Senin, 02 Januari 2017

Demokrasi Indonesia dalam Ujian

Demokrasi Indonesia dalam Ujian
Budiman Tanuredjo  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 31 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kalender hanyalah pagar yang kita tancapkan pada sang waktu. Sabtu, 31 Desember, adalah hari terakhir di tahun 2016 dan akan kita masuki fajar baru 2017. Jika harian ini menyebut tahun 2015 sebagai annus horribilis yang berhasil dilalui, 2016 menjadi tahun penuh ujian. Ujian terhadap demokrasi, ujian terhadap konstitusi, dan ujian terhadap eksistensi negara hukum.

Dunia memasuki tahun ketidakpastian. Dunia menantikan formasi kabinet Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Apakah sosok kabinet Trump akan mengubah AS beralih menuju proteksionisme atau tetap mendukung globalisme. Kebangkitan terorisme global menambah ketidakpastian baru dunia. Kejahatan terhadap negara dan kemanusiaan terjadi di berbagai belahan dunia. Aksi teror terjadi di sejumlah tempat. Terakhir, Duta Besar Rusia untuk Turki ditembak mati oleh polisi Turki. Dunia masih direpotkan dengan sepak terjang Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Tahun 2016 ditandai dengan penuh amarah. Amarah terhadap globalisasi, amarah terhadap demokrasi, amarah terhadap kemapanan, amarah terhadap keteraturan informasi. Melalui jalan demokrasi, mayoritas rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa. Melalui jalur demokrasi, mayoritas rakyat AS memilih Donald Trump sebagai presiden. Sebuah tindakan politik yang kadang sama sekali tak terduga. Atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi, demokratisasi media pun menemui bentuknya yang nyata.

Melalui media sosial, ekspresi kebebasan mencapai puncaknya. Bebas sebebas-bebasnya. Kedaulatan di media berada di jari-jari manusia. Ekspresi amarah juga bisa didapati di media sosial. Ujaran kebencian dan hasutan memenuhi lini masa dunia maya. Kebohongan telah menjadi industri informasi yang seharusnya mencerahkan justru kadang menjadi sumber kecemasan.

Di Indonesia, pengumpulan massa dalam jumlah besar terjadi. Syukur penyampaian aspirasi dan doa untuk negeri itu berjalan damai. Namun, di sisi lain, ada yang juga membaca aksi itu sebagai tidak berfungsinya partai politik sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Tidak ada yang mengira pula ruang kosong media sosial dijadikan sarana untuk melampiaskan semua aspirasi politik yang mungkin tersumbat.

Pemilu 2019 masih akan berlangsung dua tahun lagi. Namun, pertarungan soal itu akan dimulai saat Undang-Undang Pemilu dibahas di DPR. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak yang akan menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu presiden sekaligus. Itu adalah konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi. Apakah pemilu presiden akan menggunakan ambang batas (presidential threshold) dan berbasiskan hasil pemilu legislatif akan menjadi perdebatan panjang yang membutuhkan waktu serta kesabaran untuk mencapai konsensus.

Pada tahun 2017-lah desain pemilu serentak 2019 akan menjadi perdebatan elite politik, pemilihan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan ditetapkan. Mereka akan menjadi penyelenggara Pemilu 2019 yang kompleks karena menggelar pemilu serentak lima kotak: pemilu DPR pusat, pemilu Dewan Perwakilan Daerah, pemilu presiden, dan pemilu DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota.

Rasanya, memang terlalu cepat dan singkat bangsa ini kembali masuk ke pertarungan politik. Pertarungan pilkada Jakarta terasa seperti pemilu presiden atau malah ancang-ancang Pemilu Presiden 2019. Pilkada Jakarta sebenarnya hanya salah satu dari 101 pilkada serentak yang digelar serentak 15 Februari 2017. Sebagai ibu kota negara, pusat perekonomian, pusat perwakilan asing, pemilihan gubernur Jakarta wajar menjadi perhatian publik dan dunia. Pilkada Jakarta menjadi adu prestise tiga tokoh nasional, seperti presiden kelima Indonesia yang juga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, presiden keenam Indonesia yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto.

PDI-P mendukung Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Susilo Bambang Yudhoyono mendukung Mayor Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, serta Prabowo mencalonkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Jakarta menjadi pertarungan gengsi politik antartokoh yang relasi personalnya sebagai sesama elite bangsa terlihat kurang mulus.

Panasnya politik Jakarta juga terkait dengan dugaan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. Status terdakwa terhadap Basuki menjadi berkah elektoral bagi kedua pesaingnya. Proses hukum itu akan memakan waktu dan akan melampaui 15 Februari 2017. Persidangannya telah digelar dan diteruskan.

Konsistensi

Perjalanan tahun 2016 hingga 2017 akan menjadi ujian apakah Indonesia akan tetap setia dan konsisten dalam jalur demokrasi atau berpaling ke sistem pemerintahan lain. Gagasan teokrasi mulai terdengar. Ide kembali ke UUD 1945 mulai disuarakan. Model pemerintahan dengan cara mobocracy menjadi fenomena yang mengemuka di akhir tahun 2016. Isu makar dan pembentukan pemerintahan transisi di media sosial mulai diwacanakan. Eksistensi negara hukum yang mengedepankan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman juga tak kalah mendapatkan ujian.

Situasi inilah yang ditangkap Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo. "Indonesia sepertinya berada di persimpangan jalan," kata Agus saat memaparkan Indeks Ketahanan Nasional Indonesia. Agus pun mengutip apa yang ditulis Juan J Linz soal teori transisi demokrasi. Linz mengatakan, demokrasi terkonsolidasi jika demokrasi diyakini sebagai the only game in town. Menurut dia, semua proses politik haruslah melalui jalur demokrasi. Namun, kemunculan ide untuk mengambil alih kekuasaan, membentuk pemerintahan transisi-meskipun sementara pihak meragukannya -merupakan pertanda belum terkonsolidasinya demokrasi Indonesia dan pertanda demokrasi Indonesia masih sebatas prosedural dan belum menjadi substansial.

Demokrasi diyakini hanya menguntungkan segelintir elite. Keyakinan itu dibuktikan dengan makin tingginya kesenjangan sosial. Rasio gini kian melebar. Aset sumber daya ekonomi hanya dikuasai beberapa orang di Indonesia. Kondisi pasca reformasi inilah yang kemudian memunculkan perlawanan dari kelas menengah Indonesia-baik yang sedang menurun atau bangkit-untuk melawan kemapanan terhadap hasil demokrasi.

Perlawanan kelas menengah itu mendapatkan salurannya melalui demokratisasi media, yakni kehadiran media sosial. Media sosial bukan hanya menjadi tempat pamer dan narsis, melainkan menjadi sangat politis. Pesan-pesan politik-entah benar atau tidak-dengan cepat menjadi viral di media sosial. Ungkapan-ungkapan kebencian (hate speech) mendapatkan ruang di media sosial. Informasi disebar berdasarkan kesamaan pandangan antara si penyebar dan kontennya. Akibatnya, Indonesia terbelah. Hampir tak ada narasi atau konter narasi. Polarisasi media sosial menjadi polarisasi bangsa.

Kondisi inilah yang digambarkan Yudi Latif. Fondasi demokrasi Indonesia rapuh karena sayap persatuan dan sayap keadilan terkoyak. Dan Indonesia memang di persimpangan jalan. Ini tantangan bersama kita sebagai warga bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar