Laporan Diskusi Kompas-LMI
"Masih
Adakah yang Tersisa?"
Mengelola yang
Tersisa
KOMPAS, 06
Oktober 2015
Pengantar
Redaksi:
Merayakan Hari Ulang Tahun Ke-70 RI, 17 Agustus 2015, Desk Opini
Kompas dan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada 8 September lalu
menyelenggarakan Diskusi Panel Seri Kedua 2015 di Bentara Budaya Jakarta.
Dengan tema ”Masih Adakah yang Tersisa?”, diskusi mengetengahkan pembicara
Hendro Sangkoyo (School of Democratic Economics), Mayling Oey (Guru Besar
FEUI), Haryatmoko (Universitas Sanata Dharma), dan Rizal Sukma (CSIS),
dipandu oleh Tamrin Amal Tomagola dari LMI. Hasil diskusi yang dirangkum oleh
Tamrin Amal Tomagola, Sri Palupi, dan Chris Panggabean dari LMI diturunkan
dalam dua tulisan di halaman 6 dan dua tulisan di halaman 7 hari ini.
Almarhum Prof Dr Driyarkara dalam ”Permenungan tentang Manusia
dan Waktu” berujar, ”…manusia berada dalam waktu, terkurung dalam waktu,
tetapi dalam pada itu juga mengatasi waktu (Karya Lengkap Driyarkara, hal 25-31)”.
Mengatasi waktu artinya manusia sadar dan mampu merenungkan
”yang lalu” sekaligus ”masa kini” guna merancang ”masa depan”. Ketiga dimensi
waktu mampu dihadirkan dan disatukan sekaligus dalam perenungan manusia.
Ironisnya, manusia menemukan dirinya sebagai ”terletak” dan ”terdampar”.
Pada HUT Ke-70 RI, sebagai manusia warga bangsa dan negara
Indonesia, adalah mendesak dan imperatif bagi kita untuk menakar dan
menghitung potensi dan modal material yang tersisa. Juga, kita perlu dengan
jernih mengenali dan menakar posisi, potensi, dan deposit modal spiritual
kita saat ini. Apakah masih ada tekad dan kapabilitas karakter yang
memampukan kita melanjutkan pelayaran bahtera Indonesia menuju hari depan
yang sejahtera dan bermartabat. Apakah sudah demikian terkurungnya kita dalam
”waktu” sehingga sirna kemampuan untuk ”mengatasi waktu” dan nyaris menjadi
”bangsa yang terletak dan terdampar” dalam pergaulan antarbangsa?
Dalam diskusi, tampaklah tingkat kerusakan lingkungan alam meski
muncul pula solusi pengelolaannya. Ada uraian berbagai jenis modal moral,
etika, dan ideologi ekonomi-politik dan sosial yang sudah tergerus oleh
dinamika zaman serta bagaimana mengubah etika pejabat publik dari orientasi
kekuasaan ke pelayanan dalam membangun karakter bangsa.
Dari sisi sumber daya manusia, tampaklah perkembangan
kependudukan satu abad terakhir serta peluang-peluang yang tersedia untuk
meningkatkan dan mengelola kualitas SDM di abad ke-21 ini.
Yang jelas, kemampuan pengelolaan modal material dan spiritual
di atas perlu dipadu dalam paket kebijakan luar negeri yang dibingkai oleh
perubahan realitas geopolitik dan geoekonomi strategis di kawasan Asia Timur
dan Tenggara dengan menegaskan kembali identitas Indonesia sebagai negara
maritim.
Menakar
kerusakan
Wajah ibu pertiwi tahun 2015 ini benar-benar kelabu. Skala
perusakan alam sudah genting karena terjadi secara masif, sistemik, dan
sistematik: dari pembakaran hutan dan lahan yang menyesakkan hingga
pengurasan mineral dan tambang. Perusakan kesatuan sosial-ekologis ini terus
berlanjut di bawah naungan hukum dan kendali pengurus negara.
Sepanjang 1980-1998, berlangsung percepatan perusakan sistem
ekologis pulau, tampak dari jumlah daerah aliran sungai kritis dan
superkritis. Kecepatan perusakan hutan dan pembongkaran tutupan dan lapisan atas
tanah di kepulauan berlangsung tanpa pilih bulu. Peracunan badan-badan air
utama di daratan dan perairan pesisir juga mencatatkan Indonesia sebagai
titik genting di perairan Asia Tenggara. Krisis ekologis berkelindan dengan
pembesaran konflik sosial dan migrasi paksa dari kampung-halaman. Pemeriksaan
awal perubahan di delapan kategori teratas dalam hierarki topometri dari 200
pulau di perairan Indonesia (100 kilometer persegi-250.000 kilometer persegi)
menunjukkan bahwa, pertama, tidak ada pulau yang terlalu kecil untuk tidak
dibongkar dan tidak ada pulau yang terlalu besar untuk rusak sistem
ekologisnya.
Kedua, skala perusakan sebanding dengan nilai uang maksimum yang
potensial dihasilkan dari bahan-bahan alami yang ada atau sirkuit produksi
barang di sana. Peta konsesi industri ekstraktif di seluruh wilayah kuasa
negara resmi menunjukkan skala berlebihan dari izin konsesi.
Akibatnya, air danau menyusut, tanah mengering, petani merana,
hutan ter/dibakar, rakyat sesak napas. Tanah air dan rakyat Indonesia sebagai
suatu sistem kesatuan ekologis-manusia remuk oleh keserakahan dua sejoli,
pemodal dan politisi, yang diperparah oleh aksi pembiaran serta korupsi
aparat pelayanan dan aparat keamanan se-Nusantara. Padahal, bagi
komunitas-komunitas adat Nusantara, air, tanah, dan hutan adalah sumber
inspirasi kekayaan spiritual dan sandaran nafkah. Remuknya pijakan spiritual
dan sandaran material rakyat adalah biang proses pemapaan lahir batin.
Kepapaan spiritual dan material secara kasatmata menampakkan
diri dalam lima wujud. Pertama, menipisnya saling percaya (social trust) di semua tingkatan
sosial. Di tingkat akar rumput, ketiadaan saling percaya antarkelompok
seperti api dalam sekam, di tingkat elite gontok-gontokan politik kian
lumrah.
Kedua, menguatnya kecenderungan mengambil jalan pintas berasas
mumpungisme di hampir semua kalangan.
Ketiga, kecenderungan jalan pintas kian menggerus etos kerja
keras.
Keempat, menggebunya semangat kerakusan menguras baik kekayaan
alam, negara, maupun dana publik.
Akhirnya, kelima, menipisnya orientasi pelayanan di kalangan
pejabat publik beralih ke orientasi pada kekuasaan.
Dapat disimpulkan bahwa perusakan lingkungan alam sebagai suatu
sistem ekologi-manusia telah telanjur menularkan dampak negatif secara masif
dan sistemik ke seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kembangkan
layar
Walaupun tema diskusi terkesan pesimistis, sebenarnya justru
diskusi berupaya mengomunikasikan harapan yang membangkitkan optimisme bangsa
untuk mengembangkan layar. Karena itu, setelah mengenali sebab musabab,
skala, dan wujud-wujud perusakan alam dan sosial-budaya, perlu diikuti
pengenalan berbagai potensi yang perlu dikembangkan dan peluang geopolitik
dan geoekonomi strategis untuk dimanfaatkan.
Kenyataan yang menunjukkan bahwa baik kekayaan di permukaan
maupun yang masih tersimpan di dalam perut bumi kian menipis, khususnya di
Indonesia barat, harus diatasi dengan menggeser tulang punggung ekonomi lokal
dan nasional dan dari sektor ekstraksi bahan mentah dan hasil tambang ke tiga
sektor lain: manufaktur, industri kreatif, dan himpunan industri berbasis
maritim.
Indonesia juga harus segera memanfaatkan peluang bonus demografi
yang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa untuk sungguh-sungguh
meningkatkan baik kualitas SDM maupun membalikkan piramida struktur SDM-nya.
Bonus demografi berupa proporsi penduduk usia produktif (15-65 tahun) saat
ini yang lebih besar dari usia ketergantungan (0-14 tahun dan 65 tahun ke
atas) akan tersia-sia jika masih 70 persen dari usia produktif berpendidikan
di bawah SLTP. Inilah yang harus dibalik piramidanya dengan meningkatkan
proporsi usia produktif berpendidikan di atas SLTP lebih besar dari proporsi
di bawah SLTP.
Dengan pembalikan piramida struktur kualitas SDM, Indonesia akan
mampu bersaing ke era tenaga kerja Masyarakat Ekonomi ASEAN 2016 sekaligus
mengokohkan akhiles Indonesia berpacu dalam era industrialisasi ini.
Centang perenang kapabilitas kendali koordinasi pengawasan di
pusat dan daerah membutuhkan kehadiran proporsi warga negara yang kompeten,
tertempa, dan teruji untuk mengubah orientasi pelayanan pada kepentingan umum
ketimbang menyalahgunakan kekuasaan dan menguras kekayaan publik.
Warga negara yang peduli dan kompeten (concerned and competent citizens) adalah modal sosial sekaligus
modal budaya utama suatu bangsa. Warga negara berkarakter seperti ini dapat
dibentuk lewat pembiasaan dalam habitus-habitus sosial keluarga, kelompok
sebaya, komunitas, dan paguyuban. Sediakan habitus sosial keseharian lewat
pengadaan sarana fisik serta penumbuhan aura modus komunikasi dialogis yang
jujur dan terbuka demi mengasah keterampilan teknis dan memekarkan
kapabilitas kepemimpinan.
Nilai-nilai dan prinsip-prinsip etika publik yang berintegritas
secara alamiah akan mengendap dan mendarah daging (internalized) dalam kepribadian warga negara kompeten.
Siapkan pinisi Indonesia untuk berlayar dengan terlebih dahulu
menghentikan dan membenahi bolong-bolong akibat perusakan lingkungan alam dan
sosial budaya yang masif dan sistemik. Ini adalah langkah pertama dan utama.
Kedua, tuntaskan kesiapan sarana dan prasarana yang menunjang pengembangan
industri manufaktur, industri kreatif, serta jaringan industri berbasis
maritim. Ketiga, manfaatkan peluang bonus demografi dengan membalikkan
piramida struktur kualitas penduduk agar proporsi yang berpendidikan SLTP ke
atas mencapai 70 persen.
Pilar-pilar material bahtera pinisi Indonesia ini perlu
dikokohkan dengan pilar-pilar spiritual dari warga negara berkarakter yang
peduli dan kompeten dalam menggerakkan dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan
umum. Bermodalkan ketangguhan kekuatan di kedua jenis pilar itulah, baru
Indonesia betul-betul siap berlayar sebagai kekuatan utama geoekonomi dan
geopolitik yang disegani.
Apalagi, telah terjadi paling kurang dua perubahan signifikan di
tataran internasional. Pertama, politik global yang awalnya hanya ditandai
oleh polar tunggal dengan Amerika Serikat (AS) bertindak sebagai satu-satunya
negara adidaya kini berubah akibat kebangkitan Tiongkok, India, dan
proliferasi kekuatan menengah (middle
powers). Maka, AS bukan lagi satu-satunya kekuatan kunci yang menentukan
dinamika dan arah perkembangan global dan regional. Dengan kata lain,
dominasi AS dalam ekonomi-politik global mulai dibatasi kebangkitan kekuatan
tandingan.
Kedua, terjadinya pergeseran kekuatan, pusat gravitasi
geoekonomi dan geopolitik, dunia dari Barat ke Timur (Asia Pasifik). Kedua
perubahan itu membuka peluang bagi Indonesia untuk memaksimalkan posisi
strategis geopolitiknya sekaligus mengukuhkan kembali identitas dan perannya
sebagai kekuatan menengah yang aktif, tetapi tetap bebas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar