menjumpai narasi-narasi lain yang bertentangan dengan yang selama ini mereka pelajari. Umumnya, mereka akan sangat sulit menerima versi lain tersebut, bahkan menganggapnya sebagai ancaman.

Repotnya, selama puluhan tahun pun guru-guru kita punya pandangan yang sama. Lha ya jelas, wong buku yang dibaca oleh guru dan murid juga sama, kok. Maka di situlah pentingnya buku panduan untuk guru dalam menjelaskan perbedaan versi sejarah, sebagaimana yang saya ceritakan barusan.

Tenang saja, saya bukan sales buku, dan tidak terkait urusan apa pun dengan penerbitan buku itu. Namun membayangkan bahwa anak-anak kita akan mulai melatih kebijaksanaan demikian dalam belajar, bahwa materi yang mereka dapatkan (apalagi dalam ranah sosial-humaniora) bukan kebenaran mutlak, bahwa selalu terbuka kemungkinan bagi mereka untuk menggali dan terus menggali, itu menyenangkan sekali.

Kelak mereka akan berkembang menjadi generasi yang lebih haus lagi akan pengetahuan, selalu bergairah untuk terus menyelam lebih dalam. Terlebih lagi, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tidak kagetan, tidak paranoid, dan tidak sedikit-sedikit merasa terancam.

Eh, tapi yang barusan ini juga cuma pandangan saya lho ya. Bisa jadi benar, bisa jadi juga salah. Hehehe. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar