Selasa, 13 Oktober 2015

Paket Ekonomi ’’Jilid III’’ dan Nilai Tukar Rupiah

Paket Ekonomi ’’Jilid III’’ dan Nilai Tukar Rupiah

Sunarsip ;   Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence
                                                      JAWA POS, 07 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PAKET kebijakan ekonomi baru (jilid III), rencananya, diumumkan besok (7/10). Dari berbagai pernyataan pemerintah, Paket Kebijakan Jilid III itu setidaknya akan berkisar pada (i) kebijakan peningkatan ekspor, khususnya yang memiliki basis pada UKM, dan (ii) penurunan harga gas, bahan bakar minyak (BBM), serta listrik.

Kebijakan peningkatan ekspor, antara lain, akan diwujudkan dengan memberikan dukungan berupa kredit ekspor maupun kredit UKM guna mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI).

Suku bunga kredit yang dikenakan LPEI nanti lebih rendah bila dibandingkan dengan pinjaman kredit komersial oleh perbankan. Dengan catatan, perusahaan yang menerima kredit dari LPEI tidak boleh melakukan PHK.

Sementara itu, kebijakan penurunan harga gas, BBM, dan harga listrik mungkin akan dilakukan terhadap gas, BBM, dan listrik yang dikonsumsi oleh industri, bukan rumah tangga.

Kebijakan ekonomi yang akan diluncurkan itu tentu positif untuk menjaga perekonomian tetap tumbuh di tengah tekanan pelemahan nilai tukar rupiah yang masif. Namun, kebijakan tersebut diperkirakan tidak serta merta mampu memperkuat nilai tukar rupiah terhadap USD (dolar AS).

Mengingat, kebijakan penguatan sektoral merupakan hal yang berbeda dari upaya memperkuat rupiah, meskipun memiliki keterkaitan. Pelaku pasar uang, yang memainkan peran penting dalam pergerakan nilai tukar lebih melihat bagaimana posisi neraca pembayaran Indonesia, terutama yang berhubungan dengan arus keluar masuk modal.

Saat ini kebutuhan USD sangatlah tinggi, terutama disebabkan kebutuhan pembayaran utang luar negeri (ULN). ULN yang jatuh tempo tahun ini cukup tinggi sebagaimana ditunjukkan angka debt service ratio (DSR) yang mengalami peningkatan.

Saat ini angka DSR kuartalan pada Q2-2015 mencapai 56,32 persen, meningkat cukup tinggi bila dibandingkan dengan posisi pada Q4-2014 yang mencapai 51,92 persen. Tingginya angka DSR itu menunjukkan bahwa permintaan (demand) USD untuk membayar ULN yang jatuh tempo cukup tinggi. Di sisi lain, pasokan (supply) USD hasil ekspor masih terbatas akibat ekspor kita yang tidak tumbuh secara signifikan.

Kondisi itulah yang akan lebih dilihat oleh pelaku pasar uang. Pelaku pasar uang, terutama, akan melihat seberapa jauh upaya pemerintah dan otoritas moneter (dalam hal ini Bank Indonesia, BI) dalam mengelola sisi supply demand USD agar lebih seimbang.

Saya berpendapat, lambatnya pasokan USD merupakan sesuatu yang given karena ekspor kita memang sedang melemah gara-gara permintaan global yang melemah. Oleh karena itu, saat sisi pasokan USD melambat, semestinya perlu ada langkah-langkah dari sisi permintaan agar kebutuhan valas itu dapat bergerak seimbang dengan pasokan USD. Caranya?

Saat ini telah ada sejumlah konglomerasi yang mengalami tekanan cukup tinggi akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Penyebabnya adalah ULN yang tinggi. Di sisi lain, instrumen dan insentif untuk melakukan restrukturisasi ULN tidak tersedia.

Saya mengusulkan agar pemerintah dan BI perlu mendorong pihak-pihak yang memiliki ULN melakukan renegosiasi ULN kepada krediturnya, terutama ULN yang berupa pinjaman (loan). Mekanismenya, bisa dilakukan seperti yang pernah dilakukan melalui ’’Prakarsa Jakarta’’ pada 1998.

Strateginya adalah lakukan identifikasi kepada lembaga keuangan yang ULN kita terkonsentrasi. Termasuk pula, ULN tersebut terkonsentrasi di sektor apa saja. Selanjutnya, tawarkan kepada lembaga keuangan tersebut agar bersedia melakukan restrukturisasi ULN yang dilakukan korporasi kita.

Misalnya, menunda pembayaran utang yang jatuh tempo atau penurunan suku bunga. Sebagai kompensasi, kita tawarkan kepada lembaga keuangan luar negeri tersebut berupa keterlibatan mereka dalam berbagai pembiayaan tambahan pada sektor ekonomi yang selama ini mereka kerjakan di Indonesia, termasuk infrastruktur.

Melalui langkah itu, setidaknya dua hal yang dapat diperoleh. Pertama, kebutuhan USD berkurang karena ULN yang direstrukturisasi. Kedua, Indonesia juga memperoleh sumber pendanaan tambahan dari lembaga keuangan luar negeri bagi upaya mempercepat pembangunan.

Harga Gas, BBM-Listrik Turun?

Seperti disebut di atas, pemerintah juga berencana menurunkan harga gas, BBM, dan listrik bagi industri. Kebijakan itu positif, tetapi risikonya juga harus diantisipasi.

Penurunan harga gas, BBM, dan listrik pastinya akan merugikan pihak BUMN energi kita. Saat ini kondisi BUMN di sektor energi kita (Pertamina dan PLN) tidak sedang baik.

Tekanan harga minyak dan gas yang melemah membuat kinerja Pertamina menurun. Di sisi lain, Pertamina dihadapkan kepada kerugian, baik sisi operasional maupun keuangan. PLN juga mengalami hal yang sama.
Tingginya kebutuhan akan USD mengakibatkan sisi keuangan BUMN itu tertekan. Bila harga listrik diturunkan, kondisi tersebut bisa mengancam kelangsungan PLN dalam mengejar target 35.000 mw.

Bila tetap berniat melanjutkan rencananya menurunkan harga gas, BBM, dan listrik, pemerintah juga harus siap kompensasinya. Pertama, subsidi harus dinaikkan. Kedua, pemerintah juga dapat memberikan kompensasi lain, misalnya mengurangi jatah bagi hasil (split profits) pemerintah dalam kontrak hulu migas.

Paket kebijakan ekonomi memang penting dilakukan. Terutama, untuk mendorong perubahan secara struktural di sektor ekonomi. Namun, hasil dari kebijakan tersebut lebih bersifat jangka panjang.

Karena itu, tetap saja dibutuhkan langkah-langkah jangka pendek, sekalipun pragmatis, untuk memulihkan kondisi perekonomian akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Sebab, tanpa dikombinasikan dengan kebijakan jangka pendek, kebijakan jangka menengah dan panjang itu pun bisa berpotensi tidak efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar