Peringatan soal Blok Masela
Alex Retraubun ; Mantan Wakil Menteri Perindustrian;
Guru Besar Universitas Pattimura
|
KOMPAS,
08 Oktober 2015
Pemerintah harus hati-hati membuat keputusan soal pengolahan gas
di Indonesia bagian timur. Sebab, sumber daya alam tersebut merupakan resor
terakhir dari potensi gas yang kita miliki secara nasional.
Blok Masela-yang memiliki cadangan terbukti gas buminya sebesar
10,73 triliun kaki kubik (TCF)-termasuk di dalamnya karena isu ini sebagai
pintu masuk pengembangan investasi
lanjutan di kawasan tersebut.
Blok Masela adalah lahan gas yang berada di sekitar Pulau
Masela. Pulau ini merupakan salah satu
pulau terluar, dari 92 pulau terluar di Indonesia, terletak di Kabupaten Maluku Tenggara
Barat (MTB) dan berbatasan dengan Australia dan Timor
Leste.
Kandungan gas kawasan ini sarat dengan kepentingan nasional
sehingga semua keputusan harus mendasarinya. Ukuran kepentingan ini beragam.
Mulai dari kepentingan masyarakat lokal, swasta nasional, sampai negara
secara berimbang. Prinsip ini patut dipegang teguh karena sekali keputusan
diambil, soal bagaimana mengelolanya dan siapa pengelolanya, maka ke depan
cadangan di sekitar kawasan tersebut akan dengan mudah dikembangkan. Bahkan
juga menguntungkan karena dapat menggunakan jasa fasilitas yang sudah
tersedia.
Kita tidak anti investor asing, tetapi mereka harus tunduk pada
kebijakan nasional. Ada dua pemicu lemahnya posisi tawar kita, yaitu aplikasi
teknologi dan kemampuan investasi. Keduanya
bisa membuat pemerintah tertekan untuk mengikuti keinginan investor.
Inpex
Corporation (Jepang) tentu sangat
berkepentingan dengan produksi gas untuk kepentingan bangsanya sehingga
mereka termotivasi untuk berinvestasi. Sementara Shell (Belanda) memiliki
keunggulan dari sisi introduksi teknologi. Maka, kemungkinan ancaman
mengundurkan diri dalam proses investasi
akan selalu ada jika keinginannya tidak terakomodasi.
Apakah sebagai bangsa kita merasa kiamat jika ancaman di atas
menjadi kenyataan? Jawabannya tentu "tidak". Maka, pemerintah perlu
mengantisipasi kemungkinan terburuk dengan mempersiapkan Pertamina karena
BUMN ini telah memiliki pengalaman yang mumpuni. Soal investasi, sepanjang
profitabilitasnya jelas, maka kekuatan nasional bisa diarahkan untuk
merealisasikannya sebagai bentuk semangat nasionalisme.
Pemerintah juga harus mengaitkan agenda ini dengan pertumbuhan
industri nasional ke depan. Caranya dengan mempersiapkan langkah untuk
membangun industri berbasis bahan baku gas yang bermanfaat bagi ekonomi
setempat di samping LNG, seperti halnya pupuk, metanol, beserta kawasan industrinya
sehingga mimpi tol laut bisa terealisasi secara gradual karena membangkitkan
dinamika perniagaan kawasan. Isu ini tentu saja merupakan domain Kementerian
Perindustrian.
Asa masyarakat
Masyarakat Maluku tidak pernah menyangka bahwa kelak ditemukan sumber
daya alam strategis ini di wilayah pijakannya. Karena mereka tahu bahwa
sumber daya alam wilayah ini tidaklah
beragam seperti di Kalimantan, Sumatera, ataupun Papua.
Selama ini yang menjadi kebanggaan masyarakat Maluku hanyalah
potensi perikanannya. Itu pun komoditas ini tidak mampu mengurangi persentase
jumlah penduduk miskin di provinsi ini hanya karena kegagalan pengelolaan
(baca: "Kelautan dan Perikanan: Kaya, tetapi Miskin"; Kompas, 28
September 2015). Kasus Benjina menjadi
bukti ukuran kegagalan dimaksud. Fakta ini memberikan pembelajaran soal
perlunya konsistensi pengelolaan sesuai hukum dan peraturan
perundang-undangan dan penegakannya oleh aparatur di lapangan. Masyarakat
Maluku melihat sumber daya alam ini sebagai berkat Tuhan untuk memperbaiki
tekanan ekonomi mereka.
Di atas laut
versus di darat
Ada hal menarik untuk
dicermati soal keuntungan dan kelemahan jika dilakukan pengolahan di
atas laut dan di darat. Ada kesan yang dicobakan penjustifikasiannya bahwa
sistem terapung lebih murah (baca: "Cadangan Gas Masela Lebih Besar:
Investasi LNG Terapung Murah"; Kompas, 25 September 2015). Dari berita
ini terlihat ada pro-kontra soal dua pilihan ini.
Contohnya, kepala SKK Migas memilih pengolahan di atas laut,
sementara Menko Kemaritiman Rizal Ramli memilih sebaliknya. Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil jalan tengah dengan berupaya
mengevaluasi kedua opsi ini dengan kehati-hatian, melibatkan
sebanyak-banyaknya semua pemangku kepentingan.
Padahal, perbedaan biaya konstruksi dari kedua opsi itu sangat
kecil jika dibandingkan dengan total revenue yang akan didapat dari produksi
gas lapangan Masela. Jadi, untuk apa diperdebatkan? Lebih baik kita mengkaji
opsi mana yang lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia, khususnya
masyarakat di sekitar Masela.
Jika masyarakat Maluku dimintai pendapat tentang hal ini, mereka
sangat tidak sependapat dengan pilihan di atas laut (floating). Mengapa? Pertama, mereka berpendapat bahwa kandungan
sumber daya alam di suatu daerah merupakan posisi tawar. Maka, kalau
diterapkan floating system sama dengan menghilangkan atau melemahkan posisi
tawar dimaksud. Banyak bukti soal ini di Kalimantan Timur dengan kehadiran PT
Pupuk Kalimantan Timur di Kota Bontang dan dengan sistem pengolahan di darat
menyebabkan pesatnya kemajuan kota ini.
Kedua, dengan memilih opsi di atas laut apakah kita bisa
memantau aktivitas produksinya secara detail? Jangan-jangan pengelola tahu
kelemahan pengawasan kita sehingga
didorong ke pilihan ini sedemikian sehingga tidak ada akses untuk publik
melakukan fungsi kontrol terhadap aktivitas pengolahannya.
Tugas terpenting Kementerian ESDM sebelum tanggal 10 Oktober,
antara lain, pertama, melakukan pengujian soal kebenaran besaran investasi di
atas laut dan di darat karena ada pendapat yang berlawanan dengan rekomendasi
SKK Migas. Kedua, kalau opsi pengolahan di darat yang diambil, besaran
investasi pun dapat dibedah oleh sumber daya manusia nasional kita sebagai
opini pembanding.
Dengan begitu, Menteri ESDM dapat mengambil keputusan rasional
untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan dengan tidak
hanya membandingkan soal mahal-murah biaya konstruksinya. Lebih dari itu,
juga harus mempertimbangkan opsi mana yang lebih besar manfaatnya dan ini tentunya
bagi negara dan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat sekitar wilayah
Masela. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar