Kamis, 08 Oktober 2015

Manfaatkan Bonus Demografi

Laporan Diskusi 70 Tahun Kemerdekaan RI
"Menuju Usia 100 Tahun Indonesia"

Manfaatkan Bonus Demografi

KOMPAS, 02 Oktober 2015


                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                            

Sejak tahun 2012, Indonesia menikmati bonus demografi, yaitu kondisi saat rasio jumlah penduduk usia produktif yang menanggung penduduk usia tidak produktif di bawah angka 50. Titik terendah rasio ketergantungan ini diperkirakan akan terjadi pada tahun 2028-2031.

Di titik terendah itulah terdapat periode emas yang sering disebut sebagai the window of opportunity. Setelah periode itu, rasio ketergantungan akan kembali naik. Diperkirakan bonus demografi berakhir tahun 2045. Jika meleset, berarti periode bonus demografi akan lebih singkat, hanya sampai tahun 2030-2040. Bonus ini hanya satu kali datang pada suatu bangsa.

Satu hal yang membuat masa bonus demografi meleset adalah tidak tercapainya target laju pertumbuhan penduduk (LPP). LPP Indonesia termasuk tinggi, yakni 1,49 persen, lebih tinggi dari LPP Asia yang 1,08 persen. Karena itu, ditargetkan LPP Indonesia turun menjadi 1,38 persen (2010-2015), 1,19 persen (2015-2020), dan akhirnya 1 persen (2020-2025).

Selama masa bonus demografi, setiap negara memiliki peluang pembangunan lebih baik dengan meningkatnya angkatan kerja usia produktif. Terjadi peningkatan penawaran tenaga kerja yang disertai naiknya tabungan masyarakat. Keduanya menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.

Bonus itu bisa diperoleh bukan tanpa prasyarat. Salah satunya, tenaga kerja berkualitas yang menentukan tingkat produktivitas dan daya saing. Prasyarat tersebut selama ini menjadi pekerjaan berat pemerintah.

Kualitas rendah

Secara umum, Indonesia belum bisa mengoptimalkan potensi bonus demografi. Meski penawaran tenaga kerja besar, kualitasnya masih rendah. Rata-rata lamanya sekolah penduduk usia dewasa (25 tahun ke atas) berdasarkan Susenas 2014 baru mencapai 7,9 tahun, setara kelas II SMP. Akibatnya, sekitar 64 persen angkatan kerja berpendidikan SMP ke bawah. Hanya 6,78 persen berpendidikan sarjana atau lebih tinggi. Tingkat pendidikan pun secara kuantitas bervariasi antardaerah. Secara kualitas terjadi kesenjangan antara desa dan kota.

Terdapat tiga hal yang diidentifikasi sebagai kelemahan tenaga kerja. Pertama, penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Indonesia yang terbuka dalam hal perekonomian, perdagangan, dan kebudayaan mau tidak mau harus menguasai bahasa yang menjadi penghubung antarbangsa untuk meningkatkan posisi tawar.

Kedua, kepemimpinan. Faktor ini sangat berperan dalam mengambil keputusan mengenai apa yang terbaik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Mampu bersikap kritis dan tidak sekadar patuh atau taat kepada penguasa atau kekuasaan. Terakhir, keterampilan dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi.

Hal itu perlu diperbaiki lewat pendidikan. Kualitas tenaga kerja masa depan dan masyarakat umumnya tergantung dari kualitas dan tingkat pendidikan penduduk usia sekarang. Tahun 2045, penduduk usia produktif sekarang akan menjadi lansia dan jika tidak berkualitas akan menjadi beban bagi penduduk usia produktif pada masa itu.

Ujung tombak

Meningkatkan pendidikan masyarakat menjadi tugas maha berat sebab pendidikan kita masih dalam taraf pencitraan dan bersifat administratif. Kebijakan pendidikan masih berorientasi pada jumlah. Di tingkat dasar dan menengah, pendekatan jumlah memang menjadi tolok ukur. Meski demikian, tolok ukur itu tidak bisa diterapkan di pendidikan tinggi.

Di pendidikan tinggi, prioritas utama bukan jumlah, melainkan kualitas pendidikan. Selama ini, pendidikan tinggi belum mampu memberdayakan yang dididik. Tingginya tingkat pengangguran menjadi bukti setelah pendidikan ditempuh, anak didik justru kian tergantung. Mereka lebih menanti kesempatan kerja daripada membuka lapangan usaha. Data terakhir, terdapat 128,3 juta orang angkatan kerja, tetapi kesempatan kerja hanya bagi 120,85 juta orang.

Pendidikan belum bersifat memberdayakan. Untuk meningkatkan daya saing, kebijakan pendidikan harus menjadikan perguruan tinggi sebagai ujung tombak. Dari pengalaman negara lain, tidak ada negara maju tanpa didukung perguruan tinggi yang kuat. Perguruan tinggi berperan besar memajukan kesejahteraan negara.

Kualitas perguruan tinggi bergantung pada kualitas lulusan sekolah menengah. Permasalahan saat ini, lulusan SMA dan SMK ternyata tidak cukup baik untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang baik sehingga perlu reformasi pendidikan guru untuk menguatkan kemampuan guru dalam bidang ilmu pengetahuan. Guru yang baik akan menghasilkan lulusan yang baik, minimal melek ilmu pengetahuan sehingga dapat dididik di perguruan tinggi untuk menjadi lulusan yang unggul dan berdaya.

Tahun 2045, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 321 juta jiwa. Jumlah yang besar itu harus disertai dengan penduduk yang tidak hanya mampu bertahan hidup, tetapi juga mampu bersaing di tingkat nasional dan global.

Butuh perencanaan dan cetak biru kebijakan pendidikan yang dilaksanakan konsisten, inklusif, dan menghargai keberagaman Indonesia untuk memenuhi hak dasar masyarakat agar menjadi pintar. Pendidikan harus menjadi jembatan memanfaatkan bonus demografi. Kalau Indonesia meleset memanfaatkan bonus itu, yang akan terjadi adalah malapetaka. Jika salah menangani tambahan tenaga kerja, bonus itu akan berbuah jadi persoalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar