Selasa, 03 Januari 2017

Membangun Pendidikan Berintegritas

Membangun Pendidikan Berintegritas
Marthunis  ;   Kandidat Master of Education di Tempere University, Finlandia
                                           MEDIA INDONESIA, 02 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SALAH satu peristiwa yang cukup mencuri perhatian publik beberapa waktu lalu ialah dibebaskannya Antasari Azhar, sang mantan Ketua KPK. Tuduhan pembunuhan yang dialamatkan kepadanya mengharuskannya mendekam di balik jeruji besi selama tujuh tahun lebih. Banyak pihak menengarai kasusnya ialah kriminalisasi karena hingga saat ia dibebaskan, tuduhan tersebut masih belum terbukti. Terlepas dari kontroversi mengenai kasusnya, di mata banyak orang Antasari tetap dianggap sebagai figur yang memiliki integritas tinggi dalam mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan negara. Sosok jujur, teguh, serta berkukuh di atas prinsip kebenaran meskipun harus mempertaruhkan hidupnya.

Berbicara tentang integritas, Clive Staples Lewis, novelis berkebangsaan Inggris yang populer dengan salah satu karya fiksinya The Chronicles of Narnia pernah berujar, “Integrity is doing the right thing even when no one is watching.” Ya, melakukan hal yang benar di hadapan banyak orang ialah sesuatu yang mainstream, tetapi melakukan sesuatu yang baik dan benar tanpa disorot banyak mata ialah barang langka yang sulit ditemukan dalam konteks sosial masyarakat kita.

Hal serupa juga menjangkiti pendidikan Indonesia. Proses pendidikan yang sejatinya diharapkan mampu menjadi pilar dasar dalam membentuk watak jujur penuh integritas ternyata begitu rapuh dan mudah dirobohkan untuk kepentingan sesaat. Proses pendidikan kita yang selama ini hanya menitikberatkan pada hasil tanpa memberikan ruang apresiasi terhadap proses telah berhasil membuat para pelaku pendidikan menggadaikan integritas mereka karena yang terlintas dalam benak mereka ialah menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasil yang ditargetkan.

Rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan pendidikan kita sedang mengalami krisis integritas. Potret ini tercuplik dari data yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia yang merilis hanya 503 sekolah jenjang SMP dan SMA dari seluruh Indonesia yang terindeks pada kategori memiliki integritas tinggi dalam pelaksanaan UN 2016. Padahal, jumlah ini hanyalah 1% dari total jumlah SMP dan SMA (47.897) yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, mayoritas lembaga pendidikan di negeri ini miskin integritas. Dengan demikian, tidak mengherankan jika produk yang dihasilkan pendidikan kita hari ini ialah generasi politisi korup dan akademisi yang senang akan plagiarisme.

Bahkan, menurut guru besar ilmu politik dari Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, Jeffrey A Winters, yang juga Ketua Dewan Pengawas Indonesian Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF), sebuah lembaga yang mewadahi mahasiswa Indonesia dalam melanjutkan studi doktoral di Amerika Serikat, mayoritas mahasiswa calon penerima beasiswa dari Indonesia cenderung terindikasi plagiat dalam menulis esai mereka. Kalaupun kita tidak merasa malu dengan paradigma ini, setidaknya fakta ini dapat menyadarkan kita bahwa kualitas jebolan pendidikan negeri ini lack of integrity.

Jika full day school (FDS) yang diwacanakan Mendikbud Mu­hadjir Effendy beberapa waktu silam dianggap sebagai proyeksi pendidikan karakter bagi siswa-siswi Indonesia, tahapan evaluasinya tetap mengandalkan result oriented. Karena itu, sama saja keluarannya ialah generasi yang mewarisi karakteristik gemar berkompetisi untuk meraih nilai tertinggi meskipun dengan cara yang tidak semestinya. Akhirnya, pendidikan karakter hanya menjadi jargon komersial belaka, tanpa benar-benar menyentuh substansi dari karakter itu sendiri, yaitu integritas.

Karena itu, indeks penilaian integritas yang digagas mantan Mendikbud Anies Baswedan merupakan angin segar bagi pendidikan Indonesia. Setelah puluhan tahun dimensi proses dalam pendidikan kita kurang mendapatkan ruang apresiasi, kini ia menemukan habitatnya. Meminjam jargon Pak Jokowi, ‘Revo­lusi Mental’, setidaknya gagasan ini mampu merevolusi mental serta pikiran para pelaku pendidikan bahwa untuk dihargai dan diapresiasi tidaklah harus mengandalkan nilai tinggi, tetapi cukup melewati proses dengan benar, jujur serta bermartabat.

Hal ini pula yang semestinya menjadi perhatian Pak Muhadjir saat ini. Selain melanjutkan program penilaian integritas yang telah digagas pendahulunya, demi memanifestasikan salah satu Nawa Cita Presiden terkait pendidikan, melakukan revolusi karakter bangsa, seyogianya eranya Pak Muhadjir fokus melahirkan program-program evaluasi pendidikan yang bertumpu pada proses. Kalaupun gagasan penghapusan UN dijegal pemerintah, sejatinya ia tidak akan menjadi masalah jika saja juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) implementasinya berorientasi pada proses.

Hal itu bertujuan agar masyarakat kita semakin mampu mengapresiasi proses tanpa perlu merasa takut terhadap hasil yang akan diperoleh. Tentu, fase itu menjadi sebuah harapan baru terhadap lahirnya generasi-generasi berintegritas di masa yang akan datang. Generasi aparatur hukum yang tidak mudah dibeli, politisi yang bebas korupsi, akademisi cerdas dengan karya orisinal, serta penguasa yang tidak mudah diajak kompromi untuk melakukan praktik kejahatan.

Praktik membangun integritas di Sukma Bangsa

Sebagai salah satu guru yang telah hampir lima tahun meng­ajar di Sekolah Sukma Bangsa (SSB) Pidie, salah satu dari tiga Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, saya mendapati jauh sebelum mantan Mendikbud Anies Baswedan mencanangkan indeks penilaian integritas, sekolah ini telah lebih dulu mengimplementasikan praktiknya.

No Cheating di SSB Pidie bukan hanya slogan dan jargon, melainkan nilai jujur yang berusaha diinternalisasikan untuk membentuk siswa berintegritas. Bukan hanya ketika ujian nasional (UN) berlangsung, pengawasan ketat terhadap perilaku menyontek digelar. Namun, pembelajaran sehari-hari pun mewajibkan setiap guru untuk tidak permisif terhadap segala macam bentuk kecurangan yang dilakukan siswa. Bahkan, kesediaan para orangtua siswa dalam menandatangani kontrak integritas untuk berperilaku jujur tanpa menyontek selama proses pembelajaran berikut dengan konsekuensi yang akan diterima apabila melanggarnya, telah menjadi syarat utama dalam penerimaan calon siswa baru tiap tahunnya.

Proses memperjuangkan integritas memang tidaklah mudah, bahkan sering kali berbenturan dengan banyak pihak, sebagaimana pengalaman mengeluarkan 11 siswa yang terindikasi menyontek pada pelaksanaan UN 2012 silam yang bukan hanya mendapati pertentangan dari orangtua siswa terkait, bahkan pemangku otoritas di dinas pendidikan kala itu juga menuding keputusan SSB Pidie keliru.

Karena itu, menghadirkan lembaga pendidikan alternatif yang memperjuangkan pembentukan integritas peserta didiknya di negeri yang dilanda krisis integritas ini bukanlah perkara mudah, kalaupun tidak ingin dikatakan mustahil. Setidaknya, SSB Pidie sebagai salah satu di antara banyak sekolah lainnya di luar sana yang mengimplementasikan hal yang sama akan selalu berada di garda depan dalam membangun generasi jujur berintegritas.

Kalaupun pada prosesnya terasa hambar karena tak kunjung mendapat apresiasi dari apa yang telah dipraktikkan selama 10 tahun lebih, tapi biarlah ia tetap berada di jalan sunyi. Karena sejatinya sebuah integritas ialah melakukan sesuatu dengan benar meski tidak ada yang memuji. “Real integrity is doing the right thing, knowing that nobody’s going to know whether you did it or not”, Oprah Winsfrey. Selamat tahun baru! semoga pendidikan kita memiliki resolusi yang lebih konkret untuk membangun integritas dalam mengawali tahun ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar