Sabtu, 10 Oktober 2015

Reposisi Identitas Indonesia

Laporan Diskusi Kompas-LMI
"Masih Adakah yang Tersisa?"
Reposisi Identitas Indonesia
KOMPAS, 06 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kebangkitan Indonesia menuju masyarakat yang lebih sejahtera dan bermartabat memerlukan sejumlah reposisi dan agenda yang segera harus diwujudkan. Untuk itu, reposisi sebaiknya dilakukan dalam lima ranah utama.

Pertama, reposisi identitas. Indonesia harus melihat dirinya secara serius dan konsisten sebagai kekuatan maritim. Identitas maritim ini harus menjadi rujukan bagi Indonesia dalam membangun kekuatan nasional. Arti penting maritim bagi kepentingan nasional Indonesia akan semakin meningkat dan strategis di tahun-tahun mendatang.

Kedua, reposisi peran. Indonesia perlu membangun peran sebagai middle power. Peran sebagai middle power ini tentu bukan tujuan akhir Indonesia, melainkan harus dilihat sebagai upaya yang mencerminkan keseimbangan antara tujuan dan kemampuan politik luar negeri yang ada sekarang. Dengan kata lain, Indonesia bisa berperan sebagai kekuatan regional dengan keterlibatan global secara selektif. Untuk itu, Indonesia perlu memperkuat kerja sama, misalnya dengan Korea Selatan, Brasil, Turki, dan Afrika Selatan.

Ketiga, reposisi jaringan. Sebagai manifestasi reposisi strategis peran sebagai middle power, dibutuhkan reposisi strategis yang menempatkan Indonesia sebagai kunci (pivot) dalam pertautan politik-ekonomi global dan regional. Untuk itu, Indonesia perlu memperkuat konektivitas strategis dengan aktor-aktor global, seperti hubungan bilateral dengan kekuatan-kekuatan besar di kawasan (Tiongkok, India, dan Jepang), dengan Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta memperkuat keterlibatan dan peran dalam G-20.

Mandala keterlibatan

Keempat, reposisi mandala keterlibatan. Dinamika geopolitik dewasa ini harus mendorong Indonesia memperluas mandala keterlibatannya (space of engagement) dari kawasan Asia Timur ke kawasan Indo-Pasifik. Rujukan terhadap Indo-Pasifik menempatkan Indonesia pada posisi yang "mengintegrasikan" arti penting dua samudra-Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan-ke dalam politik luar negeri. Melalui reposisi ini, Indonesia akan lebih leluasa memenuhi kepentingan strategisnya.

Kelima, reposisi intraregional. ASEAN-lepas dari segala kekurangan-merupakan wadah kerja sama penting bagi Indonesia. Namun, Indonesia perlu mereposisi perannya di ASEAN. Untuk itu, Indonesia tidak perlu lagi melihat ASEAN sebagai satu-satunya forum bagi pencapaian kepentingan Indonesia. Indonesia tidak perlu lagi bersikap sungkan mengambil berbagai prakarsa untuk memperkuat ASEAN demi terjaganya sentralitas ASEAN dalam menghadapi perubahan geopolitik yang begitu cepat.

Politik luar negeri Indonesia tidak dapat lagi dijalankan secara romantik, sloganistik, normatif, dan reaktif. Kelima reposisi strategis yang ditawarkan itu akan membantu Indonesia menjadi aktor yang aktif menolak dominasi kekuatan-kekuatan besar di kawasan Asia Tenggara, baik dalam bentuk Pax Sinica maupun Pax Americana.

Bagi Indonesia, independensi dan kedaulatan nasional serta menjaga persatuan dan otonomi strategis kawasan Asia Tenggara untuk tidak menjadi mandala perebutan pengaruh kekuatan-kekuatan besar merupakan kepentingan strategis utama politik luar negeri yang tidak boleh ditawar.

Agenda

Ada enam agenda konkret mendesak, menurut Rizal Sukma. Pertama, membuat peta/arah kerja sama internasional untuk mendukung agenda nasional. Misalnya, di bidang infrastuktur dengan siapa, industri maritim dan perikanan dengan mitra yang mana, pembangunan SDM dengan negara mana, perluasan akses pasar produk manufaktur ke mana?

Kedua, mengambil peran aktif dalam negosiasi pengaturan perdagangan bebas di Asia. Langkah ini akan memperkuat keyakinan dunia bahwa Indonesia tidak anti terhadap perdagangan bebas yang adil (free and fair trade) dan saling menguntungkan.

Ketiga, mengambil peran kepemimpinan dalam membangun ASEAN pasca 2015. Misalnya, dengan mengajukan ide-ide penguatan ASEAN (RCEP, sentralitas ASEAN, penguatan Sekretariat ASEAN), membantu negara ASEAN (konflik di Thailand, Myanmar, dan Filipina; pembangunan di Myanmar dan Kamboja; dan penanggulangan bencana), serta aktif dalam membentuk arsitektur regional.

Keempat, menempatkan diri sebagai "penyeimbang" dalam hubungan antarnegara besar untuk meredam persaingan di antara mereka demi stabilitas di kawasan. Termasuk dalam hal ini mengupayakan KTT empat raksasa Asia (Indonesia, Tiongkok, Jepang, dan India) untuk membahas masa depan kemakmuran dan perdamaian Asia.

Selain itu, Indonesia bisa mengajak Rusia untuk berperan lebih aktif dalam arsitektur keamanan Asia sekaligus membangun hubungan yang sama dekat dengan AS, Tiongkok, Jepang, dan India untuk meningkatkan posisi tawar. Hubungan yang baik bisa menginisiasi latihan bersama Indonesia, AS, Jepang, Tiongkok, India, dan Rusia di bidang penanggulangan bencana, anti bajak laut, dan tentu SAR.

Kelima, operasionalisasi peran honest broker dalam penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan, menyampaikan ide tentang substansi code of conduct, sekaligus mendorong negara-negara ASEAN berperan aktif menyelesaikan klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan.

Keenam, aktif dalam isu-isu global, khususnya perubahan iklim (COP-21 di Paris), pendidikan dan kesehatan (UN Commission on Global Education), penanggulangan bencana, dan bina perdamaian (UN-PKO).

Keenam strategi dan langkah-langkah diplomasi itu akan memperkuat kepercayaan, keyakinan, dan citra aktif-positif Indonesia di mata dunia.

Berjayalah pinisi Indonesia. Bentangkan layar untuk mengarungi dua samudra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar