Suriah di Simpang Jalan
A Agus Sriyono ; Pegawai Kementerian Luar Negeri yang ditugaskan
pada Kementerian Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
|
KOMPAS,
10 Oktober 2015
Serangan militer Rusia sejak 30 September 2015 ke berbagai wilayah
di Suriah memicu ketegangan baru antara Rusia dengan Amerika Serikat.
Serangan ini merupakan wujud dukungan Rusia terhadap Presiden Bashar
al-Assad.
Para pejabat AS yakin serangan Rusia tidak diarahkan pada
kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), melainkan kaum pemberontak anti pemerintah. Pemberontak
dari berbagai faksi di Suriah memperoleh dukungan AS dan koalisinya.
Akar
perselisihan
Dukungan Rusia terhadap
pemerintahan Assad bertentangan dengan AS yang menghendaki Presiden Assad
mundur dari jabatannya. Perbedaan pandangan ini merupakan akar perselisihan
kedua negara. Rusia mendukung Assad
berdasar anggapan bahwa pemerintahnya sah. Sementara AS berpendapat Assad
tidak layak sebagai presiden karena selama empat tahun terakhir
pemerintahannya ia melakukan tindakan represif terhadap warganya.
Dalam tataran operasional di lapangan, dukungan Rusia kepada
pendukung Assad dalam bentuk bantuan militer. Adapun AS berupaya
menggulingkan kekuasaan Assad dengan cara memberikan pelatihan militer kepada
kelompok pemberontak. Untuk sementara, variabel NIIS sebagai ancaman,
membanjirnya pengungsi Suriah ke Eropa, dan isu Sunni vs Syiah belum mengemuka
sebagai faktor penyebab krisis di Suriah.
Sebelum serangan militer, kedatangan empat pesawat tempur
multiguna Rusia di Suriah pada 28 September 2015 sudah menimbulkan kemarahan
AS. Dengan penambahan empat pesawat
berarti sedikitnya 32 pesawat tempur Rusia telah berada di Suriah bersama
sejumlah tank dan ribuan personel militer yang ditempatkan di sekitar
pangkalan udara di Provinsi Latakia. Dalam hal ini Rusia secara kasatmata
tampil menunjukkan kekuatan militernya.
Bukan kebetulan, pengiriman empat pesawat tempur bersamaan
waktunya dengan pertemuan Presiden Vladimir Putin dengan Presiden Barack
Obama di sela-sela Sidang Ke-70 Majelis Umum PBB di New York. Rusia seolah
mengirimkan pesan agar AS menghentikan dukungannya kepada kelompok
pemberontak. Dalam pertemuan yang berlangsung hambar, kedua pemimpin akhirnya
sepakat untuk tidak sepakat mengenai penanganan krisis Suriah.
Serangan militer Rusia pada 30 September sekaligus membuktikan
kehadiran Rusia di Suriah bukanlah gertak sambal. Menyikapi hal ini, AS
diperkirakan akan mengambil langkah-langkah sebagai reaksi atas tindakan
militer Rusia. AS tentu akan belajar dari pengalaman intervensi sebelumnya di
Irak, Afganistan, dan Libya. Apabila salah mengambil langkah, bukan mustahil
terjadi eskalasi konflik di Suriah, yang pada gilirannya menimbulkan
instabilitas di Timur Tengah.
Atas dasar perkembangan di atas, maka timbul pertanyaan,
bagaimana persaingan dua negara raksasa berpengaruh terhadap stabilitas di
Suriah serta bagaimana solusi mengatasi potensi konflik yang ditimbulkan oleh
persaingan tersebut.
Persaingan
negara besar
Perspektif kaum realis
dalam politik internasional senantiasa mengandaikan adanya kompetisi permanen
di antara negara-negara besar guna memperoleh pengaruh di kawasan. Apabila
asumsi dasar ini diikuti, persaingan Rusia dan AS di Suriah tampaknya tak
bisa dielakkan. Kedua negara ingin menanamkan pengaruhnya di kawasan karena
pertimbangan kepentingan geopolitik dan geoekonomi. Dengan demikian, potensi
konflik menjadi tak terhindarkan.
Anehnya, salah satu faktor perekat kedua negara berupa bangunan
persepsi bahwa NIIS merupakan musuh bersama sejauh ini belum dapat menjadi
faktor pemersatu. Memang, pejabat Rusia menyatakan serangan militer berikut
akan menyasar kantong-kantong NIIS, tetapi hal ini masih perlu pembuktian.
Tampaknya prioritas Rusia masih pada dukungan penuh terhadap kelangsungan
pemerintahan Assad, bukan counter terhadap gerakan NIIS.
Dari segi sejarah,
hubungan Rusia dengan Suriah memang sangat dekat. Kerja sama militer kedua
negara sudah berlangsung sejak setengah abad lalu. Saat itu, banyak tentara
Suriah dilatih di Rusia. Sampai saat ini, Rusia masih mempertahankan
pangkalan angkatan lautnya di Pelabuhan Tartous. Itulah sebabnya, kehadiran
Rusia selain dimaksudkan mempertahankan kepemimpinan Assad juga untuk meng-contain pengaruh AS di kawasan. Rusia
juga ingin dipandang dunia sejajar dengan negara-negara besar lain.
Bagi Suriah, perebutan pengaruh antara dua negara adikuasa
menyisakan persoalan tersendiri. Apabila Assad mempertahankan dukungan Rusia
demi survival, hal ini akan mengundang permusuhan dengan AS. Akibatnya,
Suriah akan jadi ajang pertarungan negara-negara besar. Namun, jika Assad
memutus dukungan Rusia, besar kemungkinan Suriah jatuh di tangan
pemberontak.
Penyelesaian
diplomatik
Menyikapi potensi konflik
di Suriah, sedikitnya tiga langkah penyelesaian dapat ditawarkan. Pertama,
perlu diselenggarakan pertemuan darurat Menteri Luar Negeri Rusia dan AS guna
membahas penghentian serangan militer agar tidak menimbulkan korban jiwa
warga sipil lebih besar. Di samping itu, perlu dibahas kerja sama yang
melibatkan negara-negara anggota koalisi untuk menyusun strategi dalam
melawan NIIS. Di sini terbuka kemungkinan terbentuknya aliansi melawan NIIS.
Kedua, dalam jangka menengah perlu diselenggarakan pertemuan
tingkat tinggi trilateral antara Pemerintah Suriah yang sah, Federasi Rusia,
dan AS. Dalam pertemuan ini perlu
kesepakatan damai antara semua pihak yang bermusuhan dan mereka harus
berkomitmen untuk menghentikan segala bentuk kekerasan bersenjata, baik yang
dilakukan negara maupun kelompok sipil yang saling bermusuhan.
Ketiga, jika dua opsi di atas gagal perlu dipikirkan membawa
permasalahan ke Dewan Keamanan PBB agar badan ini mengeluarkan resolusi
penghentian semua tindakan militer dan seruan menyelesaikan krisis Suriah melalui
perundingan. Kesepakatan melalui jalur multilateral diharapkan memperoleh
dukungan dari seluruh anggota PBB.
Diakui, permasalahan Suriah sangat kompleks. Kalaupun dua negara
adikuasa dapat mencapai kesepakatan damai, tidak berarti permasalahan domestik
selesai.
Perseteruan antara pemerintah dengan pemberontak yang berbeda
latar belakangnya, permusuhan antara kaum mayoritas dan minoritas, dan makin
membanjirnya arus pengungsi, merupakan sebagian permasalahan dalam negeri
Suriah yang harus diatasi. Pada akhirnya, penyelesaian krisis Suriah
bergantung pada kemauan politik seluruh pemangku kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar